Friday, October 18, 2024

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024 

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental? 

Penulis: Gabriella Jocelyn & Vanessa Sharon 

        Pernahkah Anda merasa begitu penuh dengan emosi hingga seolah-olah ingin meledak? Menangis tanpa alasan yang jelas atau merasa marah dengan intensitas yang sulit dikendalikan? Mungkin yang Anda alami itu merupakan kebutuhan akan katarsis, sebuah proses emosional yang sering kali menjadi jalan keluar dari ketegangan yang kita alami dalam hidup sehari-hari.
    
        Dalam dunia yang penuh tekanan, katarsis menjadi salah satu cara bagi tubuh dan pikiran untuk membersihkan diri dari emosi yang menumpuk. Namun, bagaimana sebenarnya katarsis bekerja? Apakah setiap ledakan emosi itu sehat, atau ada cara yang lebih baik untuk mengatasi tekanan? Yuk, kita mulai dengan memahami apa itu katarsis dan mengapa penting bagi kesehatan mental kita! 


Pengertian Katarsis 

        Katarsis adalah proses pelepasan emosi yang intens, seringkali berupa perasaan negatif yang telah terpendam, seperti kesedihan, kemarahan, atau rasa frustrasi. Dalam konteks psikologi, katarsis dianggap sebagai cara untuk melepaskan tekanan emosional atau ketegangan, yang dapat memberikan perasaan lega setelah emosi tersebut diekspresikan. Konsep ini awalnya berasal dari filsafat Yunani, dimana Aristoteles menggambarkannya sebagai pemurnian emosi melalui pengalaman menonton drama tragedi. 

         Dalam terapi modern, katarsis sering digunakan sebagai bagian dari proses penyembuhan emosional, di mana individu diajak untuk mengekspresikan perasaan yang sulit atau menyakitkan sebagai cara untuk memulihkan keseimbangan mental. 


Penyebab Katarsis 

        Berikut ada beberapa faktor umum yang dapat memicu terjadinya katarsis :
  1. Tekanan Emosional: Individu yang mengalami stres, trauma, atau emosi yang intens cenderung mencari cara untuk melepaskan emosi tersebut melalui katarsis. 
  2. Lingkungan Sosial: Dukungan dari orang lain, seperti teman atau terapis, bisa memfasilitasi katarsis, terutama dalam lingkungan yang aman untuk mengekspresikan emosi. 
  3. Pengalaman Hidup: Pengalaman traumatis atau peristiwa yang menyebabkan ketegangan psikologis besar (misalnya kehilangan, kegagalan, atau kekecewaan) sering memicu kebutuhan akan katarsis. 
  4. Cara Mengatasi Stres (Coping Mechanism): Setiap individu memiliki cara berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang cenderung menekan atau menyimpan emosi mungkin lebih rentan mengalami ledakan emosional yang lebih intens saat proses katarsis terjadi. 
  5. Budaya: Beberapa budaya lebih menerima atau mendukung ekspresi emosi secara terbuka, sementara budaya lain mungkin mendorong penekanan emosi. Ini dapat mempengaruhi bagaimana dan kapan individu mengalami katarsis. 
  6. Kepribadian: Orang yang lebih emosional, sensitif, atau rentan terhadap stres mungkin lebih sering mencari pelepasan emosional melalui katarsis. 
  7. Terapi atau Konseling: Dalam konteks terapi psikologis, teknik-teknik tertentu, seperti terapi bicara atau terapi seni, dapat memfasilitasi proses katarsis untuk membantu individu melepaskan emosi yang tertahan. 

Gejala Katarsis 

        Lalu bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita atau orang sekitar kita mengalami kartasis? Kamu bisa kenali tanda-tandanya di bawah ini, bahwa seseorang sedang mengalami atau membutuhkan katarsis dapat bervariasi, tetapi beberapa di antaranya meliputi: 
  1.  Ledakan Emosional: Ekspresi emosi yang intens, seperti menangis, marah, atau tertawa secara tiba-tiba, bisa menjadi tanda bahwa individu sedang mengalami katarsis. 
  2.  Perasaan Lega: Setelah mengekspresikan emosi yang terpendam, orang sering merasa lebih ringan atau lega, meskipun sebelumnya mungkin merasa sangat tertekan atau tertekan. 
  3. Ketegangan Fisik: Orang yang menahan emosi sering mengalami ketegangan fisik seperti sakit kepala, otot tegang, atau masalah pencernaan. Setelah katarsis, ketegangan ini biasanya berkurang. 
  4. Perubahan Suasana Hati yang Cepat: Individu mungkin mengalami perubahan suasana hati yang mendadak, seperti dari perasaan sedih atau marah menjadi tenang dan lebih stabil setelah melepas emosi. 
  5. Kesulitan Menahan Emosi: Orang yang membutuhkan katarsis mungkin merasa sulit menahan emosi mereka, sering kali mereka merasa ingin menangis atau marah tanpa alasan yang jelas. 
  6. Keinginan untuk Mengungkapkan Diri: Dorongan kuat untuk berbicara tentang masalah pribadi atau pengalaman emosional adalah tanda lain bahwa katarsis mungkin diperlukan. 
  7. Mimpi atau Kilas Balik Emosional: Seseorang yang membutuhkan katarsis mungkin mengalami mimpi yang berulang atau kilas balik ke peristiwa traumatis atau emosional yang belum terselesaikan. 
  8. Perasaan Tertekan atau Terjebak: Jika emosi tidak diekspresikan, individu mungkin merasa terjebak secara emosional, tidak mampu bergerak maju dalam kehidupan atau merasa tertahan oleh pengalaman masa lalu. 

