Thursday, July 20, 2023

Gangguan yang Terobsesi dengan Berat Badan? Yuk Kenali Anorexia Nervosa!

Pernahkah kalian mendengar tentang gangguan makan atau eating disorder? Setiap tahunnya, jutaan orang di seluruh dunia terperangkap dalam pertarungan dengan makanan dan tubuh mereka sendiri. Salah satu eating disorder yang paling terkenal dan berbahaya adalah anorexia nervosa. Apa yang dimaksud dari anorexia nervosa itu sendiri? Anorexia nervosa adalah sebuah gangguan makan yang memengaruhi banyak perempuan dan juga pria. Gangguan ini tidak hanya memengaruhi fisik seseorang, tetapi juga merusak kehidupan mereka secara menyeluruh.

Sumber: https://images.everydayhealth.com/images/what-is-anorexia-nervosa-1440x810.jpg?w=1110

Menurut jurnal yang ditulis oleh Gull pada tahun 1988, anorexia nervosa adalah gangguan psikologis yang ditandai dengan ketakutan yang berlebihan terhadap berat badan dan penolakan untuk menjaga berat badan pada tingkat yang sehat. Pada umumnya, penderita anorexia nervosa memiliki pandangan yang sangat distorsi terhadap tubuh mereka sendiri. Meskipun mereka mungkin sangat kurus, mereka akan melihat bahwa diri mereka gemuk dan tidak puas dengan penampilan fisik mereka.

Sementara itu,  dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Keeler di tahun 2022, sebagian besar kasus anorexia nervosa dipicu oleh faktor-faktor psikologis dan lingkungan. Tekanan sosial untuk memiliki tubuh yang ideal, terutama dalam media sosial yang sering kali menampilkan gambar tubuh yang tidak realistis, dapat menjadi salah satu faktor pemicu. Selain itu, masalah kepercayaan diri yang rendah, depresi, dan kecemasan juga dapat memainkan peran penting dalam perkembangan anorexia nervosa.

Dalam usaha untuk mencapai bentuk tubuh yang dianggap ideal, penderita anorexia nervosa seringkali terjebak dalam siklus yang berbahaya, seperti diet ketat, puasa ekstrem, dan latihan fisik yang berlebihan telah menjadi rutinitas mereka sehari-hari. Namun, di balik hal itu, terdapat konsekuensi yang menghancurkan dari anorexia nervosa, yakni tubuh mengalami kekurangan nutrisi yang serius, menyebabkan kerusakan organ, osteoporosis, bahkan kematian. Anorexia nervosa juga menyebabkan dampak psikologis yang signifikan, seperti munculnya kecemasan yang lebih tinggi, perasaan rendah diri, dan depresi.

Sumber: https://edulearningacademy.com/wp-content/uploads/2021/09/4404650.jpg

Lalu, bagaimana sih cara kita menangani gangguan ini? 

Ada beberapa cara untuk mengatasi gangguan ini, yaitu dengan cognitive behavioral therapy (CBT) yang merupakan salah satu perawatan utama untuk gangguan anorexia nervosa tersebut, konsultasi dengan ahli gizi, melakukan dialectical behavior therapy (DBT), dan mengonsumsi obat-obatan seperti olanzapine yang dapat membantu penambahan berat badan.

Singkatnya, anorexia nervosa merupakan gangguan psikologis karena adanya ketakutan yang berlebihan terhadap berat badan dan juga penolakan untuk menjaga berat badan pada tingkat yang sehat. Anorexia nervosa ini disebabkan oleh faktor psikologis dan lingkungan seperti tekanan sosial, kepercayaan diri yang rendah, dan depresi.  

Referensi 

Gull, W. (1988). Anorexia nervosa. The Lancet131(3368), 516-517.

Isnanto, R.R., Eridani, D., & Affa, K.F. (2017). Sistem Pakar Pendeteksi dan Penanganan Anorexia Nervosa Pada Perangkat Bergerak.

