Saturday, December 10, 2022

Spotlight Effect

        Pernah gak sih kamu merasa bahwa orang-orang lagi memperhatikan kamu? Sehingga ketika berada di tempat umum kamu ingin tampil sempurna, atau ketika kamu sedang makan di restoran, kamu merasa orang-orang mengomentari cara makanmu yang aneh. Apabila kamu pernah mengalami hal ini, mungkin kamu dalam kondisi yang disebut spotlight effect.

        Sebenarnya spotlight effect itu apa sih? Spotlight effect merupakan suatu kondisi kecemasan sosial yang dialami seseorang dan menyebabkan orang tersebut melebih-lebihkan bahwa orang lain memperhatikan sesuatu tentang dirinya (Gilovich et al., 2000).

Sumber: Sketchplanations

        Ilustrasi di atas mencerminkan salah satu fenomena spotlight effect dalam kehidupan sehari-hari. Sering kali terjadi saat bertemu orang baru, melakukan suatu kesalahan, mengalami kejadian yang tak terduga, dsb. Kita berpikir semua perhatian orang lain teruju pada kita bahkan menertawakan dan mengolok-olok perilaku tersebut. Namun, sering kali orang lain pun berfokus pada dirinya sendiri-bukan orang lain.
Ilustrasi gambar Barry Manilow. Sumber: www.nbcnews.com

        Gilovich et. al. (2002) mendemonstrasikan spotlight effect ini dengan meminta responden penelitian memakai baju dengan gambar memalukan (gambar Barry Manilow) dan berjalan di antara kerumunan orang yang sedang mengerjakan kuesioner. Ketika responden penelitian diminta untuk menebak berapa banyak orang yang memperhatikan bajunya, peserta terlalu melebih-lebihkan jumlahnya. Dengan kata lain, responden penelitian membiarkan fokusnya teralihkan ke baju yang dipakai dan apa respon orang lain ketika melihat mereka. Hal inilah yang menyebabkan responden penelitian terlalu melebih-lebihkan jumlah orang yang menyadari mereka menggunakan baju dengan gambar memalukan.

       Menurut Rapee dan Lim (dalam Brown & Stopa, 2007) ketika mengalami spotlight effect, akan terjadi perbedaan pendapat antara orang yang sedang dalam social spotlight dengan observer yang mengamati individu dalam social spotlight (social spotlight adalah individu yang sedang diperhatikan oleh lingkungannya). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Gilovich et. al. (2002) yaitu responden penelitian diminta berjalan dalam keramaian sambil menggunakan baju dengan gambar memalukan, dikatakan bahwa responden melebih-lebihkan jumlah orang yang dirasa memperhatikannya.
                
        Dampak yang ditimbulkan dari spotlight effect adalah cenderung dapat membuat individu mengalami peningkatan kecemasan yang dikarenakan individu percaya bahwa dirinya selalu diawasi atau secara terus menerus diamati oleh orang lain. Selain itu, spotlight effect juga dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri individu, terganggunya kemampuan beaktivita individu jika dibiarkan secara berlaru-larut.
    
        Tips mengatasi spotlight effect dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu sebagai berikut:
  1. Melakukan analisa: individu dapat melakukan analisa mengapa ia menjadi pusat perhatian, apakah karena kesalahan yang ia lakukan sehingga orang lain memperhatikan individu tersebut.
  2. Mencari feedback: individu dapat mencari feedback dari rekan-rekan kerjanya untuk memvalidasi asumsi-asumsi yang sudah dibuat.
  3. Fokus dengan pekerjaan: individu dapat memusatkan perhatiannya kepada pekerjaan-pekerjaannya sehingga individu bisa fokus kepada pekerjaan dan tidak memperhatikan sekitar dan menjadi lebih produktif.
  4. Meminta bantuan kepada profesional: jika spotlight effect yang dirasakan sudah berlarut-larut dan mengganggu kegiatan sehari-hari, individu dapat meminta bantuan kepada psikolog ataupun psikiater untuk mengatasi hal tersebut

        Jadi dapat disimpulkan bahwa spotlight effect merupakan kecenderungan individu yang menganggap bahwa semua perhatian orang lain tertuju pada sesuatu yang ada pada dirinya, baik dari penampilan, perilaku, dll. Di mana hal tersebut merupakan perasaan, ataupun pemikiran yang sebenarnya berlebihan, ataupun belum tentu terjadi. Ciri-ciri dari individu yang mengalami spotlight effect adalah mereka cenderung melebih-lebihkan jumlah orang yang memperhatikannya, dan dampak dari spotlight effect ini yaitu dapat menimbulkan adanya peningkatan rasa cemas dan menurunnnya rasa percaya diri karena individu merasa dirinya terus diamati oleh orang lain. Jika dibiarkna berlarut-larut hal ini juga dapat mengganggu kemampuan individu dalam beraktivitas.

    Adapun berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi spotlight effect ini, diantaranya: melakukan analisa penyebab mengapa menjadi pusat perhatian, mencari feedback untuk memvalidasi asumsi yang dibuat, fokus dengan pekerjaan, dan meminta bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater.