Penanganan dan Manfaat Katarsis 

        Terdapat berbagai cara untuk melepaskan emosi dan vibrasi negatif dalam diri dan salah satunya adalah katarsis. Untuk melepaskan emosi negatif tersebut kita dapat melakukan beberapa kegiatan, seperti: 
  1.  Shaking: menggetarkan seluruh anggota tubuh baik lengan, tangan, jari, kaki, punggung, dan kepala. 
  2. Tremor: gerakan gemetar pada satu atau beberapa bagian tubuh. 
  3. Berteriak 
  4.  Menangis 
        Selain itu, katarsis juga memberikan beberapa manfaat, yaitu: 
  1.  Membantu pelepasan stress 
  2. Melepaskan trauma 
  3. Membuat diri menjadi semakin baik, karena energi negatif dalam diri perlahan-lahan dibersihkan dengan cara aman dan positif
  4. Mengatasi gangguan penyakit yang diakibatkan oleh pikiran negatif seperti, mudah marah, kecemasan, kesedihan, sering merasa tertekan dan yang lainnya. 

KESIMPULAN

        Katarsis merupakan proses pelepasan emosi yang intens. Hal ini baik untuk dilakukan agar individu tidak merasa cemas, mudah marah, ataupun tertekan. Akan tetapi untuk melakukan katarsis individu juga perlu melihat seberapa sering dirinya merasakan hal-hal negatif. Agar saat melakukan pelepasan emosi negatif, emosi yang dikeluarkan sesuai dengan yang diharapkan. 


 DAFTAR PUSTAKA 

    Dzikria A. Primala (2023). https://pijarpsikologi.org/blog/katarsis-cara-mengungkap-emosi 

    Fitri Chaeroni (2021). Apa itu Katarsis ? Pelepasan Emosi Negatif pada Tubuh. https://www.gooddoctor.co.id/hidup-sehat/mental/apa-itu-katarsis/ 

    Gross, James J. (2002) - Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences.

    Kihlstrom, J. F. (2008). The Psychological Unconscious. https://psycnet.apa.org/record/2008-11667-023 

     Lazarus, Richard S. (1991) - Emotion and Adaptation https://www.researchgate.net/publication/232438867_Emotion_and_Adaptation 

    Mulianingsih, B. P. N. (2023). Catharsis Senin Penyembuhan Mengatasi Stress dan Gangguan Emosi dalam Masa Adaptasi di Era Transisi Pandemi Menuju Endemi Covid-19. Retrieved October 9, 2024.

Friday, June 7, 2024

Histrionic Personality Disorder: Mengungkap Drama di Balik Kepribadian

Source: https://www.healthyplace.com/sites/default/files/images/stories/seroquel/1-what-is-histionic-personality-disorder.jpg

PENGERTIAN HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Histrionic Personality Disorder (HPD) merupakan kondisi di mana seseorang menunjukkan perilaku berlebihan dalam mencari perhatian dan bereaksi secara emosional. Biasanya, gejala ini muncul pada awal masa dewasa dan terlihat dalam berbagai situasi. HPD juga dikenal sebagai gangguan kepribadian dramatis. 

Individu dengan HPD sering kali mencoba menarik perhatian orang lain dengan cara yang berlebihan. Mereka cenderung menunjukkan perilaku menggoda, memikat, dan terkadang memanipulasi orang lain. Ketika tidak mendapatkan perhatian yang diinginkan, mereka dapat merasa sangat terganggu.

PENYEBAB HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Penyebab pasti HPD tidak sepenuhnya diketahui, tetapi beberapa faktor diyakini berkontribusi pada perkembangannya:

1.      Faktor Genetik.
Ada bukti yang menunjukkan terdapat komponen keturunan, seperti sifat-sifat kepribadian yang diturunkan dari orang tua ke anak.

2.      Faktor Lingkungan
Pengalaman masa kecil seperti perhatian berlebihan dari orang tua, pola asuh yang tidak konsisten, dan penguatan perilaku mencari perhatian dapat berkontribusi.

3.      Pengaruh Budaya dan Sosial
Norma budaya dan harapan masyarakat tentang peran gender dan perilaku juga dapat berperan. HPD lebih sering didiagnosis dalam budaya yang mendorong perilaku ekspresif dan emosional.

