Friday, November 21, 2025

Albert Bandura: The Bobo Doll Experiment

 Edisi November 2025

The Bobo Doll Experiment

Sumber : https://techofcomm.wordpress.com/2019/07/18/observational-learning-the-bobo-doll-experience-or-experiment/

Penulis : Jovanka Nartawijaya & Chelsea Christy Setiawan

PENJELASAN TOKOH

Albert Bandura lahir pada tanggal (4 Desember 1925 - 26 Juli 2021) di Mundare, sebuah kota kecil di dataran utara Alberta. Bandura memulai pendidikannya di sekolah dasar dan menengah yang sederhana dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas. Namun Bandura yang terlahir jenius berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan nilai rata-rata yang sangat memuaskan. Pada tahun 1949 Bandura memperoleh gelar sarjana psikologi dari University of British of Colombia. Setelah itu, pendidikannya dilanjutkan di University of Iowa. Di sana, ia meraih gelar Ph.D. pada tahun 1952. Ia kemudian muncul sebagai tokoh sentral dalam behaviorisme masa kini dengan teori-teori pembelajaran yang berhasil ia rumuskan. 



EKSPERIMEN

Albert Bandura adalah seorang psikolog yang percaya bahwa manusia bisa belajar hanya dengan mengamati orang lain, bukan hanya lewat hadiah atau hukuman.

Pada tahun 1960-an, banyak psikolog berpikir bahwa perilaku hanya bisa dipelajari lewat pengalaman langsung. Bandura tidak setuju. Ia mengatakan bahwa kita juga bisa belajar dengan menonton orang lain, terutama orang yang dianggap sebagai panutan—seperti orang tua, guru, atau tokoh di TV.

Untuk membuktikan teorinya, Bandura membuat eksperimen dengan boneka Bobo. Ia ingin tahu apakah anak-anak bisa belajar bersikap agresif hanya dengan melihat orang dewasa bersikap agresif?

Eksperimen ini jadi penting karena saat itu banyak orang mulai khawatir tentang dampak acara TV yang penuh kekerasan terhadap anak-anak.


PROSES EKSPERIMEN

1. Partisipan

  • Terdiri dari 72 anak (36 laki-laki dan 36 perempuan), berusia 3 hingga 6 tahun.
  • Dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing berisi 24 anak.

2. Pembagian Kelompok

    • Kelompok 1: Melihat orang dewasa bersikap agresif terhadap boneka Bobo.

    • Kelompok 2: Melihat orang dewasa bermain dengan tenang dan tidak agresif.
    • Kelompok 3: Tidak melihat model sama sekali (kelompok kontrol).

    Setiap kelompok juga dibagi dua: separuh melihat model laki-laki, separuh melihat model perempuan.

    3. Tahap Pemodelan

    • Anak-anak dibawa satu per satu ke ruangan untuk menyaksikan model dewasa bermain.
    • Dalam kondisi agresif, model memukul, menendang, dan berteriak pada boneka Bobo (contoh: “Hajar hidungnya!”).
    • Dalam kondisi tidak agresif, model bermain tenang dengan mainan lain dan4mengabaikan boneka Bobo.

    4. Tahap Frustasi

        • Setelah mengamati model, anak-anak dibawa ke ruangan lain dengan mainan menarik.
        • Mereka diberi tahu bahwa mereka hanya bisa bermain sebentar—tujuannya untuk memunculkan sedikit rasa frustrasi.

        5. Tes Peniruan

        • Anak-anak kemudian ditempatkan di ruangan dengan boneka Bobo dan mainan lainnya.
        • Pengamat mencatat perilaku anak selama 20 menit, termasuk:

          • Agresi fisik (memukul, menendang)

          • Agresi verbal (berteriak dengan kata-kata mirip model)

          • Perilaku tidak agresif



        HASIL EKSPERIMEN

        • Anak-anak yang melihat model agresif menunjukkan perilaku agresif yang jauh lebih tinggi.