DAFTAR PUSTAKA

Alodokter. (2022). Spotlight Effect: Perasaan Diperhatikan Orang Lain Secara Berlebihan. Diakses pada 04 November 2022 melalui https://www.alodokter.com/spotlight-effect-perasaan-diperhatikan-orang-lain-secara-berlebihan

Brown, M. A., & Stopa, L. (2007). The spotlight effect and the illusion of transparency in social anxiety. Journal of anxiety disorders, 21(6), 804-819.

Gilovich, T., Medvec, V. H., & Savitsky, K. (2000). The spotlight effect in social judgment: an egocentric bias in estimates of the salience of one’s own actions and appearance. Journal of Personality and Social Psychology, 78(2), 211–222.

Mack, J. (2021). What is the Spotlight Effect in Psychology?. Diakses pada 04 November 2022 melalui https://study.com/learn/lesson/spotlight-effect-psychology-examples.html

Putra, R. P. (2020). Alami 'Spotlight Effect' di Tempat Kerja? Ini 5 Tips Mengatasinya. Diakses pada tanggal 04 November 2022 melalui https://www.idntimes.com/life/career/rivandi-pranandita-putra/cara-mengatasi-spotlight-effect-di-tempat-kerja-c1c2?page=all


Thursday, November 10, 2022

Bystander Effect

Sebelum kita menghadapi realita kehidupan (ciailah), mari kita berandai-andai sebentar. Misalnya, kalian melihat seseorang yang jatuh dari kendaraan di jalan yang ramai, kira-kira apa yang akan kalian lakukan? Atau ketika kalian melihat teman kalian di bully di sekolah, apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan segera membantu atau hanya diam menonton? Jika kalian memilih untuk diam menonton, kalian perlu tahu nih kalau ternyata fenomena "diam menonton" ini ada istilahnya lho dalam dunia psikologi. Fenomena ini dinamakan dengan Bystander Effect. Kita mungkin sudah pernah mendengar mengenai bystander effect yaa. Tapi mari kita ulas fenomena "diam menonton" atau bystander effect ini secara lebih mendalam!

Menurut Sarwono (dalam Setiawan, 2009), bystander effect adalah sebuah gejala sosial yang berhubungan dengan psikologis individu. Kondisi ini terjadi ketika dalam sebuah tempat berkumpul orang dengan jumlah banyak, maka kemungkinan untuk individu mau menolong sesamanya menjadi sangat kecil. Moralitas berkaitan dengan sebuah penilaian terhadap tindakan seseorang  yang  dibandingkan  dengan  aturan  norma  yang  berlaku. Proses terjadinya bystander effect, menurut LatanĂ© dan Darley (1970), dapat digambarkan seperti keadaan darurat (1) menangkap perhatian individu, (2) individu mengevaluasi keadaan darurat, (3) memutuskan tanggung jawab dan (4) kepercayaan akan kompetensi, dan akhirnya (5) membuat keputusan untuk membantu atau tidak. Namun, perhitungan ini, dalam proses pengambilan keputusan, tidak harus terjadi pada tingkat kognitif yang reflektif (Garcia et al., 2002), namun dapat juga mencerminkan hasil dari proses refleksif.

Sumber: https://www.online-psychology-degrees.org/wp-content/uploads/2019/12/shutterstock_1391743985.jpg

Sejarah bystander effect ini diambil dari kasus Catherine Susan Genovese alias Kitty Genovese, seorang wanita kelahiran New York. Kasus Kitty terjadi pada 13 Maret 1964 di apartemennya, di mana Kitty baru saja pulang kerja dan keluar dari mobilnya lalu secara tiba-tiba ada seorang laki-laki menerjang Kitty menggunakan pisau sebanyak dua kali. Kitty berteriak sambil menangis meminta pertolongan, tetapi di hari itu semua jendela tertutup sehingga tidak banyak orang yang menyadari teriakan Kitty. Akhirnya, seorang tetangga Kitty yang bernama Robert Mozer berteriak kepada laki-laki tersebut untuk meninggalkan Kitty sendiri dan jangan mengganggunya. Lalu laki-laki itu pergi dan Kitty kembali lagi untuk menyerang Kitty dengan memberikan beberapa kali tusukan dan memperkosa Kitty di belakang bangunan tempat tinggal Kitty. Saksi bernama Karl Ross menghubungi polisi dan beberapa saat kemudian polisi dan ambulans datang bersamaan. Kitty segera dibawa ke rumah sakit tetapi nyawanya tidak dapat ditolong saat perjalanan menuju rumah sakit. Polisi menginvestigasi kejadian tersebut dan berkata bahwa ada 37 orang yang tahu Kitty diserang tetapi tidak ada yang menolong Kitty. Penyerangan tersebut menjadi simbol bystander effect sebagai konsep psikologi yang menimbulkan patahnya semangat orang lain untuk campur tangan dalam serangan atau keadaan darurat lainnya jika ada orang lain di tempat yang sama. Kasus pembantaian terhadap Kitty Genovese menjadi inspirasi bagi banyak studi psikologi. 