DIAGNOSIS HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Histrionic Personality Disorder (HPD), menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi Kelima), dikenali melalui ciri-ciri berikut:

1.      Pencarian perhatian yang terus-menerus.

Individu dengan HPD selalu ingin menjadi pusat perhatian. Mereka merasa tidak nyaman jika tidak menjadi fokus perhatian orang lain.

2.      Perilaku yang menggoda atau provokatif

Individu dengan HPD sering menunjukkan perilaku yang menggoda atau provokatif secara seksual yang tidak sesuai dengan situasi. Mereka menggunakan penampilan fisik untuk menarik perhatian.

3.      Ekspresi emosi yang berlebihan

Individu dengan HPD sering menunjukkan emosi dengan cara yang dramatis dan berlebihan. Misalnya, mereka mungkin menangis atau tertawa dengan sangat keras yang terjadi secara tiba-tiba. 

4.      Emosi yang dangkal

Emosi yang ditunjukkan oleh individu dengan HPD sering kali tidak mendalam atau tulus. Emosi mereka cenderung berubah-ubah dengan cepat dan sering tampak dangkal.

5.      Tampilan emosi yang impulsive

Individu dengan HPD seringkali bertindak berdasarkan dorongan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Mereka bisa tiba-tiba berubah suasana hati atau perilaku secara impulsif.

PENANGANAN HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Beberapa pendekatan terapi yang telah terbukti efektif dalam mengatasi Histrionic Personality Disorder.

1.      Cognitive Analytic Therapy (CAT) atau Terapi Analisis Kognitif.

Terapi ini fokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku yang menyebabkan masalah. Terapi ini membantu individu memahami bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain dan memperbaiki hubungan interpersonal mereka.

2.      Psikoterapi.

Terapi yang umum, terutama yang fokus pada peningkatan harga diri dan hubungan interpersonal, terapi ini efektif dalam mengobati HPD. Terapi ini membantu individu mengenali dan memahami perasaan mereka yang sebenarnya dan mengembangkan hubungan emosional yang lebih dalam dan bermakna.

3.      Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Perilaku Kognitif 

CBT membantu individu dengan HPD mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang tidak sehat dan perilaku yang tidak produktif. Terapi ini mengajarkan cara-cara yang lebih sehat untuk merespons stres dan tantangan dalam hubungan interpersonal. 

KESIMPULAN

Histrionic Personality Disorder (HPD) ditandai oleh perilaku mencari perhatian yang berlebihan dan reaksi emosional, sering dimulai pada awal dewasa. Faktor genetik, lingkungan, dan sosial berkontribusi pada perkembangannya. Diagnosis melibatkan pencarian perhatian yang terus-menerus, perilaku provokatif, emosi yang dibesar-besarkan, dan tindakan impulsif. Pendekatan terapi seperti Cognitive Analytic Therapy (CAT), psikoterapi, dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) telah terbukti efektif dalam mengelola HPD dengan mengatasi pola pikir dan meningkatkan hubungan interpersonal. 

REFERENSI

Dawood, S., Wu, L. Z., Bliton, C. F., & Pincus, A. L. (2020). 12 Narcissistic and Histrionic Personality Disorders.

Köse, S. S., & Erbaş, O. (2020). Personality disorders diagnosis, causes, and treatments. Demiroglu Science University Florence Nightingale Journal of Transplantation, 5(2), 022-031.

Novais, F., Araújo, A., & Godinho, P. (2015). Historical roots of histrionic personality disorder. Frontiers in psychology, 6, 1463.

Savci, M., Turan, M. E., Griffiths, M. D., & Ercengiz, M. (2021). Histrionic personality, narcissistic personality, and problematic social media use: Testing of a new hypothetical model. International Journal of Mental Health and Addiction, 19, 986-1004.

Thursday, May 9, 2024

Gangguan Kepribadian Impulsif dan Tidak Stabil? Yuk Cari Tahu mengenai BPD!

 

Sumber:https://www.solacewellness.org/mental-health/borderline-personality-disorder-bpd

Borderline Personality Disorder (BPD) atau gangguan kepribadian ambang merupakan salah satu jenis gangguan kepribadian yang mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Gangguan kepribadian ini erat kaitannya dengan ketidakstabilan dan impulsivitas dimana individu dengan BPD mengalami kesulitan dalam mengatur emosi, menjaga hubungan yang stabil, dan mempertahankan gambaran diri yang konsisten. Seringkali borderline personality disorder juga kesulitan dalam hubungan interpersonal yaitu seringkali mengalami konflik, dapat menjadi sangat tergantung pada seseorang ketika mengalami stress yang dapat memicu ketakutan akan penolakan atau pengabaian (Livesley, 2017). Borderline personality disorder termasuk ke dalam cluster B (Impulsive-Erratic) dimana gangguan ini bukan sekadar “emosi berlebihan” atau “mood yang tidak stabil” melainkan gangguan kepribadian serius yang dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang secara signifikan. 