        • Anak laki-laki lebih sering meniru model laki-laki; anak perempuan lebih banyak menunjukkan agresi verbal saat melihat model perempuan.

        • Anak-anak di kelompok tidak agresif dan kontrol menunjukkan sedikit agresi.


        Referensi

        Bandura, A. (n.d.). Influence of models” reinforcement contingencies on the acquisition of imitative responses. Journal of personality and social psychology, 1(6), 589.

        Shalma, N. A. (2023). Implementation of Albert Bandura's modeling learning theory in  Sholat Khusyu Ikhlas learning at MI Mumtaza Islamic School Pamulang. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

        Saturday, November 8, 2025

        Martin Seligman: Learned Helplessness


        Penulis: Gabriel Tiara Chandra Kusuma & Yonatan Stevano Tedjolaksono

        Latar Belakang 
            Teori Learned Helplessness dikembangkan oleh Martin E.P. Seligman dan rekan-rekannya melalui serangkaian eksperimen psikologis yang dimulai pada akhir 1960-an. Latar belakang teoritisnya dapat dibagi menjadi dua fase utama: 1) Model Awal yang Berbasis Behaviorisme, dan 2) Reformulasi Kognitif yang menghubungkannya dengan depresi pada manusia.

            A. Pondasi Awal : Eksperimen dan Model Behaviorisme
            Eksperimen Paradigma Triadik: Seligman & Maier (1967) merancang eksperimen dengan 3 kelompok anjing. Eksperimen ini dilakukan untuk mencari tahu tentang bagaimana hewan, terutama anjing, merespons stres yang tidak dapat dikendalikan dan apakah respons tersebut bisa diterapkan pada situasi lain. Penelitian ini berlangsung di Universitas Pennsylvania oleh Martin Seligman dan Steven Maier pada tahun 1967. Subjek penelitian yang digunakan adalah anjing dewasa yang dipilih berdasarkan kemampuan mereka dilatih dan kesesuaian untuk eksperimen perilaku. Anjing-anjing tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 
        a. Escapable Shock Group: Anjing ini menerima kejutan listrik yang dapat mereka hentikan dengan menekan panel dengan hidung mereka.
        b. Unescapable Shock/Yoked Group: Anjing dalam grup ini menerima kejutan yang sama persis dengan Grup Escape, tetapi mereka tidak memiliki kendali untuk menghentikannya. Kejutan akan berhenti hanya jika anjing di Grup Escape menekan panel.
        c. Control Group: Anjing yang tidak menerima kejutan sama sekali. Kemudian, semua anjing ditempatkan dalam sebuah kandang baru dengan pembatas rendah yang dapat mereka lompati untuk menghindari kejutan. Hasilnya mengejutkan (Seligman & Maier, 1967):

            • Prosedur  
            Pada tahap pertama, anjing dari kelompok pertama diberikan kejutan listrik yang dapat dihentikan dengan cara menekan panel menggunakan hidung (escapable shock group). Anjing di kelompok kedua juga menerima kejutan dengan durasi dan intensitas yang sama, namun tidak memiliki kendali apa pun untuk menghentikannya, karena sistem kejutan mereka dihubungkan secara langsung dengan anjing dari kelompok pertama (inescapable shock/yoked group). Sementara itu, kelompok ketiga hanya ditempatkan dalam harness tanpa menerima kejutan listrik (control group).
            Setelah sesi perlakuan selesai, semua anjing dipindahkan ke alat uji berupa kotak dua ruang (shuttle box) yang dipisahkan oleh penghalang rendah. Pada tahap ini, anjing diberikan kesempatan untuk menghindari kejutan listrik dengan melompati penghalang ke sisi lain setelah mendengar atau melihat sinyal peringatan yang menandakan kejutan akan diberikan.
            Hasil pengujian menunjukkan bahwa anjing dari kelompok pertama dan kelompok kontrol mampu belajar untuk melarikan diri atau menghindari kejutan, sedangkan anjing dari kelompok kedua tidak berusaha melakukan apapun, meskipun sebenarnya mereka dapat melompat untuk menghindar. Mereka cenderung diam dan pasif, seolah telah menerima bahwa upaya mereka tidak akan menghasilkan perubahan. Temuan ini menjadi dasar munculnya konsep learned helplessness, yaitu kondisi ketika individu belajar untuk tidak berdaya karena pengalaman sebelumnya yang membuat mereka meyakini bahwa tindakan mereka tidak memiliki pengaruh terhadap hasil yang diperoleh.

