Sunday, January 10, 2021

Mengatasi hoax dan komentar kebencian di tengah kondisi pandemic

 

            COVID-19 secara nyata telah mengubah pola interaksi dan perilaku manusia di dunia, utamanya dalam berkomunikasi interpersonal. Buktinya saat ini kita mulai akrab dengan frasa physical distancing atau menjaga jarak dalam upaya mencegah penyebaran virus tersebut. Dalam perkembangan frasa tersebut kemudian diafirmasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menggantikan social distancing atau jaga jarak sosial yang terkesan ‘memutus mata rantai’ manusia sebagai makhluk sosial.

            Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) telah mengumumkan bahwa dunia pada saat ini tengah menghadapi sebuah pandemi. Situasi darurat kesehatan internasional akibat wabah penyakit global ini disebabkan oleh virus baru yang awalnya menyebar di Wuhan, kota kecil di Provinsi Hubei, Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Virus ini dikenal sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Adapun penyakit yang ditimbulkannya disebut sebagai Coronavirus disease 2019 (COVID-19)

            Meskipun dunia tengah berjuang keras menghadapi pandemi ini, namun ada saja pihak-pihak tertentu yang justru melakukan paradoks kemanusiaan. Mereka seperti memanfaatkan situasi darurat ini untuk mengambil keuntungan di tengah kepanikan dan derita orang lain. Pelaku penimbunan masker adalah salah satu contoh konkrit dari paradoks kemanusiaan tersebut. Kelangkaan akibat penimbunan tersebut bahkan menyebabkan harga masker melambung tinggi. Selain persoalan tersebut, fenomena hoaks (hoax) ikut merajalela di tengah kondisi pandemi ini. Banyak informasi palsu dengan status sebagai disinformasi, misinformasi, maupun malinformasi yang turut memperkeruh situasi penanganan COVID-19.

            Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Siaran Pers No. 42/HM/Kominfo/03/2020 menyebutkan bahwa per 17 Maret 2020 telah teridentifikasi sebanyak 242 konten hoaks dan disinformasi berkaitan dengan COVID-19 yang beredar di Indonesia. Konten-konten ini tersebar di berbagai platform media sosial, website maupun platform pesan instan (Kominfo, 2020).

            Merebaknya konten hoaks tentu saja membuat kita mengerutkan dahi mengingat publik sangat membutuhkan informasi atau konten akurat di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Akan tetapi, yang terhampar justru banyak konten yang ternyata hoaks. Apabila tidak hati-hati, publik tentu saja dapat tertipu dan mempercayai konten-konten hoaks tersebut. Selain itu, efek disfungsi yang lebih dalam dari hoaks ini adalah menimbulkan kecemasan, ketakutan dan kepanikan kolektif. Kondisi tersebut apabila tidak dapat ditanggulangi tentu dapat berakibat buruk dan berpotensi destruktif.

            Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Gutteres, juga menegaskan hal serupa pada hari selasa (14/4/2020) di New York. Masyarakat agar lebih waspada terhadap kabar bohong dan informasi salah yang diedarkan melalui media sosial dengan tujuan menebarkan rasa takut dan kepanikan. Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di banyak belahan negara lain.

Tindakan sederhana apa yang bisa kita lakukan agar tidak ikutan menyebarkan hoax? Berikuttips dari Septiaji Eko Nugroho.

Hati-hati dengan judul provokatif

Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax.


Cermati alamat situs

Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Berita yang berasal dari situs media yang sudah terverifikasi Dewan Pers akan lebih mudah diminta pertanggungjawabannya. Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.

Periksa fakta

Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi seperti KPK atau Polri? Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita, sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif.

Cek keaslian foto

Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.

Ikut serta grup diskusi anti-hoax

Di Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti-hoax, misalnya Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoax Buster, Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci. Di grup-grup diskusi ini, warganet bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.

 

No comments:

Post a Comment

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...