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami borderline personality disorder diantaranya adalah

·   Faktor biologis: Borderline personality disorder juga dapat disebabkan karena adanya abnormalitas yang terjadi sejak lahir atau perkembangan pada area tertentu di otak yang mempengaruhi regulasi emosi dan kontrol impuls. 

·  Faktor genetik: Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan borderline personality disorder memiliki risiko tinggi mengalami BPD karena faktor genetik dapat diturunkan dari keluarga. 

·   Faktor psikologis: Adanya trauma masa kanak-kanak dan juga faktor kelekatan dapat menjadi faktor terjadinya borderline personality disorder. Seorang anak yang mengalami kekerasan (yang dilakukan oleh orang yang diharapkan melindunginya) akan cenderung untuk memandang dunia menjadi tidak nyaman dan tidak aman. Oleh karena itu, ia mencoba melindungi diri sendiri dengan bersikap agresif (Wibhowo dkk., 2019).

Menurut DSM-V TR, gejala seseorang mengalami borderline personality disorder dapat dikenali dengan ciri-ciri sebagai berikut

·      Munculnya gejala panik ketika menghindari situasi pengabaian yang nyata atau yang dibayangkan. Borderline personality disorder dapat menyebabkan penderitanya takut diabaikan oleh orang lain.

·      Terdapat pola hubungan atau relasi dengan orang lain yang tidak stabil dan intens. Seseorang dengan borderline personality disorder bisa menjadi sangat bergantung atau terobsesi dengan seseorang. Akan tetapi, di lain waktu bisa merasa tidak nyaman jika ada orang lain yang terlalu dekat. 

·    Mengalami gangguan identitas seperti citra diri yang tidak stabil secara nyata dan terus-menerus seperti adanya pemikiran bahwa dirinya buruk dan bersalah.

·    Adanya tindakan impulsif yang merugikan atau membahayakan diri sendiri misalnya dalam hal berbelanja, seks yang berisiko, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, mengemudi sembarangan, atau makan berlebihan. 

·   Muncul ancaman bunuh diri yang berulang atau perilaku melukai diri sendiri.  

·  Ketidakstabilan perasaan karena reaktivitas suasana hati yang nyata (misalnya mudah tersinggung atau kecemasan yang berlangsung lama). 

·        Merasa hampa dalam jangka waktu panjang. 

·    Adanya kemarahan yang intens dan tidak pantas, atau kesulitan untuk mengendalikan kemarahan (misalnya, sering marah, marah terus-menerus, perkelahian fisik berulang kali).  

·      Munculnya ide paranoid sementara ketika stres atau gejala disosiatif yang parah sehingga membuat seseorang dengan borderline personality disorder tidak percaya dan curiga berlebihan dengan orang lain. 

Lalu bagaimana cara untuk mengatasi ataupun pengobatan yang digunakan untuk borderline personalityBorderline personality disorder memiliki beberapa alternatif dalam proses pengobatannya, seperti : 

1.   Psikoterapi

Terdapat beberapa jenis psikoterapi yang dapat diberikan, yaitu: 

a.   Dialectical Behavior Therapy (DBT)

Terapi ini dilakukan melalui dialog dengan tujuan agar pasien dapat mengendalikan emosi, menerima tekanan, serta memperbaiki hubungan dengan orang lain. DBT dapat dilakukan secara individual maupun grup.

b.  Mentalization-Based Therapy (MBT)

Terapi ini menggunakan metode berpikir sebelum bereaksi. MBT membantu pasien untuk menilai perasaan dan pikirannya sendiri serta membuat perspektif positif dari situasi yang dihadapi. Terapi ini juga membantu pasien untuk dapat mengerti perasaan orang lain. 

c.   Schema-Focused Therapy 

Terapi ini membantu pasien menyadari kebutuhannya yang tidak terpenuhi dan akhirnya memicu pola hidup negatif. Terapi ini akan berfokus pada usaha pemenuhan kebutuhan tersebut melalui cara yang lebih sehat. 

d.   Transference-Focused Psychotherapy

TFP atau biasa disebut terapi psikodinamis membantu pasien untuk dapat memahami emosi serta kesulitan yang dialaminya dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain (interpersonal).

e.   Good Psychiatric Management

Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien terhadap emosi yang dialami dengan mempertimbangkan perasaan orang lain. Terapi ini dapat dipadukan dengan pemberian obat, terapi kelompok maupun perorangan, serta penyuluhan pada pihak keluarga.

f.   STEPPS

STEEPS atau system training for emotional predictability and problem -solving merupakan terapi kelompok yang dapat dilakukan bersama anggota keluarga, teman, pasangan, atau pengasuh. Terapi ini pada umumnya berlangsung selama 20 minggu, dan biasanya digunakan sebagai terapi tambahan dengan psikoterapi lainnya.