        Kesimpulan
            Seligman menyimpulkan bahwa anjing tersebut telah belajar bahwa hasil dari suatu situasi tidak bergantung pada respons mereka. Mereka membentuk harapan bahwa "tindakan apa pun yang saya lakukan adalah sia-sia." Harapan yang dipelajari inilah yang kemudian digeneralisasikan ke situasi baru, bahkan yang sebenarnya dapat dikendalikan, sehingga menghasilkan tiga defisit utama:
        Defisit Motivasi :Keengganan untuk memulai tindakan baru.
        Defisit Kognitif :Kesulitan untuk mempelajari bahwa tindakan mereka dapat efektif di kemudian hari.
        Defisit Emosional :Gejala mirip depresi (seperti kepasifan dan afek negatif).

             B. Reformulasi Kognitif : Teori Atribusi dan Gaya Penjelasan
            Teori awal dikritik karena dianggap terlalu mekanistik untuk menjelaskan kompleksitas manusia. Oleh karena itu, Abramson, Seligman, dan Teasdale (1978) melakukan reformulasi kognitif terhadap teori ini, yang menjadi landasan teoritis utama hingga kini. Latar belakang reformulasi ini adalah untuk menjawab pertanyaan: "Mengapa orang bereaksi berbeda terhadap peristiwa yang tidak terkendali? Mengapa ada yang menjadi putus asa, sementara yang lain tidak?" Jawabannya terletak pada gaya penjelasan (explanatory style) cara seseorang menjelaskan penyebab suatu peristiwa.
            Teori yang direformulasi menyatakan bahwa ketika seseorang menghadapi peristiwa negatif yang tidak terkendali, mereka akan membuat atribusi kausal. Konsekuensi dari ketidakberdayaan (seperti depresi) ditentukan oleh sifat dari atribusi-atribusi ini, yang terbagi dalam tiga dimensi:
        a. Internal vs. Eksternal:
        Internal: Menyalahkan diri sendiri. "Ini terjadi karena saya tidak mampu."
        Eksternal: Menyalahkan faktor luar. "Ini terjadi karena situasinya memang sulit."
        b. Stabil vs. Tidak Stabil:
        Stabil: Percaya penyebabnya bersifat permanen. "Penyebab ini akan selalu hadir."
        Tidak Stabil: Percaya penyebabnya bersifat sementara. "Penyebab ini hanya untuk kali ini saja."
        c. Global vs. Spesifik:
        Global: Percaya penyebabnya mempengaruhi banyak area kehidupan. "Ini akan merusak segala hal yang saya lakukan."
        Spesifik: Percaya penyebabnya terbatas pada situasi tertentu. "Ini hanya berlaku untuk situasi ini saja."

            • Kaitan dengan depresi
            Menurut teori ini, individu yang memiliki gaya penjelasan pesimistis yaitu, mereka yang cenderung menjelaskan peristiwa negatif dengan atribusi yang Internal, Stabil, dan Global (misal: "Saya gagal karena saya bodoh [internal] dan kebodohan saya ini permanen [stabil], serta akan merusak semua yang saya kerjakan [global]") akan paling rentan mengalami learned helplessness dan depresi klinis. Atribusi semacam ini menyebabkan seseorang merasa:
        - Tidak berharga (karena internal),
        - Putus asa (karena stabil),
        - Tidak berdaya secara menyeluruh (karena global).


