Thursday, February 10, 2022

MENTAL ILLNESS

                          MENTAL ILLNESS ISN'T AESTHETIC

        Sebagai bagian dari generasi yang separuh waktunya dihabiskan di depan layar, pastinya kita sudah tidak asing dengan berita-berita yang datang dari berbagai penjuru dunia mengenai public figure yang mengaku memiliki mental illness. Atau mungkin berita-berita tersebut didapati dari orang-orang terdekat seperti teman, sahabat, atau bahkan keluarga yang mengaku dirinya memiliki gangguan mental atau mental illness. Selain itu, beberapa waktu belakangan ini banyak juga film yang mengangkat persoalan mental sebagai fokusnya.

            "Wah! Berarti kabar baik dong?" 

        Banyaknya film yang mengangkat masalah mental sebagai fokusnya memang membawa dampak baik karena karya ini membuat masyarakat menjadi lebih peka dan peduli terhadap kesehatan mental. Namun, sangat disayangkan tidak setiap orang mampu merespon dan menyikapi hal ini dengan tepat. Mengapa? Karena tidak jarang orang-orang, khususnya anak muda, jadi salah kaprah dalam menanggapi hal ini sehingga berujung pada self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapat tanpa pertimbangan dari pakarnya. Tidak sampai disini saja, kebanyakan orang akan memamerkan hasil self-diagnose yang didapati secara “illegal” ke media sosial dengan anggapan memiliki mental illness adalah keren. Sebenarnya apakah benar dengan memamerkan hasil self-diagnose bisa dikatakan kerenYuk simak penjelasannya!


Gangguan mental (Mental illness)

   Pasti kita semua sudah cukup familier dengan istilah mental illness karena kini mental illness sudah mulai marak dibicarakan. Menurut Radiani (2019), gangguan mental terdiri dari berbagai masalah dengan berbagai gejala. Namun umumnya dicirikan dengan kombinasi abnormalitas pada pola pikir, emosi, perilaku serta hubungan dengan orang lain. Menurut Burhanuddin (dalam Radiani, 2019), berbagai perasaan yang menyebabkan terganggunya kesehatan mental dapat seperti perasaan cemas (gelisah), iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah, ragu (bimbang), dan sebagainya. Sedangkan menurut WHO (2021), kesehatan mental merupakan sebuah kondisi sejahtera yang disadari oleh individu sehingga mampu mengelola stress kehidupan dengan cara yang wajar sehingga individu mampu bekerja dan menjalankan kehidupannya sehari-hari secara produktif.

 

Self-diagnose

Self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri adalah upaya seseorang untuk mendiagnosis dirinya mengidap sebuah penyakit atau gangguan psikis dan mental berdasarkan pengetahuan atau informasi yang diperoleh secara mandiri, seperti mencari informasi mengenai penyakit tersebut melalui internet dan berasumsi bahwa dirinya seolah-olah mengetahui penyakit atau gangguan yang sedang dialami. Menurut (Buntoro et al, 2019), perilaku ini cukup berbahaya karena selain berdampak pada kepanikan yang tidak perlu, mendiagnosis diri sendiri tanpa pendapat ahli langsung juga berbahaya untuk seseorang menentukan tindakan selanjutnya. Misalnya seseorang bisa saja mengonsumsi obat yang salah atau seseorang bisa saja menyebarkan informasi yang salah kepada orang lain sehingga menyebabkan kekacauan lainnya.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, self-diagnose sendiri merupakan kebiasaan yang sangat berbahaya dan tidak cukup baik untuk dilakukan.

Pernahkah readers mendengar berita atau membaca artikel-artikel di internet yang mengatakan bahwa akhir-akhir ini semakin marak orang muda yang mendiagnosis dirinya mengidap sakit mental atau sakit fisik namun tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli atau pakarnya?

"Menurut readers, mengapa hal ini bisa terjadi?"

Hal ini cenderung terjadi karena adanya rasa takut akan stigma negatif yang diberikan lingkungan terhadap diri individu tersebut, khususnya stigma atau pandangan yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Tahukah kamu, kalau di Indonesia sendiri stigma negatif ini masih sering muncul, loh! Masyarakat Indonesia masih berasumsi bahwa orang yang menemui professional seperti psikolog atau psikiater adalah orang yang memiliki masalah kejiwaan atau biasa disebut dengan istilah ”gila”. Padahal belum tentu loh orang yang menemui professional adalah orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Bisa saja alasannya bertemu psikolog hanya untuk bercerita dan bercengkrama karena ternyata hal ini bisa membantu melegakan pikiran, loh!

"Lalu, apa sih dampak lain yang ditimbulkan karena melakukan self-diagnose?"


 Dampak self-diagnose pada kesehatan mental

Beberapa dampak akan muncul ketika seseorang melakukan self-diagnose. Misalnya, menyebabkan kekhawatiran pada diri sendiri mengenai hal yang sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Contoh, belakangan ini Mawar sering merasa pusing. Lalu, Mawar mencari informasi-informasi melalui internet tentang penyebab rasa pusing yang sering Mawar alami. Nah, dari hasil pencarian tersebut Mawar mendapati informasi bahwa ternyata rasa pusing yang sering muncul dapat menunjukkan adanya penyakit otak yang serius, katakanlah tumor otak. Pada akhirnya Mawar terus merasa takut dan khawatir bahkan hingga merasa stress berat karena mengira dirinya mengidap tumor otak. Padahal bisa saja sakit kepala tersebut didapati karena Mawar kurang tidur atau Mawar terlalu lama terpapar sinar matahari siang.

Kekhawatiran yang disebabkan karena self-diagnose juga dapat berujung pada gangguan kecemasan umum, loh! Gangguan kecemasan umum merupakan kondisi mental yang biasanya ditandai dengan kekhawatiran berlebihan terhadap situasi tertentu (Makarim, 2021).

Jadi, sebaiknya jangan menjadi dokter untuk diri sendiri dengan melakukan self-diagnose ya! Kalau readers mulai merasakan atau mengalami salah satu atau beberapa gejala dari gangguan mental sebaiknya langsung saja konsultasikan dengan pihak professional seperti psikolog atau psikiater (untuk masalah mental) atau dokter umum (untuk masalah kesehatan fisik). For your information, saat ini di beberapa rumah sakit dan puskesmas yang ada dibawah naungan pemerintah membuka layanan psikologis dengan biaya yang cukup terjangkau bahkan gratis, loh! Jadi, jangan ragu lagi, ya!

“It’s up to you today to start making healthy choices. Not choices that are just healthy for your body, but healthy for your mind.” 


                       DAFTAR PUSTAKA

Buntoro, Y. I., Setiawan, K., & Harnoko, I. (2019). Perancangan kampanye sosial stop self-diagnose ditunjukkan untuk remaja. Jurnal Ilmiah Desain Komunikasi Visual, Vol 2 No. 1 (2019), 1-6.

Makarim, F. R. (2021, Oktober 12). Bahaya self-diagnosis yang berpengaruh pada kesehatan mental: Diakses dari https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-self-diagnosis-yang-berpengaruh-pada-kesehatan-mental

Nugraha, J (2021, November 29). Mengenal penjelasan lengkap mengenai kesehatan mental menurut WHO, berikut penjelasan lengkapnya: Diakses dari https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-kesehatan-mental-menurut-who-berikut-penjelasan-lengkapnya-kln.html

Radiani, W. A. (2019). Kesehatan mental masa kini dan penanganan gangguannya secara Islami. Journal of Islamic and Law Studies, Volume 3(Nomor 1, Juni 2019), 87-113. nu



Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...