Pada
23 Agustus 1973, 4 pegawai bank Normalmstorg di Stockholm, Swedia disandera
saat perampokan yang dilakukan oleh Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson di bank
tersebut. Penyanderaan yang terjadi selama 6 hari (23 Agustus 1973 - 28 Agustus
1973) ini ternyata membuahkan hasil yang tidak terduga. Setelah dibebaskan,
para korban justru mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan para
penyandera hingga membela mereka dalam pengadilan dengan menyiapkan dana
daripada melawannya. Para korban juga melaporkan bahwa mereka diperlakukan
dengan baik oleh para penyandera. Selain itu, salah satu dari korban juga
diketahui bertunangan dengan salah satu penyandera mereka.
Akibat
kasus ini, terciptalah istilah “Stockholm
Syndrome” oleh seorang psikiater dan kriminolog asal Swedia yang bernama
Nils Bejerot (Eske, 2020; Rahme et al., 2020). Namun, terdapat satu kasus yang
terjadi jauh sebelum kasus perampokan Bank Normalmstorg terjadi yang juga
diidentifikasi sebagai salah satu kasus stockholm
syndrome, yaitu kasus yang terjadi pada bulan Mei 1933 dimana seorang
wanita bernama Mary McElroy diculik oleh 4 pria dengan jumlah uang yang besar
sebagai tebusan. Setelah Mary dibebaskan, seperti kasus sebelumnya, Mary tampak
bersimpati pada penculiknya ketika penculiknya harus dihukum gantung akibat
perbuatannya. Mary juga dikatakan sering mengunjungi penculiknya dan melaporkan
bahwa keempat penculik tersebut memperlakukannya dengan baik meskipun nyatanya
ia diculik saat sedang mandi, diancam akan ditembak, dibawa ke bangunan yang
terbengkalai, dan dirantai di ruang bawah tanah.
Berdasarkan
kedua kasus di atas, mungkin kita sudah memiliki sedikit tebakan mengenai stockholm syndrome. Namun, apa
sebenarnya stockholm syndrome itu?
Stockholm Syndrome
Stockholm syndrome
atau sindrom stockholm didefinisikan sebagai suatu respon psikologis yang
dialami korban sandera atau korban kekerasan yang terjadi ketika para korban
memiliki ikatan dengan penculiknya (Holland, 2019). Fadli (2022) juga
menyatakan bahwa keadaan dimana korban menjadi simpati terhadap pelaku akibat
ikatan emosional yang terbentuk di antara keduanya termasuk sebagai suatu
kondisi yang langka. Terbentuknya ikatan ini dapat membuat korban tidak
melarikan diri ketika diberi kesempatan dan bahkan mungkin mencoba mencegah
penculiknya dalam menghadapi konsekuensi atau hukuman atas tindakannya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa syndrome ini
merupakan kondisi dimana korban penculikan merasa simpati bahkan jatuh cinta
dengan penculiknya.
Walaupun
kondisi ini merupakan kondisi yang langka, kondisi ini masih harus tetap
diperhatikan. Maka dari itu, berikut adalah beberapa gejala dari stockholm syndrome menurut Nair (2015),
yaitu seperti mudah marah, sering mengalami mimpi buruk, sering mengalami
kesulitan untuk tidur atau insomnia, mudah untuk terkejut, mengalami
ketidakpercayaan, mengalami kilas balik atau flashback, ketidakmampuan dalam menikmati pengalaman yang
sebelumnya menyenangkan, dan sulit untuk berkonsentrasi. Namun ada juga
ciri-ciri lainnya seperti munculnya perasaan positif terhadap pelaku, mendukung
perilaku dari pelaku, munculnya perasaan negatif terhadap teman, keluarga, dan
pihak yang berusaha untuk membantu mereka, dan ketidakmauan untuk terlibat
dalam perilaku yang dapat membantu pembebasan mereka.
Nah
setelah kita mengetahui apa itu stockholm
syndrome beserta gejalanya, pertanyaan selanjutnya adalah apa sih yang
sebenarnya menjadi penyebab terjadinya stockholm
syndrome?
Sayangnya,
sampai saat ini, penyebab stockholm
syndrome masih belum diketahui secara jelas (Eske, 2020). Namun, menurut
Graham, Rawlings, dan Rigsby (1994), stockholm
syndrome tidak akan berkembang dan bertahan tanpa adanya kesalahan atribusi
yaitu distorsi kognitif, dimana distorsi kognitif yang dimiliki korban dapat
menimbulkan keyakinan untuk mencintai pelaku kekerasan dan menyalahkan diri
sendiri atas kekerasan yang dialami. Menurut seorang ahli psikolog klinis,
Carver (2014), terdapat 4 faktor yang menjadi dasar berkembangnya stockholm syndrome, diantaranya:
1. Terdapat ancaman yang
dirasakan oleh korban terhadap kelangsungan hidup, baik dari fisik maupun
psikologis, dimana korban merasa yakin bahwa ancaman tersebut akan dilakukan
oleh pelaku.