        REFERENSI

        Seligman, M. E. P., & Maier, S. F. (1967). Failure to escape traumatic shock. Journal of Experimental Psychology, 74(1), 1–9.
        Maier, S. F., & Seligman, M. E. P. (1976). Learned helplessness: Theory and evidence. Journal of Experimental Psychology: General, 105(1), 3–46.
        Zimbardo, P. G. (n.d.). The Seligman's learned helplessness experiment: Setup, results, and psychological insights. Diakses pada 6 November, 2025 dari https://www.zimbardo.com/the-seligmans-learned-helplessness-experiment-setup-results-and-psychological-insights  


        Sunday, October 19, 2025

        J.B.Watson : Little Albert Experiment

         Edisi Oktober 2025

        LITTLE ALBERT

        Sumber : https://www.newscientist.com/article/dn26307-baby-used-in-notorious-fear-experiment-is-lost-no-more/

        Penulis : Jovanka Nartawijaya & Chelsea Christy Setiawan


        PENJELASAN TOKOH

        John Broadus Watson (lahir 9 Januari 1878, Travelers Rest, dekat Greenville, Carolina Selatan, AS—meninggal 25 September 1958, New York, New York) lahir sebagai anak laki-laki desa miskin dari Traveler's Rest, Carolina Selatan, dibesarkan oleh ibunya di Greenville, di masa ketika Progresivisme Amerika menjadikan pendidikan universitas dan spesialisasi pascasarjana sebagai sarana untuk kemajuan individu, sosial, dan budaya. Ia meraih gelar magister filsafat dari Furman University (1899) dan meraih gelar doktor pertama di bidang psikologi dari Universitas Chicago (1903). Ia kemudian menjadi instruktur di Chicago (1903–1908) dan profesor di Johns Hopkins University (1908–1920), tetapi sebuah skandal memaksanya meninggalkan dunia akademis. Tanpa gentar, ia menjadi psikolog "pop" pertama dan eksekutif periklanan yang sukses di New York City (1921–1945).

        Watson memulai kariernya sebagai psikolog hewan dan komparatif, di mana beberapa penelitiannya merupakan karya paling awal dan terbaik dalam bidang etologi. Untuk itu, psikologi eksperimental harus menjadi studi dan ilmu perilaku, bukan introspeksi standar terhadap isi kesadaran ("Psychology as the Behaviorist Views It," 1913). Yang pertama menjadi behaviorisme klasik Watson, yang dianggap serius karena penghargaan tinggi yang diberikan pada penelitiannya. Bahkan, statusnya sedemikian rupa sehingga ia menjadi editor dan pendiri jurnal-jurnal bergengsi (misalnya, Psychological Review, Journal of Experimental Psychology) dan presiden American Psychological Association.

        Sebagai seorang sistematis, Watson berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah merumuskan hukum dan prinsip perilaku manusia melalui observasi dan eksperimen sistematis (Psychology from the Standpoint of a Behaviorist, 1919, 1929). Untuk itu, ia memajukan prediksi dan kontrol sebagai sarana untuk memahami perilaku, mendorong behaviorisme, dan memajukan perubahan budaya. Ia mengadopsi refleks terkondisi sebagai prinsip dasar perilaku. Ia menganalisis berpikir, merasakan, dan membayangkan sebagai respons implisit, bukan sebagai proses mental yang independen. Dan, ia memandang anatomi dan fisiologi, bukan naluri, sebagai dasar biologis perilaku manusia (Behaviorisme, 1924, 1930).


        PENJELASAN EKSPERIMEN 

        J.B Watson dikenal dalam Eksperimen Little Albert yang dilakukan pada tahun 1920. Eksperimen tersebut merupakan salah satu studi paling terkenal—dan kontroversial—dalam sejarah psikologi. Tujuan utama dari eksperimen ini adalah untuk menunjukkan bahwa emosi seperti rasa takut bukanlah bawaan sejak lahir, melainkan bisa dipelajari melalui proses pengkondisian klasik.