Setelah kita mengetahui definisi dan sejarah munculnya istilah “bystander effect”, rasanya tidak lengkap kalau kita tidak membahas juga nih apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya fenomena bystander effect. Dikutip dari Student Development Center (2021), menurut Bibb Latane dan John Darley yang adalah pencetus istilah bystander effect, terdapat 2 penyebab terjadinya fenomena bystander effect ini, yaitu:

  1. Difusi tanggung jawab

Difusi tanggung jawab di sini artinya orang merasa tidak berkewajiban atau bertanggung jawab untuk memberikan pertolongan. Adanya anggapan bahwa menolong orang di ruang publik adalah tanggung jawab bersama. Maka ketika semakin banyak orang yang berada di ruang publik, akan semakin sedikit keinginan orang untuk memberi pertolongan.

  1. Terlalu melihat situasi

Umumnya ketika ingin memberi pertolongan, orang cenderung akan mempertimbangkan bagaimana reaksi orang lain yang juga berada di lokasi kejadian. Orang juga akan memperhatikan keadaan sekitar apakah orang lain yang juga melihat akan membantu atau tidak. Jika yang menolong hanya sedikit, maka orang akan merasa tidak perlu menolong karena sudah cukup ada orang yang menolong.

Tidak hanya itu, fenomena bystander effect ini juga dipengaruhi oleh beberapa hal. Mengutip dari IndoPositive, hal-hal yang mempengaruhi bystander effect antara lain ambiguitas, dimana orang yang ingin memberi pertolongan merasa tidak yakin bahwa kondisi tersebut benar-benar membutuhkan pertolongan sehingga pada beberapa situasi kita kerap merasa ragu. Lalu keanggotaan dalam kategori sosial juga bisa mempengaruhi bystander effect ini. Sebagai contoh, kita adalah salah satu pendukung besar dari suatu tim sepak bola tertentu. Lalu ketika sedang berjalan tidak sengaja bertemu orang asing yang membutuhkan pertolongan sedang mengenakan kaos tim sepak bola yang adalah lawan dari tim favorit kita. Maka ini bisa menjadi pertimbangan seseorang pula dalam memberi pertolongan. Seseorang akan lebih bersedia untuk membantu korban jika mereka tahu bahwa korban adalah anggota dalam kelompok yang sama.

Sumber: https://avive.life/wp-content/uploads/2022/05/bystander-Effect.png

Nah, untuk memperkecil kemungkinan serta mencegah hal ini terjadi, kita dapat melakukan beberapa hal agar terhindar dari “diam menonton”. Dikutip dari Hello Sehat, Jennyfer (2019) menyatakan bahwa hal yang perlu kita miliki terlebih dahulu adalah niatan yang kuat untuk membantu. Selanjutnya, kita dapat melakukan beberapa tips dalam menghadapi fenomena bystander effect, antara lain:

      Menumbuhkan rasa empati dan simpati terhadap orang lain bila Anda adalah seorang pengamat.

      Menghubungi pihak yang dapat membantu, seperti pertolongan medis, ambulans, atau satpam terdekat.

      Berinisiatif untuk menolong orang tersebut bila tidak ada yang membantu karena bystander efeknya seperti domino. Jika ada orang yang menolong, maka semua akan mencoba ikut membantu.

      Ikut mengedukasi orang-orang agar tetap aktif dan melawan rasa apatis ketika orang lain membutuhkan pertolongan.

Sumber: https://yayasanpulih.org/wp-content/uploads/2022/08/gambar-satuan-3-1024x1024.png

            Jadi, dapat disimpulkan bahwa bystander effect merupakan sebuah gejala sosial yang berhubungan dengan psikologis individu dan dapat terjadi ketika individu mengalami difusi tanggung jawab serta terlalu melihat situasi. Proses terjadinya bystander effect dapat digambarkan seperti keadaan darurat, menangkap perhatian individu, mengevaluasi keadaan darurat, memutuskan tanggung jawab, dan kepercayaan akan kompetensi, yang pada akhirnya individu akan membuat sebuah keputusan untuk membantu atau tidak. Terdapat beberapa hal pula yang dapat mempengaruhi terjadinya fenomena bystander effect ini, yaitu ambiguitas serta keanggotaan dalam kategori sosial. Salah satu kunci agar kita terhindar dari bystander effect adalah dengan memiliki niatan yang kuat untuk membantu. Selain itu, kalian juga dapat menerapkan beberapa tips di atas dalam menghadapi fenomena ini.

         Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mampu untuk hidup sendiri. Alangkah lebih baik agar kita saling membantu, apalagi ketika kita melihat sebuah peristiwa di depan mata kita yang memerlukan bantuan. Ayo saling membantu! Karena suatu saat kita juga memerlukan bantuan. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?