2.   Obat-Obatan

Penggunaan obat bukan untuk mengatasi BPD, melainkan untuk mengatasi gejala atau gangguan mental lain yang muncul bersamaan dengan kondisi ini, seperti halnya depresi dan gangguan kecemasan.

Dengan demikian borderline personality disorder dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu biologis, genetik, serta psikologis yang dapat menyebabkan individu mengalami impulsivitas, kesulitan mengatur emosi, serta kurang dapat mempertahankan kestabilan dari suatu hubungan. Akan tetapi, jika seseorang memiliki gejala yang serupa bukan berarti mereka mengalami BPD. Maka dari itu, apabila seseorang mengalami gejala yang serupa serupa dalam kurun waktu yang lama segeralah temui tenaga ahli, seperti psikolog maupun psikiater. Agar dapat ditangani dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2022). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed., text rev.)

Livesley, W. J. (2017). Integrated modular treatment for borderline personality disorder: A practical guide to combining effective treatment methods. Cambridge University Press.

Sari, N. L. K. R., Hamidah, & Marheni, A. (2020). Dinamika Psikologis Individu dengan Gangguan Kepribadian Ambang. Jurnal Psikologi Udayana, 7(2), 16–23. https://doi.org/10.24843/jpu.2020.v07.i02.p02

Wibhowo, C., So, K. A. D., Siek, & Santoso, J. G. (2019). Trauma Masa Anak, Hubungan Romantis, dan Kepribadian Ambang. Jurnal Psikologi, 46(1), 63–71. https://doi.org/10.22146/jpsi.22748

Tim Promkes RSST-RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (2023). Borderline Personality Disorder. Retrieved May 7, 2024. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2176/borderline-personality-disorder


Saturday, April 6, 2024

Seringkali bergantung pada orang lain? Bisa jadi Dependent Personality Disorder.

Sumber: https://pin.it/2GJvTbY3B

Pengertian Dependent Personality Disorder 

        Gangguan kepribadian dependen merupakan sebuah perilaku dimana individu memiliki kebutuhan yang berlebih untuk diperhatikan, yang mengarah pada perilaku untuk bergantung pada orang lain dengan sembarangan. 

Gejala Dependent Personality Disorder 

Penderita gangguan kepribadian dependen merasa tak mampu untuk mengurus diri sendiri. Individu yang memiliki gangguan ini biasanya memerlukan banyak kepastian serta nasihat pada saat membuat keputusan sehari-hari. Mereka seringkali membiarkan satu atau lebih orang lain untuk mengambil tanggung jawab atas aspek kehidupan mereka. Contohnya mereka bisa saja bergantung pada pasangan untuk memberi tahu pakaian yang harus mereka kenakan, pekerjaan apa yang cocok, atau dengan siapa individu tersebut harus bergaul. 

Penderita DPD biasa menganggap dirinya tidak mampu, inferior, dan meremehkan kemampuan mereka sendiri. Mereka menganggap kritik merupakan sebuah bukti dari ketidakmampuan mereka, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan diri mereka dan cenderung melemahkan. Individu yang menderita DPD percaya bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa sendiri, mereka mengalami kesulitan untuk memulai tugas baru, maupun bekerja dengan mandiri, mereka juga cenderung untuk menghindari tugas yang memerlukan tanggung jawab. 

Secara umum, individu yang mengalami gangguan kepribadian dependen cenderung membatasi interaksi mereka hanya dengan beberapa orang yang mereka percayai sebagai sumber ketergantungan mereka. Apabila hubungan dekat tersebut telah berakhir, penderita DPD akan segera mencari penggantinya, mengingat mereka sangat membutuhkan perhatian. Karena pada umumnya pengidap gangguan ini takut untuk ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka andalkan, tanpa alasan khusus. 

Penyebab Dependent Personality Disorder

Meskipun penyebab pasti DPD tidak diketahui seperti gangguan kepribadian secara umum juga belum sepenuhnya dipahami. Namun biasanya gangguan kepribadian seperti Dependent Personality Disorder diperkirakan disebabkan oleh satu atau kombinasi beberapa faktor: biologis, perkembangan, temperamental, dan psikologis.

Beberapa peneliti percaya bahwa gaya pengasuhan yang otoriter atau terlalu protektif dapat menyebabkan berkembangnya ciri-ciri Dependent Personality Disorder pada individu tersebut.

Penanganan Dependent Personality Disorder

Terdapat dua jenis penanganan Dependent Personality Disorder yaitu:

1.      Cognitive Behavioral Therapy
Terapi kognitif-perilaku ini merupakan salah satu terapi atau penanganan yang umum digunakan. Terapi ini bertujuan untuk mengubah cara berpikir pasien serta kemudian lebih lanjut dengan mengubah isi pikiran dan perilaku pasien. Salah satu contohnya adalah mengubah pikiran negatif dan takut tentang kemandirian, serta membangun rasa percaya diri yang sehat yang tidak tergantung pada orang lain.

2.      Psychotherapy
Tujuan utama dari terapi ini adalah untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dan membantunya menjalin hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dicapai dengan meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri mereka.