        Subjek eksperimen adalah seorang bayi laki-laki berusia sembilan bulan yang dikenal sebagai "Albert." Pada awalnya, Albert tidak menunjukkan rasa takut terhadap berbagai objek seperti tikus putih, kelinci, anjing, atau bahkan topeng Santa Claus. Namun, ia bereaksi dengan ketakutan terhadap suara keras yang tiba-tiba, seperti bunyi palu yang memukul batang baja di belakangnya. Watson dan Rayner melihat ini sebagai peluang untuk menghubungkan stimulus netral (tikus putih) dengan stimulus tak terkondisi (suara keras) untuk menciptakan respons emosional yang baru.


        EKSPERIMEN 

        Dalam sesi pengkondisian, setiap kali Albert melihat tikus putih, suara keras langsung diperdengarkan. Setelah beberapa kali pengulangan, Albert mulai menangis dan menunjukkan tanda-tanda ketakutan hanya dengan melihat tikus putih, bahkan tanpa suara. Ini menunjukkan bahwa rasa takut terhadap tikus telah menjadi respon terkondisi. Lebih jauh lagi, Albert mulai menunjukkan ketakutan terhadap objek lain yang berbulu dan mirip dengan tikus, seperti kelinci, anjing, mantel bulu, dan topeng Santa Claus. Fenomena ini dikenal sebagai generalisasi stimulus, dan respons emosional menyebar ke objek lain yang memiliki karakteristik serupa.

        Meski eksperimen ini memberikan bukti kuat bahwa emosi bisa dipelajari, ia juga menuai kritik tajam dari segi etika. Albert tidak pernah dikondisikan, artinya rasa takut yang ditanamkan tidak pernah dihilangkan. Tidak ada persetujuan yang diinformasikan dari wali Albert, dan kesejahteraan emosional anak tidak menjadi prioritas dalam desain eksperimen. Dalam konteks etika penelitian modern, eksperimen ini dianggap melanggar prinsip-prinsip dasar perlindungan subjek manusia.


        HASIL EKSPERIMEN

        Eksperimen Little Albert menjadi titik penting dalam perkembangan behaviorisme dan membuka diskusi luas tentang bagaimana pengalaman awal dapat membentuk respons emosional seseorang. Namun, ia juga menjadi pengingat penting bahwa ilmu pengetahuan harus dijalankan dengan tanggung jawab dan empati, terutama ketika melibatkan individu yang rentan seperti anak-anak.



        REFERENSI

        Cherry, K. (2023, August 21). Taste Aversion and Classic Conditioning. Verywell Mind. Retrieved October 16, 2025, from https://www.verywellmind.com/what-is-a-taste-aversion-2794991

        McLeod, S. (2025, September 9). Little Albert Experiment (Watson & Rayner). Simply Psychology. Retrieved October 16, 2025, from https://www.simplypsychology.org/little-albert.html

        Salkind, N. J. (Ed.). (n.d.). Watson, John B. (1876–1958). In Encyclopedia of Human Development. Sage. https://doi.org/10.4135/9781412952484.n635

        The Editors of Encyclopaedia Britannica. (2025). John B. Watson. In Encyclopaedia Britannica. https://www.britannica.com/biography/John-B-Watson


        Saturday, September 13, 2025

        Ivan Pavlov : Dog Experiment

        Edisi September 2025

        Ivan Pavlov : Dog Experiment

        Sumber : https://www.communicationtheory.org/wp-content/uploads/2022/09/ivan-pavlovs-dog-experiment.webp