DAFTAR PUSTAKA

Astutik, M. E. (2021). Pengertian Bystander Effect: Latar Belakang, Proses & Penyebab. Retrieved September 9, 2022. https://www.gramedia.com/literasi/bystander-effect/ 

Garcia, S. M., Weaver, K., Moskowitz, G. B., & Darley, J. M. (2002). Crowded minds: The implicit bystander effect. Journal of Personality and Social Psychology, 83, 843-853. http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.83.4.843

IndoPositive. Bytander Effect: Pengertian, Proses, dan Faktor yang Memengaruhi. Retrieved September 19, 2022. https://www.indopositive.org/2020/04/bystander-effect-pengertian-proses-dan.html

Jennyfer. (2019). Kenapa Orang Lebih Sering 'Menonton' Sebuah Kecelakaan Bukannya Membantu Si Korban?. Retrieved September 20, 2022. https://hallosehat.com/mental/mental-lainnya/bystander-effect-adalah/

Latane, B., & Darley, J. M. (1970). The unresponsive bystander: Why doesn't he help?. New York: Appleton Century Crofts.

Setiawan, I. K. (2022). Pengaruh bystander effect, moralitas, dan asimetri informasi terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi. Hita Akuntansi Dan Keuangan, 3(3), 82-91.

Student Development Center. (2021). Bystander Effect. Retrieved September 19, 2022. https://kemahasiswaan.sahabatuap.id/bystander-efect/#:~:text=Bystander%20effect20%adalah20%suatu20%fenomena,orang%20lain20%yang20%menolong20%korban

Wiradharma, G., & Septiyadi, R. (2018). Bystander effect: Ketidakpedulian orang urban. Seminar Nasional Budaya Urban" Kajian Budaya Urban di Indonesia dalam Perspektif Ilmu Sosial dan Humaniora: Tantangan dan Perubahan.

Sunday, October 9, 2022

People Pleaser

Apakah teman-teman sebelumnya pernah mendengar istilah mengenai people pleaser?

Sumber: knowyourmeme.com

Gambar di atas merupakan beberapa ciri umum perilaku people pleaser. Walau sesibuk apapun, people pleaser akan merasa tidak enakan dan mengiyakan hampir semua permintaan teman-temannya. Tema bahasan kali ini merupakan pembahasan lebih lanjut dari topik yang sempat disinggung pada tulisan “Sibuk vs Produktif” Januari 2022 lalu.

Rachman (2021) mengatakan bahwa individu dapat dikatakan sebagai people pleaser jika ia bertindak demi pengakuan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain ia jarang berkata ‘tidak’ saat dimintai pertolongan. Menurut Newman (2005), people pleaser adalah istilah bagi individu yang berupaya selalu menyenangkan orang lain, walau tidak sesuai dengan yang dipikirkan dan dirasakannya. Ia melakukannya supaya orang lain tidak kecewa terhadap dirinya.

Sumber: https://www.huffpost.com/

Bila melihat pandangan beberapa ahli tentang people pleaser dapat disimpulkan bahwa people pleaser adalah suatu istilah yang digunakan bagi individu yang selalu berusaha menyenangkan orang lain, salah satu tindakan khasnya adalah “sulit berkata tidak” kepada permintaan orang lain sekalipun bertentangan dengan pikiran dan perasaannya.

Verdiana (2021) menjelaskan karakteristik masyarakat Sunda, salah satunya masyarakat di Desa Rawabogo, yang memiliki sifat “tidak enakan” atau people pleaser. Hal ini menyebabkan sulitnya menyampaikan suatu hal yang kurang mengenakan kepada orang lain dan cenderung mudah memaafkan untuk menghindari konflik.

            Sifat “tidak enakan” sepertinya lumrah dalam kehidupan kita sehari-hari. Mungkin kita juga sulit menyampaikan suatu hal yang mengganjal dalam pikiran kepada teman kita dan cenderung memaafkan kesalahan orang lain untuk menghindari konflik. Maka dari itu, apa saja sih ciri-ciri seorang people pleaser? Yuk, simak lebih lanjut!

Fernanda (2021) menyebutkan ciri-ciri yang bisa menyebabkan seseorang tergolong people pleaser, yaitu:

1. Menghindari konflik

Menjauhi konflik untuk menghindari ketegangan dan situasi tidak nyaman dalam hubungan pertemanan.

2. Takut menyakiti perasaan orang lain

People pleaser akan enggan menolak permintaan teman mereka untuk menjaga perasaan temannya. Sehingga, people pleaser akan menjaga perasaan dan hubungan tetap harmonis dengan teman-temannya.

3. Merasa tidak enak atau sulit menolak

Mungkin beberapa dari kita pernah melihat orang yang selalu memprioritaskan orang lain dibanding dirinya sendiri. Jika dibiarkan sikap ini akan menjadi kebiasaan yang kurang baik.

4. Trauma masa lalu

Masa lalu yang kurang mengenakan karena menolak sesuatu, kemudian ditinggalkan oleh orang kepercayaannya bisa menjadi salah satu penyebab seseorang menjadi people pleaser.

         Menurut Seltzer (dalam Katarina, 2021) sikap people pleasing tentunya dapat membawa banyak dampak buruk, diantaranya adalah: kurangnya rasa percaya diri; kurangnya kemampuan untuk mengurus diri sendiri; tidak bisa menolak permintaan orang lain–kemudian menjadi terlalu sibuk sampai tidak punya waktu untuk diri sendiri; dan selalu merasa takut/khawatir. Selain itu, menurut Guttman (dalam Katarina, 2021) masih ada lagi dampak buruk yang dapat timbul karena sikap people pleasing, yaitu:

-       Tidak memiliki opini sendiri

People pleaser takut menyinggung perasaan orang lain, oleh karena itu mereka biasanya hanya mengiyakan perkataan orang lain. Begitu pula dengan tindakan mereka, people pleaser cenderung hanya mengikuti instruksi orang lain.