Keeler, J.L., Robinson, L., Keeler-Schaeffeler, R., Dalton, B., Treasure, J., & Himmerich, H. (2022). Growth factors in anorexia nervosa: a systematic review and meta-analysis of cross-sectional and longitudinal data. The World Journal of Biological Psychiatry23(8), 582-600.

Monday, April 10, 2023

SELF-SABOTAGE

Siapa yang setuju kalau yang namanya hidup pasti ada aja hambatannya? Ada kalanya kita merasa yakin dengan diri sendiri, ada kalanya juga kita merasa seperti bukan siapa-siapa. Perkataan seperti "Aku kayaknya gak bisa deh" mungkin sudah tidak asing yaa di telinga kita. Entah sudah berapa kali kita mengatakan ini pada diri sendiri ketika mendapatkan tugas atau berada di situasi yang sulit. Ternyata, perkataan ini merupakan salah satu contoh dari self-sabotage yang mungkin secara tidak sadar telah kita lakukan lho.

Menurut Brito (2021), self-sabotage adalah perilaku atau pola pikir yang dapat menghalangi individu dalam melakukan apa yang diinginkan. Beberapa manifestasi dari self-sabotage sendiri dapat dilihat dari berbagai perilaku yang umum dilakukan, seperti menunda tugas yang harus dikerjakan dan makan untuk menghilangkan stres. Meskipun self-sabotage tidak selalu dilakukan secara sadar, namun ternyata hal ini terjadi karena kita sendiri yang memilih untuk melakukan hal ini. Sedih sekali bukan? Ternyata yang dapat menghalangi diri kita untuk sukses bukan hanya orang lain atau pihak eksternal, namun diri kita sendiri.

Sebenarnya apa sih yang mengakibatkan self-sabotage terjadi pada diri kita? Meskipun self-sabotage merupakan pola pikir yang kita ciptakan sendiri tetapi hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa penyebab lho!

Menurut Blascovich dan Tomaka (1991), penyebab utama seseorang melakukan self-sabotage adalah karena individu memiliki harga diri yang rendah. Seseorang yang memiliki harga diri rendah cenderung berpikir bahwa ia mungkin tidak akan berhasil sehingga ia melakukan perilaku yang merusak keberhasilan itu sendiri. Selain itu, self-sabotage juga dapat disebabkan oleh rasa takut gagal atau rasa takut untuk sukses. Individu yang memiliki rasa takut gagal atau rasa takut untuk sukses akan cenderung menghindari pengambilan resiko yang membuat mereka tidak berhasil untuk mencapai kesuksesan itu (Ruderman, 2006). Pandangan lain dari penelitian yang dilakukan oleh Schwinger dkk (2021) juga menemukan bahwa perilaku self-sabotage juga disebabkan oleh kejadian atau situasi yang membuat individu merasa tidak aman atau tidak mampu. Sebagai contoh, Lala ditunjuk dosennya untuk melakukan presentasi secara tiba-tiba. Lala akan melakukan self-sabotage, berupa pemikiran bahwa dirinya tidak mampu, jika dirinya merasa tidak siap atau tidak yakin dengan kemampuannya untuk melakukan presentasi di depan kelas.

https://superteacher.co/blog/wp-content/uploads/2021/11/Compressed-5-1.jpg

Perilaku self-sabotage merupakan cara manusia untuk melindungi dirinya dari rasa sakit atau rasa kecewa, tapi jangan terlalu sering ya! Jika terlalu sering dilakukan maka akan menimbulkan dampak negatif yang tentunya merugikan diri sendiri loh..

Dari penyebab self-sabotage diatas dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu dampak dari self-sabotage ini adalah menghambat kita untuk sukses. Kemudian dampak negatif lain yang ditimbulkan adalah individu menjadi seseorang yang mengabaikan dirinya sendiri karena dengan melakukan self-sabotage, individu bisa jadi lalai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya. Kurangnya perawatan diri ini juga berkaitan dengan kegagalan seseorang dalam kesejahteraan emosional dan fisiknya (Nicastro, 2022).