        Penulis : Yonatan Stevano & Jovanka Nartawijaya

        PENJELASAN TOKOH

                Ivan Petrovich Pavlov atau yang lebih akrab dikenal dengan Ivan Pavlov merupakan seorang fisiologi asal Rusia yang eksperimennya berpengaruh dalam dunia Psikologi. Beliau lahir tanggal 14 September 1849 dan Wafat pada tanggal 27 Februari 1936. Pavlov adalah seorang putra sulung seorang pendeta, ia menghabiskan masa mudanya di Ryazan. Ia mengikuti sekolah Teologi di seminari, tetapi pada Tahun 1870 ia meninggalkan studi teologinya untuk masuk Universitas St. Petersburg tempat ia belajar kimia dan fisiologi. Ia lulus pada tahun 1879 dan menyelesaikan disertasinya pada tahun 1883. Ia belajar lagi di Jerman pada tahun 1884-1886 dibawah arahan fisiologi kardiovaskular Cal Ludwig dan Fisiologi gastrointestinal Rudolf Hedenhain. Ia menjadi peneliti fisiologi jantung dan pengaturan tekanan darah dari tahun 1888-1890 di laboratorium Boktin di St. Petersburg. Dia menjadi seorang ahli bedah yang terampil sehingga memperkenalkan banyak metode. 

                Pavlov menikahi Istrinya yaitu Eyodor Dostoyevsky pada tahun 1881, tetapi karena Pavlov begitu miskin, maka mereka terpaksa hidup secara terpisah. Pavlov menghubungkan sebagian besar kesuksesannya dengan istrinya yang begitu mendukung dia. Pada tahun 1890 Pavlov menjadi profesor fisiologi di Akademi Kedokteran kekaisaran, Pavlov tinggal disana sampai 1924 tahun dia mengundurkan diri. 

                Pavlov terdorong untuk merumuskan hukum refleks terkondisi karena ia mengamati ketidakteraturan sekresi pada hewan normal. Dari sekitar tahun 1898 hingga 1930, ia menggunakan Sekresi Saliva sebagai ukuran kuantitatif aktivitas psikis, atau subjektif untuk menekankan keunggulan pengukuran fisiologis objektif. Mulai tahun 1930, Pavlov mencoba menerapkan hukumnya untuk menjelaskan psikosis manusia. Ia berasumsi bahwa inhibisi berlebihan menjadi ciri khas orang psikotik, merupakan mekanisme perlindungan menutup dunia luar yang berarti menyingkirkan stimulus berbahaya yang sebelumnya menyebabkan eksitasi ekstrem. Data dari pengukuran ini dicatat secara sistematis ke dalam drum yang berputar, sehingga Pavlov dapat memantau secara cermat laju air liur selama berlangsungnya percobaan.

        PENJELASAN EKSPERIMEN 

                Berawal dari gagasan bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu dipelajari anjing. Misalnya, anjing tidak belajar mengeluarkan air liur setiap kali melihat makanan. Refleks ini sudah 'terprogram' dalam diri anjing. Pavlov menunjukkan bahwa anjing dapat dikondisikan untuk mengeluarkan air liur saat mendengar suara bel jika suara itu diulang-ulang pada saat yang sama ketika mereka diberi makanan. Anjing-anjing Pavlov ditempatkan secara individual di lingkungan terpencil, diikat dengan tali kekang. Mangkuk makanan diletakkan di depan mereka, dan sebuah alat digunakan untuk mengukur frekuensi sekresi kelenjar ludah mereka.

        EKSPERIMEN 

                Pada tahap awal, Pavlov mengidentifikasi bahwa makanan secara alami memicu keluarnya air liur pada anjing—sebuah respons refleks yang disebut unconditioned response (UCR). Makanan itu sendiri disebut unconditioned stimulus (UCS) karena mampu menimbulkan respons tanpa perlu pembelajaran. Namun, ketika Pavlov mulai membunyikan lonceng sebelum memberikan makanan, ia memperkenalkan neutral stimulus (NS)—yaitu lonceng yang awalnya tidak menimbulkan reaksi apa pun.