2. Korban merasakan
adanya kebaikan kecil yang diberikan oleh pelaku. Dengan kebaikan yang
dirasakan oleh korban tersebutlah yang akhirnya mengembangkan rasa belas kasih
kepada pelaku.
3. Korban menutup
perspektif/sudut pandang lain, selain dari pelaku. Pada kasus perampokan bank
di Stockholm, para sandera menolak untuk bersaksi di pengadilan dan memilih
untuk membela pelaku karena mereka melihat hanya dari sudut pandang pelaku
saja.
4. Korban merasa tidak
memiliki kemampuan untuk melarikan diri dari situasi. Stockholm syndrome juga bisa disebut sebagai strategi bertahan
hidup yang delusif yang tercipta dengan menaruh belas kasih dengan harapan
dapat terbebas dari perlakuan buruk pelaku yang dapat mengancam nyawa.
Fenomena
stockholm syndrome ternyata juga
memberikan inspirasi bagi dunia perfilman. Salah satu film yang berjudul
"The Factory" memberikan gambaran mengenai stockholm syndrome (Julian, 2020) dimana para wanita korban
penculikan yang dikurung di ruangan bawah tanah merasa nyaman dengan pelaku dan
bahkan memanggil sang pelaku dengan panggilan "Ayah". Atas dasar ini,
korban memperlakukan pelaku layaknya ayah sendiri dan melupakan fakta bahwa
mereka sebenarnya merupakan korban penculikan. Namun, mereka juga mendapat
ancaman bahwa apabila mereka gagal untuk mengandung anak, mereka akan
dilemparkan kedalam sumur.
Secara garis besar, stockholm
syndrome, dimana seseorang yang menjadi korban penculikan memiliki ikatan
emosional dengan orang yang menculiknya, merupakan kondisi yang jarang ditemui
dan belum diketahui dengan jelas penyebabnya hingga saat ini. Meski begitu, hal
ini bukan berarti tidak mungkin terjadi. Nyatanya, Nils Bejerot, yang adalah
seorang psikiater dan kriminolog, menciptakan istilah stockholm syndrome ini berdasarkan kasus penculikan yang terjadi di
Stockholm, Swedia pada Agustus 1973.
Seseorang dengan stockholm
syndrome akan merasakan keterikatan terhadap orang yang menculiknya. Ikatan
antara keduanya dapat muncul karena adanya perasaan simpati atau bahkan cinta.
Hal ini bisa terjadi karena korban penculikan merasakan kebaikan kecil dari
pelaku atau korban bersimpati setelah menempatkan diri dari sudut pandang
pelaku. stockholm syndrome juga
mungkin terjadi atas dasar pertahanan diri demi keberlangsungan hidup korban
itu sendiri.
Namun,
perlu diingat kembali bahwa stockholm syndrome
merupakan reaksi psikologis terhadap penculikan dan bukan gangguan psikologis.
DAFTAR
PUSTAKA
Bovsun,
M. (2009). The Lady and Her Kidnappers. Retrieved July 21, 2022. https://www.nydailynews.com/news/crime/lady-kidnappers-article-1.396520
Burton,
N. (2018). What Underlies Stockholm Syndrome?. Retrieved July 21, 2022. https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/201203/what-underlies-stockholm-syndrome
Carver,
J. M. (2014). Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser. Retrieved July 28, 2022. https://counsellingresource.com/therapy/self-help/stockholm
Eske,
J. (2020). What Is Stockholm Syndrome?. Retrieved July 21, 2022. https://www.medicalnewstoday.com/articles/stockholm-syndrome#origins
Fadli,
R. (2022). Ketahui 4 Fakta Menarik Tentang Stockholm Syndrome. Retrieved July 30, 2022. https://www.halodoc.com/artikel/ketahui-4-fakta-menarik-tentang-stockholm-syndrome
Graham,
D. L. R., Rawlings, E. I., & Rigsby, R. K. (1994). Loving to survive: Sexual terror, men’s violence, and women’s lives.
New York: New York University Press.
Holland,
K. (2019). What is Stockholm Syndrome and Who Does it Affect?. Retrieved August 1, 2022. https://www.healthline.com/health/mental-health/stockholm-syndrome
Julian.
(2020). Sinopsis Film The Factory: Kisah 2 Wanita Pengidap Sindrom Stockholm,
Tayang di Trans TV. Retrieved July
28, 2022. https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-23905293/sinopsis-film-the-factory-kisah-2-wanita-pengidap-sindrom-stockholm-tayang-di-trans-tv
Logan,
M. H. (2018). Stockholm syndrome: Held hostage by the one you love. Violence and Gender, 5(2), 67–69. http://dx.doi.org/10.1089/vio.2017.0076
Nair,
M. S. (2015). Stockholm syndrome -A self delusive survival strategy. IJAR: International Journal of Advanced
Research, 3(11), 385-388.
Rahme,
C., Haddad, C., Akel, M., Khoury, C., Obeid, H., Obeid, S., & Hallit, S.
(2020). Does stockholm syndrome exist in Lebanon? Results of a cross-sectional
study considering the factors associated with violence against women in a
lebanese representative sample. Journal
of Interpersonal Violence, 1-23.