3.      Mengubah Lingkungan
Metode penanganan dengan menempatkan pasien ke dalam lingkungan di mana mereka hanya bisa mengandalkan diri mereka sendiri dan belajar menyelesaikan masalah sendiri.

4.      Terapi Biologis
Terapi biologis atau pengobatan diberikan jika terdapat masalah kesehatan mental penyerta (misalnya depresi atau gangguan kecemasan) atau pada pasien DPD yang parah.

Kesimpulan 

       Dependent Personality Disorder (DPD) adalah gangguan di mana individu sangat membutuhkan perhatian dan bergantung pada orang lain. Gejalanya meliputi ketidakmampuan untuk mengurus diri sendiri, rendah diri, dan ketergantungan pada orang lain. Penyebabnya kompleks, meliputi faktor biologis, perkembangan, temperamental, dan psikologis. Penanganannya meliputi terapi kognitif-perilaku, psikoterapi, perubahan lingkungan, dan terapi biologis bila diperlukan.

Referensi

Bhandari, S. (2023). Dependent Personality Disorder. Retrieved March 31, 2024. https://www.webmd.com/anxiety-panic/dependent-personality-disorder

Liang, W. (2022, June). How Does Dependent Personality Disorder Form, Develop and Affect Human Life?. In 2022 8th International Conference on Humanities and Social Science Research (ICHSSR 2022) (pp. 1756-1760). Atlantis Press.

Mark Zimmerman (2023). Dependent Personality Disorder (DPD). Retrieved March 31, 2024.https://www.msdmanuals.com/professional/psychiatric-disorders/personality-disorders/dependent-personality-disorder-dpd


Friday, March 8, 2024

Bipolar: Lebih dari Sekadar Perubahan Mood

Source: https://www.hindustantimes.com/ht-img/img/2023/07/20/550x309/bipolar_disorder_thumb_1682771643631_1689837806540.jpg

Gangguan mental merupakan kondisi patologis yang dicirikan oleh gejala psikologis atau perilaku yang berdampak pada penderitaan yang nyata, serta diperburuk oleh disfungsi yang berasal dari faktor biologis, sosial, psikologis, genetik, fisik, dan kimia. Kondisi ini dapat dimanifestasikan melalui berbagai simptom, termasuk kesulitan tidur, kecemasan yang berlebihan, serta kesedihan yang intens dan berlangsung lama (Ramadani et al., 2024).  Indikator gangguan mental terlihat melalui transisi perilaku dari positif menjadi negatif, distorsi dalam cara berpikir dari yang semula rasional menjadi tidak rasional, serta perubahan dalam penggunaan bahasa dari yang terstruktur menjadi terganggu.

Gangguan bipolar diidentifikasi sebagai kondisi psikiatrik yang serius. Gangguan bipolar tidak hanya berasal dari masalah psikologis, tetapi juga dari ketidakseimbangan neurotransmitter di otak. Individu dengan gangguan ini mengalami perubahan suasana hati yang drastis, dari tingkat mania yang ditandai dengan euforia dan tinggi energi, hingga ke fase depresi yang ditandai dengan intensitas emosional yang menurun. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengulas lebih dalam mengenai gangguan bipolar.

Definisi Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar merupakan kondisi psikologis yang bersifat kronis atau episodik. Hal ini berarti gangguan bipolar berfluktuasi dengan interval yang tidak dapat diprediksi. Kondisi ini mengakibatkan perubahan perilaku yang tidak umum, seringkali secara ekstrem, termasuk dalam aspek suasana hati, tingkat energi, kegiatan, serta kemampuan untuk memusatkan perhatian atau konsentrasi. Dengan demikian, gangguan bipolar diidentifikasi sebagai penyakit yang dicirikan oleh fluktuasi intens dalam suasana hati, aktivitas, dan tingkat energi (Mintz, 2015).

Penyebab Gangguan Bipolar

1.      Faktor Genetik

      Faktor genetik berperan dominan dalam penyebab gangguan bipolar, dengan sebagian besar dari individu yang didiagnosis memiliki sejarah keluarga mengalami gangguan mood, seperti depresi dan gangguan bipolar. Keterkaitan genetik ini berkontribusi sebesar 80% terhadap gangguan, dengan risiko penurunan kondisi kepada anak mencapai 10% dari satu orang tua terdiagnosa dan 40% jika kedua orang tua mengidapnya. Namun, keberadaan gangguan pada satu anggota keluarga tidak menjamin akan terjadi pada anggota lainnya.

2.      Faktor Neurokimia

      Neurotransmitter utama seperti norepinefrin, serotonin, dan dopamin memegang peranan penting dalam otak. Ketidakseimbangan zat kimia ini dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap gangguan mood.