                Setelah pengulangan yang konsisten, lonceng mulai diasosiasikan dengan kehadiran makanan. Anjing pun mulai mengeluarkan air liur hanya karena mendengar bunyi lonceng, meskipun makanan belum diberikan. Dalam konteks ini, lonceng berubah menjadi conditioned stimulus (CS), dan air liur yang muncul sebagai respons terhadap lonceng disebut conditioned response (CR). Ini membuktikan bahwa respons biologis dapat dipelajari melalui asosiasi antara stimulus netral dan stimulus alami.

        HASIL EKSPERIMEN 

                Hasil eksperimen ini memiliki dampak besar dalam dunia psikologi dan pendidikan. Ia menunjukkan bahwa perilaku tidak selalu bersifat bawaan, melainkan bisa dibentuk melalui pengalaman dan pengulangan. Konsep ini kemudian menjadi fondasi bagi pendekatan behavioristik dalam terapi, pendidikan, dan bahkan pemasaran. Misalnya, dalam terapi fobia, stimulus yang menakutkan dapat dipasangkan dengan pengalaman yang menenangkan untuk mengubah respons emosional seseorang.

                Secara lebih luas, eksperimen Pavlov mengajarkan bahwa otak tidak hanya bereaksi terhadap dunia secara pasif, tetapi juga aktif membentuk makna melalui pola dan asosiasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun mengalami bentuk pengkondisian klasik—seperti merasa lapar saat melihat jam makan, atau merasa tenang saat mendengar lagu yang pernah menemani masa bahagia. Pavlov tidak hanya mengubah cara kita memahami perilaku hewan, tetapi juga membuka pintu untuk memahami bagaimana manusia belajar, merespons, dan berkembang melalui pengalaman.

        Friday, May 9, 2025

        P.T.S.D : Peristiwa Traumatis Lalu Sampai Sekarang Dampaknya.

         Edisi Mei 2025

        P.T.S.D

        Peristiwa Traumatis Lalu Sampai Sekarang Dampaknya

        Penulis : Bryan Oswald Suwandi

                Pernahkah sebelumnya pada suatu malam anda tiba-tiba terbangun, keringat dingin di sekujur tubuh, napas tersendat-sendat dan hal yang diingat sebelum bangun adalah suatu mimpi buruk yang ternyata terkait dengan suatu kejadian masa lampau yang menurut anda traumatis? Jika pernah maupun mengenal dengan kawan yang mengalami kejadian serupa ada kemungkinan besar teman anda saat ini pertanda sedang mengalami PTSD. Tapi PTSD itu apa sih? PTSD yaitu singkatan dari Post Traumatic Stress Disorder merupakan kondisi dimana seseorang yang setelah mengalami suatu kejadian traumatis seperti kecelakaan yang berujung maut atau luka serius, kekerasan atau pelecehan seksual.


        Siapa Saja yang Bisa Mengalami PTSD?

                Siapa pun bisa terkena PTSD, tidak peduli usia, jenis kelamin, atau latar belakang yang diperlukan hanya seseorang yang terpapar pada kejadian Traumatis . Namun, risiko PTSD akan lebih tinggi jika mereka;


        • Pernah mengalami trauma serius
        • Tidak memiliki dukungan sosial yang baik
        • Mengalami trauma berulang
        • Memiliki riwayat gangguan mental lainnya

        TANDA-TANDA PTSD

               Menurut DSM-5, gejala PTSD dikelompokkan menjadi 4 gejala utama, yaitu:

        1. Pengalaman Ulang (Intrusion) : gejala Intrusion ini artinya sifatnya mendadak dan tidak diinginkan adalah seperti mimpi buruk, terjadinya kilas balik pada pengalaman traumatis (flashback), pikiran mengganggu yang terus berulang dan bersifat mendadak/intrusif/tidak diinginkan

        2. Penghindaran (Avoidance) : Avoidance ini ditunjukan lewat perilaku penghindaran seperti menghindari tempat, orang, atau aktivitas yang mengingatkan akan trauma, serta juga bisa menemui diri enggan membicarakan peristiwa itu.