-       Menanggung kesalahan orang lain

People pleaser akan meminta maaf dan mengambil tanggung jawab atas kesalahan orang lain ataupun hal yang di luar kendali, karena mereka akan berusaha menghindari konflik walaupun harus mengambil tanggung jawab penuh atas kesalahan yang tidak mereka perbuat.

-       Terus merasa terbebani dan kesal

People pleaser tidak bisa menolak permintaan orang lain karena ketakutan mereka, tetapi pada saat yang sama mereka membenci keadaan seperti ini. Akibatnya, mood mereka menjadi buruk, tetapi masalah ini pun hanya disimpan oleh dirinya sendiri.

        Hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi sikap people pleasing menurut Lavender dan Cavaiola (2012) adalah menetapkan personal boundaries (batasan pribadi), yaitu peraturan yang dibuat oleh seseorang terhadap lingkungan sekitarnya tentang apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan terhadap dirinya.

Sumber: https://oerban.com

        Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas adalah individu yang memiliki sikap people pleasing atau seorang people pleaser selalu memprioritaskan orang lain dibanding dirinya sendiri, meskipun hal tersebut merugikan dirinya. Tentunya hal tersebut memiliki dampak buruk dan serius untuk seorang people pleaser apabila diabaikan. Maka dari itu, kita perlu menetapkan personal boundaries kepada diri sendiri agar mengetahui batasan terhadap lingkungan kita tentang “apa yang boleh dan tidak boleh” kita lakukan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Fernanda, E. (2021). Ciri-Ciri People Pleaser dalam Pertemanan, Salah Satunya Sulit Menolak. Retrieved July 14, 2022. https://www.parapuan.co/read/533005359/ciri-ciri-people-pleaser-dalam-pertemanan-salah-satunya-sulit-menolak

Katarina, K. (2021). Perancanan Buku Panduan Berilustrasi untuk Orang Tua tentang Mencegah Anak Menjadi People Pleaser.

Lavender, N., & Cavaiola, A. A. (2012). Impossible to please: How to deal with perfectionist coworkers, controlling spouses, and other incredibly critical people. New Harbinger Publications.

Newman, S. (2005). The book of no: 250 ways to say it—and mean it and stop people-pleasing forever.

Rachman, F. (2021). 4 Cara Untuk Menghilangkan Sifat Gak Enakan Agar Lebih Produktif. Retrieved July, 14 2021. https://satupersen.net/blog/4-cara-untuk- menghilangkan- sifat-gak-enakan-agar-lebih-produktif-ed

Verdiana, A. (2021). Pemaknaan potensi lokal di Desa Wisata Rawabogo Kabupaten Bandung. Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota, 72-80.





 

Saturday, September 10, 2022

STOCKHOLM SYNDROME

Pada 23 Agustus 1973, 4 pegawai bank Normalmstorg di Stockholm, Swedia disandera saat perampokan yang dilakukan oleh Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson di bank tersebut. Penyanderaan yang terjadi selama 6 hari (23 Agustus 1973 - 28 Agustus 1973) ini ternyata membuahkan hasil yang tidak terduga. Setelah dibebaskan, para korban justru mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan para penyandera hingga membela mereka dalam pengadilan dengan menyiapkan dana daripada melawannya. Para korban juga melaporkan bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para penyandera. Selain itu, salah satu dari korban juga diketahui bertunangan dengan salah satu penyandera mereka.

Akibat kasus ini, terciptalah istilah “Stockholm Syndrome” oleh seorang psikiater dan kriminolog asal Swedia yang bernama Nils Bejerot (Eske, 2020; Rahme et al., 2020). Namun, terdapat satu kasus yang terjadi jauh sebelum kasus perampokan Bank Normalmstorg terjadi yang juga diidentifikasi sebagai salah satu kasus stockholm syndrome, yaitu kasus yang terjadi pada bulan Mei 1933 dimana seorang wanita bernama Mary McElroy diculik oleh 4 pria dengan jumlah uang yang besar sebagai tebusan. Setelah Mary dibebaskan, seperti kasus sebelumnya, Mary tampak bersimpati pada penculiknya ketika penculiknya harus dihukum gantung akibat perbuatannya. Mary juga dikatakan sering mengunjungi penculiknya dan melaporkan bahwa keempat penculik tersebut memperlakukannya dengan baik meskipun nyatanya ia diculik saat sedang mandi, diancam akan ditembak, dibawa ke bangunan yang terbengkalai, dan dirantai di ruang bawah tanah.

Berdasarkan kedua kasus di atas, mungkin kita sudah memiliki sedikit tebakan mengenai stockholm syndrome. Namun, apa sebenarnya stockholm syndrome itu?