3.      Faktor Lingkungan

      Peristiwa kehidupan tertentu yang memiliki predisposisi genetik dapat memicu gangguan bipolar. Faktor seperti gaya hidup tidak sehat, penyalahgunaan substansi, atau gangguan hormonal juga dapat meningkatkan risiko, bahkan tanpa predisposisi genetik yang jelas.

4.      Struktur dan Fungsi Otak

    Penelitian menunjukkan perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi otak pada individu dengan gangguan bipolar (Wedhanti, 2022). Perubahan ini, yang mungkin ada sejak lahir atau berkembang seiring waktu, diyakini memainkan peran dalam pengembangan gangguan bipolar.

Jenis Gangguan Bipolar

Gangguan bipolar dapat dikategorikan menjadi dua tipe utama, yakni gangguan bipolar tipe I dan tipe II. Gangguan bipolar tipe I dicirikan oleh episode mania yang ekstrem, seringkali disertai dengan periode depresi yang intens sehingga kondisi tersebut berisiko tinggi bagi individu yang mengalaminya. Sebaliknya, gangguan bipolar tipe II ditandai dengan episode hipomania yang lebih ringan, yang memungkinkan penderita untuk tetap menjalankan fungsi kehidupan sehari-hari mereka dengan lebih efektif, meskipun mereka juga mengalami periode depresi yang lebih panjang dibandingkan dengan episode hipomania.

Selain dua tipe utama tersebut, terdapat pula cyclothymic disorder, yang dianggap sebagai versi lebih ringan dari gangguan bipolar. Kondisi ini ditandai oleh fluktuasi mood yang berkelanjutan antara hipomania dan depresi, tanpa mencapai intensitas penuh dari mania atau depresi mayor yang ditemukan dalam gangguan bipolar tipe I atau II. Sebuah kondisi dapat dinyatakan sebagai cyclothymic disorder apabila pola fluktuasi mood terjadi selama setidaknya dua tahun dengan gejala yang cenderung kurang menonjol dan tidak mengganggu fungsi sehari-hari sebanyak gangguan bipolar tipe I atau II.

Gejala Gangguan Bipolar

      Diagnosis Gangguan Bipolar dilakukan berdasarkan gejala yang diuraikan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5-TR). Gangguan Bipolar ditandai dengan episode manik, episode hipomanik, dan episode depresi. 

1.      Episode Manik

      Episode manik atau mania didefinisikan sebagai suatu periode suasana hati yang terus-menerus meningkat atau mudah tersinggung dengan peningkatan aktivitas atau energi yang berlangsung setidaknya selama 7 hari berturut-turut. Episode ini bisa muncul sendiri atau mungkin diikuti atau didahului oleh episode hipomanik atau depresi berat (episode hipomanik atau depresi berat tidak diperlukan untuk diagnosis).

      Episode manik terjadi pada individu yang mengalami Gangguan Bipolar tipe I. Untuk mendiagnosis Gangguan Bipolar I, beberapa kriteria perlu dipenuhi, minimal harus ada 3 dari gejala berikut atau 4 jika suasana hati lebih cenderung iritatif:

a.       Harga diri meningkat atau merasa superior.

b.      Kebutuhan untuk tidur berkurang.

c.       Perlu terus berbicara atau bicara lebih banyak dari biasanya.

d.      Pemikiran yang cepat dan sulit dikendalikan.

e.       Kesulitan berkonsentrasi karena mudah teralihkan.

f.   Peningkatan aktivitas yang diarahkan pada tujuan (baik secara sosial, di tempat kerja, sekolah, atau secara seksual) atau mengalami agitasi psikomotorik (aktivitas yang tidak terarah).

g.  Keterlibatan secara berlebihan dalam aktivitas berisiko, seperti belanja berlebihan, perilaku seksual berlebihan, atau keputusan finansial yang gegabah.

h.    Gejala episode manik dapat mengakibatkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan, bahkan mungkin memerlukan rawat inap. Episode manik tidak disebabkan oleh efek zat tertentu atau kondisi medis umum.

2.      Episode Hipomanik

      Episode hipomanik, atau hipomania, didefinisikan sebagai periode suasana hati yang terus-menerus meningkat atau mudah tersinggung dengan peningkatan aktivitas atau energi yang berlangsung setidaknya selama 4 hari berturut-turut, serta mempunyai gejala yang serupa dengan episode manik. Perbedaannya adalah bahwa gejala ini:

a.       Tidak parah atau seintens episode manik.

b.   Mempunyai dampak yang lebih ringan dalam kehidupan sehari-hari.

c.       Tidak memerlukan kunjungan ke rumah sakit.

d.      Muncul selama setidaknya 4 hari berturut-turut.

e.    Jika mengalami episode hipomanik tanpa episode manik, individu mungkin dapat didiagnosis Gangguan Bipolar tipe II.