        3. Perubahan Emosi & Pikiran (Negative Changes) : individu dengan PTSD dapat terjadi perubahan emosi dan pikiran yang negatif, contoh perasaan bersalah, malu, atau putus asa, selain itu juga individu dengan PTSD juga sulit merasa bahagia maupun gairah, dan pada umum juga bisa menemui dirinya memiliki pemikiran dan perasaan dalam diri yang memisahkan diri mereka dari orang lain.

        4. Reaksi Berlebihan (Arousal and Reactivity) : individu menjadi terlalu responsif dan kadang menghasilkan reaksi yang berlebihan atau tidak sesuai seperti mudah marah, susah tidur, terkejut berlebihan, sulit berkonsentrasi.



            Perlu diketahui lagi perlu ada gejala ini berlangsung lebih dari satu bulan dan mengganggu kehidupan sehari-hari seseorang agar bisa disebut PTSD meski ada baiknya anda yang memiliki gejala serupa namun tidak cukup lama tetap mencoba mencari bantuan. 

        Dampak PTSD pada Kinerja dan Kehidupan Sehari-hari

                PTSD berdasarkan dari Smith, M. E., & Vogt, D. (2016) dalam jurnalnya yaitu “Journal of Anxiety Disorders” dapat memiliki dampak dalam pekerjaan seperti lewat kesulitan berkonsentrasi, cepat merasa stres, DLL yang bisa menurunkan produktivitas kerja dan meningkatkan risiko konflik dengan rekan kerja.


                Selain itu dari Monson, C. M., & Taft, C. T. (2005) dalam jurnalnya berjudul “Clinical Psychology Review” dan DSM V, penderita PTSD bisa menjadi tertutup terutama apabila jika memiliki gejala avoidance, mereka jadi menarik diri dari keluarga dan teman-teman, atau bahkan mengalami ledakan emosi yang tidak terkendali. Ini sering merusak hubungan pribadi.  


        Bagaimana Mengatasi dan Mencegah PTSD

                Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk membantu ataupun melawan PTSD apalagi dengan gejala demikian 

        • Bantuan Ahli : Mencari bantuan ahli seperti psikolog untuk konsultasi preskripsi obat-obatan dari dokter atau psikiater apalagi ketika sehabis melewati kejadian traumatis.

        • Dukungan Sosial : Teman, keluarga, dan komunitas sangat membantu proses pemulihan dan menjadi jaringan untuk mencegah dan overcome gejala-gejala PTSD.

        Kesimpulan

                Perlu diketahui bahwa PTSD ini bisa dialami oleh semua orang. Pola hidup yang positif serta dukungan dari orang-orang terdekatlah yang mampu melawan dan meredakan gejala dari PTSD, namun jika PTSD ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan gejala semakin intens, sebaiknya langsung anda mencari pertolongan kepada profesional seperti psikolog yang akan membantu anda dalam menempuh perjalanan melawan PTSD. Mengalami trauma bukan berarti seseorang lemah. PTSD adalah reaksi normal terhadap pengalaman yang tidak normal. Meminta bantuan adalah langkah berani untuk sembuh.

        Referensi

             American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5). Arlington, VA: APA Publishing.

             Mayo Clinic. (2022). Post-traumatic stress disorder (PTSD)

            Smith, M. E., & Vogt, D. (2016). The impact of PTSD on employment outcomes. Journal of Anxiety Disorders.

           Monson, C. M., & Taft, C. T. (2005). PTSD and interpersonal functioning. Clinical Psychology Review.

              


        Albert Bandura: The Bobo Doll Experiment

          Edisi November 2025 The Bobo Doll Experiment Sumber : https://techofcomm.wordpress.com/2019/07/18/observational-learning-the-bobo-doll-exp...