Stockholm Syndrome

Stockholm syndrome atau sindrom stockholm didefinisikan sebagai suatu respon psikologis yang dialami korban sandera atau korban kekerasan yang terjadi ketika para korban memiliki ikatan dengan penculiknya (Holland, 2019). Fadli (2022) juga menyatakan bahwa keadaan dimana korban menjadi simpati terhadap pelaku akibat ikatan emosional yang terbentuk di antara keduanya termasuk sebagai suatu kondisi yang langka. Terbentuknya ikatan ini dapat membuat korban tidak melarikan diri ketika diberi kesempatan dan bahkan mungkin mencoba mencegah penculiknya dalam menghadapi konsekuensi atau hukuman atas tindakannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa syndrome ini merupakan kondisi dimana korban penculikan merasa simpati bahkan jatuh cinta dengan penculiknya.

Walaupun kondisi ini merupakan kondisi yang langka, kondisi ini masih harus tetap diperhatikan. Maka dari itu, berikut adalah beberapa gejala dari stockholm syndrome menurut Nair (2015), yaitu seperti mudah marah, sering mengalami mimpi buruk, sering mengalami kesulitan untuk tidur atau insomnia, mudah untuk terkejut, mengalami ketidakpercayaan, mengalami kilas balik atau flashback, ketidakmampuan dalam menikmati pengalaman yang sebelumnya menyenangkan, dan sulit untuk berkonsentrasi. Namun ada juga ciri-ciri lainnya seperti munculnya perasaan positif terhadap pelaku, mendukung perilaku dari pelaku, munculnya perasaan negatif terhadap teman, keluarga, dan pihak yang berusaha untuk membantu mereka, dan ketidakmauan untuk terlibat dalam perilaku yang dapat membantu pembebasan mereka.

Nah setelah kita mengetahui apa itu stockholm syndrome beserta gejalanya, pertanyaan selanjutnya adalah apa sih yang sebenarnya menjadi penyebab terjadinya stockholm syndrome?

Sayangnya, sampai saat ini, penyebab stockholm syndrome masih belum diketahui secara jelas (Eske, 2020). Namun, menurut Graham, Rawlings, dan Rigsby (1994), stockholm syndrome tidak akan berkembang dan bertahan tanpa adanya kesalahan atribusi yaitu distorsi kognitif, dimana distorsi kognitif yang dimiliki korban dapat menimbulkan keyakinan untuk mencintai pelaku kekerasan dan menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang dialami. Menurut seorang ahli psikolog klinis, Carver (2014), terdapat 4 faktor yang menjadi dasar berkembangnya stockholm syndrome, diantaranya:

1. Terdapat ancaman yang dirasakan oleh korban terhadap kelangsungan hidup, baik dari fisik maupun psikologis, dimana korban merasa yakin bahwa ancaman tersebut akan dilakukan oleh pelaku.

2. Korban merasakan adanya kebaikan kecil yang diberikan oleh pelaku. Dengan kebaikan yang dirasakan oleh korban tersebutlah yang akhirnya mengembangkan rasa belas kasih kepada pelaku.

3. Korban menutup perspektif/sudut pandang lain, selain dari pelaku. Pada kasus perampokan bank di Stockholm, para sandera menolak untuk bersaksi di pengadilan dan memilih untuk membela pelaku karena mereka melihat hanya dari sudut pandang pelaku saja.

4. Korban merasa tidak memiliki kemampuan untuk melarikan diri dari situasi. Stockholm syndrome juga bisa disebut sebagai strategi bertahan hidup yang delusif yang tercipta dengan menaruh belas kasih dengan harapan dapat terbebas dari perlakuan buruk pelaku yang dapat mengancam nyawa.

Fenomena stockholm syndrome ternyata juga memberikan inspirasi bagi dunia perfilman. Salah satu film yang berjudul "The Factory" memberikan gambaran mengenai stockholm syndrome (Julian, 2020) dimana para wanita korban penculikan yang dikurung di ruangan bawah tanah merasa nyaman dengan pelaku dan bahkan memanggil sang pelaku dengan panggilan "Ayah". Atas dasar ini, korban memperlakukan pelaku layaknya ayah sendiri dan melupakan fakta bahwa mereka sebenarnya merupakan korban penculikan. Namun, mereka juga mendapat ancaman bahwa apabila mereka gagal untuk mengandung anak, mereka akan dilemparkan kedalam sumur.

            Secara garis besar, stockholm syndrome, dimana seseorang yang menjadi korban penculikan memiliki ikatan emosional dengan orang yang menculiknya, merupakan kondisi yang jarang ditemui dan belum diketahui dengan jelas penyebabnya hingga saat ini. Meski begitu, hal ini bukan berarti tidak mungkin terjadi. Nyatanya, Nils Bejerot, yang adalah seorang psikiater dan kriminolog, menciptakan istilah stockholm syndrome ini berdasarkan kasus penculikan yang terjadi di Stockholm, Swedia pada Agustus 1973.

            Seseorang dengan stockholm syndrome akan merasakan keterikatan terhadap orang yang menculiknya. Ikatan antara keduanya dapat muncul karena adanya perasaan simpati atau bahkan cinta. Hal ini bisa terjadi karena korban penculikan merasakan kebaikan kecil dari pelaku atau korban bersimpati setelah menempatkan diri dari sudut pandang pelaku. stockholm syndrome juga mungkin terjadi atas dasar pertahanan diri demi keberlangsungan hidup korban itu sendiri.