3.      Episode Depresi

      Kehadiran 5 atau lebih dari gejala berikut setiap hari atau hampir setiap hari selama periode 2 minggu berturut-turut:

a.    Suasana hati yang suram, yang mungkin terasa seperti kesedihan ekstrem, keputusasaan, atau perasaan tidak berdaya.

b.  Kehilangan kesenangan (pleasure) pada hal-hal yang biasanya dinikmati,

c.   Merasa tidak berharga, atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kenyataan.

d.      Kelelahan atau kurangnya energi.

e.       Insomnia atau hipersomnia.

f.        Kesulitan untuk berpikir atau berkonsentrasi.

g.      Penurunan berat badan atau peningkatan berat badan.

h.      Perubahan dalam nafsu makan.

i.        Pikiran atau tindakan bunuh diri.

           Untuk memenuhi kriteria, setidaknya salah satu gejala harus berupa mood depresi atau anhedonia (kehilangan minat), gejala tersebut tidak boleh disebabkan oleh suatu zat atau kondisi medis umum, dan harus menyebabkan gangguan fungsional (misalnya sosial atau pekerjaan). 

Penanganan dan Pengobatan Gangguan Bipolar

1.      Penanganan dan Pengobatan Episode Manik

      Episodik manik merupakan kondisi serius yang mungkin memerlukan perhatian medis segera dan rawat inap psikiatris. Perawatan awal ditujukan untuk menstabilkan pasien yang berpotensi atau mengalami kegelisahan akut untuk membantu mengurangi tekanan, mengurangi perilaku yang berpotensi membahayakan, dan memfasilitasi penilaian dan evaluasi kondisi pasien. 

    Menciptakan lingkungan yang tenang dengan rangsangan minimal sangat penting, dan obat seperti benzodiazepin dapat digunakan bersamaan dengan stabilisator mood dan antipsikotik untuk mengurangi agitasi dan meningkatkan kualitas tidur. Stabilisator mood seperti lithium atau valproate, serta antipsikotik seperti aripiprazole, asenapine, cariprazine, quetiapine, atau risperidone. Perlu diingat bahwa penggunaan valproate sebaiknya dihindari pada wanita yang berpotensi hamil karena dapat berisiko merugikan janin.

2.      Penanganan dan Pengobatan Episode Hipomanik

      Episode hipomanik tidak cukup parah untuk menyebabkan gangguan yang signifikan, dan tidak ada psikosis; oleh karena itu, episode ini dapat ditangani dengan rawat jalan. Farmakoterapi yang serupa dengan mania, namun dengan dosis yang berbeda.

3.      Penanganan dan Pengobatan Episode Depresi Akut

      Prioritas dalam menangani pasien dengan Gangguan Bipolar yang mengalami episode depresi akut terletak pada mengatasi resiko bunuh diri dan melukai diri sendiri, karena sebagian besar kematian akibat bunuh diri pada individu dengan Gangguan Bipolar terjadi pada fase ini. Rawat inap mungkin diperlukan atau tidak.

   Pendekatan awal melibatkan penggunaan obat-obatan seperti quetiapine, olanzapine, atau lurasidone sebagai monoterapi lini pertama. Perawatan kombinasi seperti olanzapine-fluoxetine, lithium-lamotrigin, dan lurasidone-lithium atau valproate juga bisa menjadi pilihan. Antidepresan dapat diberikan tambahan dengan stabilisator mood (misalnya lithium dan lamotrigin).

 

Kesimpulan

       Gangguan bipolar merupakan kondisi patologis dengan gejala psikologis atau perilaku yang berasal dari faktor biologis, sosial, psikologis, genetik, fisik, dan kimia. Gangguan ini mencakup fluktuasi suasana hati, tingkat energi, kegiatan, dan konsentrasi. Faktor penyebab melibatkan genetik, neurokimia, lingkungan, serta struktur dan fungsi otak. Gangguan bipolar terbagi menjadi tipe I dan tipe II, serta cyclothymic disorder. Diagnosis melibatkan episode manik, hipomanik, dan depresi sesuai DSM-5-TR. Penanganannya mencakup stabilisator mood, antipsikotik, terapi, dan diperlukannya rawat jalan. Keamanan dan penanganan risiko bunuh diri menjadi prioritas pada episode depresi akut.

DAFTAR PUSTAKA

Jain A, et al. (2023). Bipolar disorder. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK558998/

Mintz, D. (2015). Bipolar Disorder: Overview, Diagnostic Evaluation and Treatment.

Nierenberg AA, et al. (2023). Diagnosis and treatment of bipolar disorder. A review. https://jamanetwork.com/journals/jama/article-abstract/2810502

Ramadani, et al. (2024). Gangguan Bipolar pada Remaja: Studi Literatur. Edu Society: Jurnal Pendidikan, Ilmu Sosial, dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(1), 1219-1227.

Wardani, I. A., & Tiastiningsih, N. N. (2023). GANGGUAN TIDUR PADA PENDERITA GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR. Jurnal Hasil Penelitian dan Pengembangan, 1(3), 177-183.

Wedhanti, P. H. (2022). Studi Kasus Dinamika Psikologis Penderita Bipolar Disorder. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(1), 2578-2582.

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...