COVID-19 secara nyata telah mengubah pola
interaksi dan perilaku manusia di dunia, utamanya dalam berkomunikasi
interpersonal. Buktinya saat ini kita mulai akrab dengan frasa physical
distancing atau menjaga jarak dalam upaya mencegah penyebaran virus tersebut.
Dalam perkembangan frasa tersebut kemudian diafirmasi oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) untuk menggantikan social distancing atau jaga jarak sosial yang
terkesan ‘memutus mata rantai’ manusia sebagai makhluk sosial.
Organisasi Kesehatan Dunia (World
Health Organization, WHO) telah mengumumkan bahwa dunia pada saat ini tengah
menghadapi sebuah pandemi. Situasi darurat kesehatan
internasional akibat wabah penyakit global ini disebabkan oleh virus baru yang
awalnya menyebar di Wuhan, kota kecil di Provinsi Hubei, Republik Rakyat
Tiongkok (RRT). Virus ini dikenal sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Adapun penyakit yang ditimbulkannya disebut sebagai
Coronavirus disease 2019 (COVID-19)
Meskipun dunia tengah berjuang keras
menghadapi pandemi ini, namun ada saja pihak-pihak tertentu yang justru
melakukan paradoks kemanusiaan. Mereka seperti memanfaatkan situasi darurat ini
untuk mengambil keuntungan di tengah kepanikan dan derita orang lain. Pelaku
penimbunan masker adalah salah satu contoh konkrit dari paradoks kemanusiaan
tersebut. Kelangkaan akibat penimbunan tersebut bahkan menyebabkan harga masker
melambung tinggi. Selain persoalan tersebut, fenomena hoaks (hoax) ikut
merajalela di tengah kondisi pandemi ini. Banyak informasi palsu dengan status
sebagai disinformasi, misinformasi, maupun malinformasi yang turut memperkeruh
situasi penanganan COVID-19.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kominfo) Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Siaran Pers No.
42/HM/Kominfo/03/2020 menyebutkan bahwa per 17 Maret 2020 telah teridentifikasi
sebanyak 242 konten hoaks dan disinformasi berkaitan dengan COVID-19 yang
beredar di Indonesia. Konten-konten ini tersebar di berbagai platform media
sosial, website maupun platform pesan instan (Kominfo, 2020).
Merebaknya konten hoaks tentu saja
membuat kita mengerutkan dahi mengingat publik sangat membutuhkan informasi
atau konten akurat di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Akan tetapi,
yang terhampar justru banyak konten yang ternyata hoaks. Apabila tidak
hati-hati, publik tentu saja dapat tertipu dan mempercayai konten-konten hoaks
tersebut. Selain itu, efek disfungsi yang lebih dalam dari hoaks ini adalah
menimbulkan kecemasan, ketakutan dan kepanikan kolektif. Kondisi tersebut
apabila tidak dapat ditanggulangi tentu dapat berakibat buruk dan berpotensi
destruktif.
Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Gutteres, juga menegaskan hal serupa pada hari
selasa (14/4/2020) di New York. Masyarakat agar lebih waspada terhadap kabar
bohong dan informasi salah yang diedarkan melalui media sosial dengan tujuan
menebarkan rasa takut dan kepanikan. Situasi ini tidak hanya terjadi di
Indonesia, namun di banyak belahan negara lain.
Tindakan
sederhana apa yang bisa kita lakukan agar tidak ikutan menyebarkan hoax?
Berikuttips dari Septiaji Eko Nugroho.
Hati-hati
dengan judul provokatif
Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax.
Cermati alamat situs
Untuk
informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link,
cermatilah alamat URL situs dimaksud. Berita yang berasal dari situs media yang
sudah terverifikasi Dewan Pers akan lebih mudah diminta pertanggungjawabannya. Menurut
catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia
yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah
terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya
puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang
mesti diwaspadai.
Periksa
fakta
Perhatikan
dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi
seperti KPK atau Polri? Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada
satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal lain yang
perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan
opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara
opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita, sehingga memiliki
kecenderungan untuk bersifat subyektif.
Cek
keaslian foto
Di
era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa
dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya
pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Cara untuk
mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni
dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google
Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat
di internet sehingga bisa dibandingkan.
Ikut
serta grup diskusi anti-hoax
Di
Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti-hoax, misalnya Forum
Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax
Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci. Di grup-grup diskusi ini,
warganet bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau
bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain.
Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang
memanfaatkan tenaga banyak orang.