Namun, perlu diingat kembali bahwa stockholm syndrome merupakan reaksi psikologis terhadap penculikan dan bukan gangguan psikologis.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bovsun, M. (2009). The Lady and Her Kidnappers. Retrieved July 21, 2022. https://www.nydailynews.com/news/crime/lady-kidnappers-article-1.396520

Burton, N. (2018). What Underlies Stockholm Syndrome?. Retrieved July 21, 2022. https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/201203/what-underlies-stockholm-syndrome

Carver, J. M. (2014). Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser. Retrieved July 28, 2022.  https://counsellingresource.com/therapy/self-help/stockholm

Eske, J. (2020). What Is Stockholm Syndrome?. Retrieved July 21, 2022. https://www.medicalnewstoday.com/articles/stockholm-syndrome#origins

Fadli, R. (2022). Ketahui 4 Fakta Menarik Tentang Stockholm Syndrome. Retrieved July 30, 2022. https://www.halodoc.com/artikel/ketahui-4-fakta-menarik-tentang-stockholm-syndrome

Graham, D. L. R., Rawlings, E. I., & Rigsby, R. K. (1994). Loving to survive: Sexual terror, men’s violence, and women’s lives. New York: New York University Press.

Holland, K. (2019). What is Stockholm Syndrome and Who Does it Affect?. Retrieved August 1, 2022. https://www.healthline.com/health/mental-health/stockholm-syndrome

Julian. (2020). Sinopsis Film The Factory: Kisah 2 Wanita Pengidap Sindrom Stockholm, Tayang di Trans TV. Retrieved July 28, 2022. https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-23905293/sinopsis-film-the-factory-kisah-2-wanita-pengidap-sindrom-stockholm-tayang-di-trans-tv

Logan, M. H. (2018). Stockholm syndrome: Held hostage by the one you love. Violence and Gender, 5(2), 67–69. http://dx.doi.org/10.1089/vio.2017.0076

Nair, M. S. (2015). Stockholm syndrome -A self delusive survival strategy. IJAR: International Journal of Advanced Research, 3(11), 385-388.

Rahme, C., Haddad, C., Akel, M., Khoury, C., Obeid, H., Obeid, S., & Hallit, S. (2020). Does stockholm syndrome exist in Lebanon? Results of a cross-sectional study considering the factors associated with violence against women in a lebanese representative sample. Journal of Interpersonal Violence, 1-23.

 

Monday, August 15, 2022

SELF-REWARD

Pasti temen-temen sudah tidak asing nih dengan istilah "self-reward". Tapi apakah temen-temen sudah pernah melakukannya? Tidak jarang juga nih mungkin di antara temen-temen sering mendengar dari orang lain kalau self-reward itu sama halnya dengan pemborosan karena banyak orang beranggapan self-reward berarti memberi hadiah berupa barang-barang yang kita inginkan untuk diri kita sendiri.  Eitsss, tidak hanya itu loh temen-temen bentuk self-reward. Yuk kita bahas bersama!

Penghargaan diri (self-reward) adalah cara untuk memberi penghargaan pada diri sendiri atas usaha yang telah dilakukan. Memberikan hadiah seperti ini bertujuan untuk memberikan semangat dan motivasi pada diri sendiri bahwa rasanya menyenangkan ketika suatu pekerjaan selesai dan mendapat imbalan karena melakukannya (Boen, 2022). Menurut Iksana (2019), self-reward merupakan salah satu aspek penting dalam kepemimpinan diri. Penghargaan sebaiknya diberikan setelah kita bekerja keras, terutama kerja keras untuk mencapai suatu tujuan. Pentingnya memberi penghargaan terhadap diri sendiri ini kadang tidak disadari, padahal memberi penghargaan atau hadiah pada diri sendiri dapat meningkatkan motivasi dalam diri dan meningkatkan mood yang positif saat kembali bekerja. Penghargaan atau hadiah tersebut dapat berupa material maupun non material. Hadiah secara material biasanya adalah benda atau barang yang sedang diinginkan. Penghargaan yang bersifat non material, seperti memberi apresiasi dalam bentuk kata-kata afirmasi kepada diri sendiri atas pencapaian-pencapaian kecil yang sudah dilakukan dalam satu hari (Nurcahyani, 2022). 

Self-reward sendiri bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dari hal yang paling sederhana, seperti quality time bersama keluarga ataupun sahabat, meluangkan waktu untuk me time seperti jalan-jalan sendiri, bersantai di rumah, menonton film kesukaan, melakukan hobi atau hal-hal yang disenangi, atau bisa dengan membeli barang yang sudah diinginkan sejak lama (Talitha, 2021). Namun di lain sisi, self-reward seringkali dikaitkan dengan masalah pemborosan, tidak jarang orang menghabiskan uangnya dengan membeli barang-barang branded secara berlebihan dan menjadikan hal tersebut sebagai bentuk dari self-reward. Maka dari itu, self-reward perlu ada batasannya agar tetap bijak saat melakukannya. Dikutip dari Dwiyanti (2021), berikut adalah beberapa cara melakukan self-reward yang tepat:

1. Relevansi: Pastikan reward yang akan diberikan pada diri sendiri tidak bertolak belakang dengan goal yang ingin dicapai. Misalnya saja kita ingin menabung, maka sesuaikan reward tersebut agar tidak menguras kantong secara berlebihan.

