MENTAL ILLNESS ISN'T AESTHETIC
Gangguan mental (Mental illness)
Pasti kita semua sudah cukup familier dengan
istilah mental illness karena kini mental illness sudah mulai
marak dibicarakan. Menurut Radiani (2019), gangguan mental terdiri dari berbagai
masalah dengan berbagai gejala. Namun umumnya dicirikan dengan kombinasi
abnormalitas pada pola pikir, emosi, perilaku serta hubungan dengan orang lain.
Menurut Burhanuddin (dalam Radiani, 2019), berbagai perasaan yang menyebabkan
terganggunya kesehatan mental dapat seperti perasaan cemas (gelisah), iri hati, sedih,
merasa rendah diri, pemarah, ragu (bimbang), dan sebagainya. Sedangkan menurut
WHO (2021), kesehatan mental merupakan sebuah kondisi sejahtera yang disadari
oleh individu sehingga mampu mengelola stress kehidupan dengan cara yang
wajar sehingga individu mampu bekerja dan menjalankan kehidupannya sehari-hari
secara produktif.
Self-diagnose
Self-diagnose atau mendiagnosis diri sendiri adalah upaya
seseorang untuk mendiagnosis dirinya mengidap sebuah penyakit atau gangguan
psikis dan mental berdasarkan pengetahuan atau informasi yang diperoleh secara
mandiri, seperti mencari informasi mengenai penyakit tersebut melalui internet
dan berasumsi bahwa dirinya seolah-olah mengetahui penyakit atau gangguan yang
sedang dialami. Menurut (Buntoro et al, 2019), perilaku ini cukup berbahaya karena
selain berdampak pada kepanikan yang tidak perlu, mendiagnosis diri sendiri
tanpa pendapat ahli langsung juga berbahaya untuk seseorang menentukan tindakan
selanjutnya. Misalnya seseorang bisa saja mengonsumsi obat yang salah atau
seseorang bisa saja menyebarkan informasi yang salah kepada orang lain sehingga
menyebabkan kekacauan lainnya.
Seperti yang
sudah dikatakan sebelumnya, self-diagnose sendiri merupakan kebiasaan
yang sangat berbahaya dan tidak cukup baik untuk dilakukan.
Pernahkah readers
mendengar berita atau membaca artikel-artikel di internet yang
mengatakan bahwa akhir-akhir ini semakin marak orang muda yang mendiagnosis
dirinya mengidap sakit mental atau sakit fisik namun tanpa berkonsultasi terlebih
dahulu dengan ahli atau pakarnya?
"Menurut readers,
mengapa hal ini bisa terjadi?"
Hal ini cenderung
terjadi karena adanya rasa takut akan stigma negatif yang diberikan
lingkungan terhadap diri individu tersebut, khususnya stigma atau
pandangan yang berhubungan dengan kesehatan mental.
Tahukah kamu, kalau di Indonesia sendiri stigma negatif ini masih sering muncul, loh! Masyarakat Indonesia masih berasumsi bahwa orang yang menemui professional seperti psikolog atau psikiater adalah orang yang memiliki masalah kejiwaan atau biasa disebut dengan istilah ”gila”. Padahal belum tentu loh orang yang menemui professional adalah orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Bisa saja alasannya bertemu psikolog hanya untuk bercerita dan bercengkrama karena ternyata hal ini bisa membantu melegakan pikiran, loh!
"Lalu, apa sih
dampak lain yang ditimbulkan karena melakukan self-diagnose?"
Dampak self-diagnose pada kesehatan mental
Beberapa dampak
akan muncul ketika seseorang melakukan self-diagnose. Misalnya,
menyebabkan kekhawatiran pada diri sendiri mengenai hal yang sebenarnya tidak
perlu dikhawatirkan. Contoh, belakangan ini Mawar sering merasa pusing. Lalu,
Mawar mencari informasi-informasi melalui internet tentang penyebab rasa
pusing yang sering Mawar alami. Nah, dari hasil pencarian tersebut Mawar
mendapati informasi bahwa ternyata rasa pusing yang sering muncul dapat
menunjukkan adanya penyakit otak yang serius, katakanlah tumor otak. Pada
akhirnya Mawar terus merasa takut dan khawatir bahkan hingga merasa stress
berat karena mengira dirinya mengidap tumor otak. Padahal bisa saja sakit
kepala tersebut didapati karena Mawar kurang tidur atau Mawar terlalu lama
terpapar sinar matahari siang.
Kekhawatiran
yang disebabkan karena self-diagnose juga dapat berujung pada gangguan
kecemasan umum, loh! Gangguan kecemasan umum merupakan kondisi mental
yang biasanya ditandai dengan kekhawatiran berlebihan terhadap situasi tertentu
(Makarim, 2021).
Jadi, sebaiknya jangan menjadi dokter untuk diri sendiri dengan melakukan self-diagnose ya! Kalau readers mulai merasakan atau mengalami salah satu atau beberapa gejala dari gangguan mental sebaiknya langsung saja konsultasikan dengan pihak professional seperti psikolog atau psikiater (untuk masalah mental) atau dokter umum (untuk masalah kesehatan fisik). For your information, saat ini di beberapa rumah sakit dan puskesmas yang ada dibawah naungan pemerintah membuka layanan psikologis dengan biaya yang cukup terjangkau bahkan gratis, loh! Jadi, jangan ragu lagi, ya!
“It’s up to you today to start making
healthy choices. Not choices that are just healthy for your body, but healthy
for your mind.”
DAFTAR PUSTAKA
Buntoro, Y. I., Setiawan, K., & Harnoko,
I. (2019). Perancangan kampanye sosial stop self-diagnose ditunjukkan untuk
remaja. Jurnal Ilmiah Desain Komunikasi Visual, Vol 2 No. 1 (2019), 1-6.
Makarim, F. R. (2021, Oktober 12). Bahaya
self-diagnosis yang berpengaruh pada kesehatan mental: Diakses dari https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-self-diagnosis-yang-berpengaruh-pada-kesehatan-mental
Nugraha, J (2021, November 29). Mengenal
penjelasan lengkap mengenai kesehatan mental menurut WHO, berikut penjelasan
lengkapnya: Diakses dari https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-kesehatan-mental-menurut-who-berikut-penjelasan-lengkapnya-kln.html
Radiani, W. A. (2019). Kesehatan mental masa
kini dan penanganan gangguannya secara Islami. Journal of Islamic and Law
Studies, Volume 3(Nomor 1, Juni 2019), 87-113. nu