2. Batasi diri: Tidak ada yang salah bila melakukan self-reward dengan membeli makanan yang disukai atau barang-barang yang diinginkan. Namun penting untuk menetapkan budget agar tidak berujung pemborosan.

3. Memberi hadiah yang dapat memotivasi diri: Ingat kembali bahwa salah satu tujuan self-reward adalah untuk meningkatkan motivasi diri. Maka tentukanlah reward seperti apa yang bisa meningkatkan motivasi diri kita, bukan sekedar memenuhi keinginan dan gengsi semata.

Dengan melakukan self-reward kita juga menghargai usaha yang kita lakukan. Manfaat sederhana dari self-reward dapat menaikan atau mengembalikan mood. Selain itu, manfaat lain dari self-reward adalah dapat meningkatkan kesehatan mental, membangun energi positif sebagai bentuk ungkapan self-love, dan juga dapat menjadi pemicu semangat serta produktivitas (Millennial, 2021). Mengutip dari Azkiya (2021), manfaat self-reward bagi diri sendiri antara lain, menguatkan motivasi, meningkatkan produktivitas, dan juga baik untuk kesehatan mental.

Namun, tidak semua orang dapat dengan mudah melakukan self-reward karena keadaan dan kebutuhan masing-masing orang berbeda. Hal ini yang akhirnya bisa menjadi hambatan seseorang dalam melakukan self-reward. Jika dikaitkan dengan teori kebutuhan Maslow, terdapat lima tingkat kebutuhan yang harus dipenuhi dari kebutuhan yang paling rendah sampai ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi (Azizah, 2021). Self-reward sendiri termasuk dalam kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) yang berada di tingkat keempat (Khasanah, 2021). Sedangkan untuk mencapai tingkat tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan di tingkat sebelumnya, seperti kebutuhan dasar atau fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan sosial. Maka dari itu, masing-masing orang memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda yang harus dipenuhi.


sumber: https://images.app.goo.gl/dwvGCYpb2hi4MXei9

        Jadi dapat disimpulkan bahwa self-reward merupakan salah satu cara dalam memberikan penghargaan untuk diri sendiri ketika seseorang memperoleh suatu pencapaian. Self-reward juga merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan dikarenakan dapat menambah motivasi dan semangat bagi diri sendiri. Akan tetapi, banyak orang terlalu berlebihan dalam melakukan self-reward sehingga self-reward dipandang sebagai hal yang negatif (pemborosan dan terlalu sering melakukan self-reward) bagi sebagian orang. Untuk mengatasi hal-hal negatif ini seseorang harus dapat merelevansi, membatasi diri, dan memilih reward yang dapat memotivasi diri sendiri sehingga reward yang diberikan dapat tepat pada tujuan dalam pemberian self-reward ini.

 

DAFTAR PUSTAKA

Azkiya, G. (2021). Pentingnya Self Reward, Contoh dan Manfaatnya Bagi Diri Sendiri. Retrieved July 19, 2022. https://blog.skillacademy.com/self-reward-adalah

Azizah, L. N. (2021). Teori Kebutuhan Maslow: Pengertian, Konsep & Pembagiannya. Retrieved July 27, 2022. https://www.gramedia.com/literasi/teori-kebutuhan-maslow/

Boen, B. (2022). Bedakan Boros dan Self-Reward, Awas Terbalik. Retrieved July 20, 2022. https://www.youngontop.com/bedakan-boros-dan-self-reward-awas-terbalik

Dwiyanti, I. (2021). Pentingnya Self Reward, dan Cara Yang Benar Melakukannya. Retrieved July 19, 2022. https://roomme.id/artikel/career-&-money/self-reward

Iksana, S. A. (2019). Hubungan antara kepemimpinan diri dengan semangat kerja pegawai negeri sipil (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia). Retrieved July 20, 2022. https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/17531

Khasanah, N. U. (2021). Self Reward: Dari Aku Untuk Diriku. Retrieved July 27, 2022. https://www.kompasiana.com/nidhaulkhasanah/604d8d8ed541df21477ce993/self-reward-dari-aku-untuk-diriku?page=all#section1

Millennial. (2021). Reward untuk Diri Sendiri Juga Perlu, Ini Manfaatnya. Retrieved July 19, 2022. https://kumparan.com/millennial/reward-untuk-diri-sendiri-juga-perlu-ini-manfaatnya-1wPypanS2CC/2

Nurcahyani, I. (2022). Agar "Self Reward" Tidak Berujung Boros. Retrieved July 27, 2022. https://id.berita.yahoo.com/agar-self-reward-tidak-berujung-091039143.html

Talitha, T. (2021). Arti Self Reward & Pentingnya Self Reward. Retrieved July 19, 2022. https://www.gramedia.com/best-seller/self-reward/

 

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...