Setelah mengetahui beberapa dampak negatif dari self-sabotage, yang perlu diketahui selanjutnya adalah bagaimana sih cara mengurangi perilaku self-sabotage ini?

      Identifikasi pola self-sabotage

    Pertama, penting untuk mengenali perilaku atau pola yang menghambat kemajuan dan pencapaian tujuan. Contohnya adalah kecenderungan untuk menunda pekerjaan atau menghindari tanggung jawab.

      Fokus pada tujuan

Fokus pada tujuan yang ingin dicapai dapat membantu seseorang mengatasi distraksi dan memotivasi diri sendiri untuk melakukan tindakan yang diperlukan.

      Tingkatkan kesadaran diri

Menjadi lebih sadar terhadap emosi dan pikiran yang memicu self-sabotage dapat membantu seseorang untuk mengambil tindakan yang lebih positif dan produktif.

      Gunakan afirmasi positif

Menggunakan afirmasi positif dapat membantu merangsang pikiran yang lebih positif dan mengubah pola pikir negatif yang dapat memicu self-sabotage.

      Cari dukungan

Mencari dukungan dari orang-orang terdekat atau profesional dapat membantu mengatasi self-sabotage dan menemukan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

https://bigpicturezen.files.wordpress.com/2020/02/clipart-doctor-counselling.png

         Maka dapat disimpulkan bahwa istilah self-sabotage merujuk pada tindakan dan pikiran yang bisa menghambat individu melakukan sesuatu yang diinginkan. Penyebab self-sabotage ialah harga diri yang rendah dan rasa takut gagal maupun rasa takut untuk sukses. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir perilaku self-sabotage adalah dengan mencari dukungan orang-orang terdekat dan bantuan profesional jika dampak yang dari self-sabotage sudah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA

Blascovich, J., & Tomaka, J. (1991). Measures of self-esteem. In J. P. Robinson, P. R. Shaver, & L. S. Wrightsman (Eds.), Measures of personality and social psychological attitudes. Academic Press.  115–160. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-590241-0.50008-3

Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (2012). Acceptance and commitment therapy: The process and practice of mindful change (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Nicasto, R. (2022). Understanding Self Sabotaging Behaviors. Diakses pada 24 Maret, 2023, dari  https://richardnicastro.com/2022/07/18/understanding-self-sabotaging-behaviors/

Positive Zen Energy. (2022). Mind Hacks to Stop Self Sabotage. Diakses pada 24 Maret, 2023, dari https://positivezenenergy.com/how-being-positive-can-stop-you-from-self-sabotaging/

Psychology Today. (2023). Self-Sabotage. Diakses pada 20 Januari 2023, dari https://www.psychologytoday.com/us/basics/self-sabotage?page=0

Raypole, C. (2021). How Self-Sabotage Hold You Back. Diakses pada 20 Januari 2023, dari https://www.healthline.com/health/self-sabotage

Ruderman, E. G. (2006). Nurturance and self-sabotage: Psychoanalytic perspectives on women’s fear of success. In International Forum of Psychoanalysis, 15(2), 85–95. https://doi.org/10.1080/08037060600621779

Schwinger, M., Trautner, M., Pütz, N., Fabianek, S., Lemmer, G., Lauermann, F., & Wirthwein, L. (2021). Why Do Students Use Strategies That Hurt Their Chances of Academic Success? A Meta-Analysis of Antecedents of Academic Self-Handicapping. Journal of Educational Psychology, 114(3), 576-596. http://dx.doi.org/10.1037/edu0000706

Sertel, G., & Tanriöğen, Z. M. (2019). The relationship between self-sabotage and organizational climate of schools. Educational Research and Reviews, 14(15), 541-550. http://dx.doi.org/10.5897/ERR2019.3784

Sirois, M. (2019). Procrastination, self-regulation, and well-being: An exploration of the temporal aspect of self-regulatory failure. Personality and Individual Differences, 141, 297-306.

Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High self-control predicts good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of personality, 72(2), 271-324. https://doi.org/10.1111/j.0022-3506.2004.00263.x


Friday, March 10, 2023

Psychological First Aid

         Apakah teman-teman sering mendengar mengenai pertolongan pertama untuk para korban bencana atau yang membutuhkan bantuan? Pertolongan pertama untuk korban bencana atau yang membutuhkan bantuan biasanya bersifat fisik bukan? Nyatanya ada loh, pertolongan pertama secara psikologis yang dalam lingkup psikologi disebut sebagai Psychological First Aid (PFA). Untuk lebih jelasnya, ayokk kita simak penjelasan lebih lengkap berikut.

        Psychological First Aid (PFA) merupakan pertolongan pertama yang berupa respon psikologis yang bersifat manusiawi dan diberikan kepada sesama manusia yang sedang membutuhkan bantuan dan dukungan secara psikologis (Sphere, 2011; IASC, 2007). Biasanya yang timbul pertama kali mengenai pemberian pertolongan kepada korban harus seseorang yang profesional, namun yang perlu menjadi perhatian khusus saat mempelajari mengenai psychological first aid ialah PFA bukan hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli yang sudah profesional dan pandai di bidang psychological first aid, dan PFA juga bukanlah bentuk konseling yang bersifat profesional karena PFA dapat dilakukan oleh masyarakat umum, dengan ketentuan sudah mengerti, paham, dan memiliki kompetensi tinggi mengenai PFA. 

Sumber: https://i1.wp.com/mhtoolkit.com/wp-content/uploads/2020/08/Psycholgocial-First-Aid.jpg?fit=900%2C600&ssl=1

Menurut Cahyono (2015) psychological first aid bertujuan untuk mengurangi dan mencegah munculnya dampak psikologis yang lebih buruk dari bencana, atau situasi sulit lainnya, serta memperkuat pemulihan psikologis.

Menurut Unicef (2022), terdapat 3 prinsip yang perlu diingat saat memberikan pertolongan pertama psikologis, yaitu:

  1. Look: Pada prinsip pertama dalam memberikan pertolongan pertama psikologis, penting untuk terlebih dahulu menilai bahaya, serta resiko keselamatan dan keamanan. Kemudian memperoleh informasi terkait mereka yang membutuhkan bantuan, peristiwa yang sedang terjadi, luka fisik yang dialami, kebutuhan dasar/primer yang mereka perlukan, serta tanggapan emosional mereka.
  1. Listen: Pada prinsip kedua dalam memberikan pertolongan pertama psikologis dapat dilakukan dengan mendekati individu yang memerlukan bantuan, kemudian memperkenalkan diri, memperhatikan dan mendengarkan secara aktif, berupaya memahami dan menenangkan perasaan individu yang sedang dalam krisis, menanyakan kebutuhan dan kekhawatiran mereka, kemudian dapat diberikan bantuan terkait dengan kebutuhan mendesaknya, serta mencoba menyelesaikan masalahnya.
  1. Link: Pada prinsip ketiga dalam memberikan pertolongan pertolongan pertama psikologis dapat dilakukan dengan menyediakan informasi, layanan, dan sumber bantuan yang relevan, membantu mereka kembali terhubung dengan kerabat, memberikan bantuan sosial, serta secara aktif mencoba untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.



Sumber: https://www.kit.nl/project/psychological-first-aid-a-crash-course/

Setelah mengetahui tiga prinsip tersebut, kemudian dapat mengikuti peraturan berikut ini saat memberikan pertolongan pertama psikologis sehingga dapat membantu individu yang sedang mengalami krisis dengan benar tanpa merugikan mereka:

  1. Memahami situasi sebelum memberikan bantuan. Jangan memaksakan bantuan yang akan kamu berikan.
  2. Ajukan pertanyaan sederhana dengan rasa hormat untuk mengetahui bagaimana kamu dapat membantu.
  3. Menjalin komunikasi dengan individu yang mengalami krisis. Cara terbaik untuk memulai komunikasi adalah dengan memberikan bantuan praktis seperti; menawarkan makanan, air, pakaian, selimut.
  4. Mempersiapkan diri, karena terdapat kemungkinan individu yang sedang mengalami krisis akan menghindarimu, terlibat dalam perilaku agresif, dan menolak bantuan yang kamu berikan.
  5. Menghormati hak individu untuk mengambil keputusan.
  6. Jika individu yang sedang mengalami krisis menolak bantuan yang kamu tawarkan, maka tunjukkan kesediaan kamu untuk membantu mereka di masa mendatang.
  7. Sabar, bertanggung jawab, tanggap, dan peka.
  8. Bicaralah dengan tenang, lugas, dan dengan ekspresi yang jelas. Berikan informasi yang akurat, relevan, dan sesuai usia.
  9. Pertimbangkan latar belakang budaya, jenis kelamin, adat istiadat, dan agama orang tersebut.
  10. Hindari asumsi, kritik, penilaian, dan janji.
  11. Jika individu yang mengalami krisis ingin berbicara, bersiaplah untuk mendengarkan.
  12. Tidak perlu terus-menerus berbicara dengan individu yang mengalami krisis. Seringkali, hadir secara fisik dapat membantu mereka merasa lebih aman dan percaya diri.
  13. Menjaga kerahasiaan semua informasi yang kamu terima dari individu tersebut. Jangan pernah membagikan informasi pribadi individu.

Sumber: https://www.perempuanberkisah.id/wp-content/uploads/2022/04/Desain-tanpa-judul-34.jpg

PFA ini diperuntukkan untuk orang-orang yang berada dalam suatu kondisi yang tertekan atau baru saja mengalami kejadian yang mencekam. Namun tidak semua orang yang mengalami kondisi mencekam memerlukan PFA. PFA ini bisa diberikan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Contoh orang-orang yang memerlukan PFA seperti orang yang mungkin dapat menyakiti orang lain, orang dengan cedera yang serius sehingga membutuhkan pertolongan gawat darurat, dan orang yang sangat terpukul, sehingga mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri.

Maka dapat disimpulkan bahwa psychological First Aid merupakan bentuk pertolongan pertama yang diberikan kepada korban bencana ataupun individu yang sedang membutuhkan bantuan baik anak kecil maupun orang dewasa untuk membantu meringankan dampak psikologis kepada korban. PFA ini dapat dilakukan jika orang tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai PFA sehingga tidak harus yang bergelar profesional. Dalam memberikan PFA terdapat beberapa cara dan peraturan yang harus dipatuhi sehingga tidak merugikan para korban atau orang yang sedang membutuhkan bantuan.

 DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, W. (2015). Psychological first aid: Sebuah kesiapsiagaan dari kita untuk kita. Depok: Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Inter-Agency Standing Committee (IASC). 2007. IASC Guidelines on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency Settings. Geneva: IASC. Diakses dari http://www. who.int/mental_health_psychosocial_june_2007.pdf

Margaretha, & Sari, D.K. (2020). Pertolongan psikologis pertama. Universitas Airlangga.

Unicef. (2022). How to provide psychological first aid. Retrieved January 27, 2023. https://www.unicef.org/armenia/en/stories/how-provide-psychological-first-aid

The Sphere Project. 2011. Humanitarian Charter and Minimum Standards in Disaster  Response. Geneva: The Sphere Project. Diakses dari http://www.sphereproject.org


Thursday, February 9, 2023

Decidophobia

 

Sumber:  https://childrenornot.blogspot.com

“Terserah”

“Aku ikut aja sama keputusan kalian”

 “Gue ikut apa kata ramalan aja!”

Teman-teman pernah mendengar kata-kata di atas? Secara umum itu adalah ciri-ciri orang yang takut dalam mengambil keputusan. Takut mengambil keputusan adalah hal yang umum terjadi bagi sebagian orang. Cemas akan bagaimana dampak dari keputusan kita di masa mendatang terkadang sampai mengalami jantung berdebar kencang, pusing, maupun gemetar. Seiring berkembangnya zaman, kita semakin disuguhkan banyak pilihan. Contohnya, ketika ingin membeli handphone, banyak sekali pilihan yang bisa kita pilih dengan budget yang dimiliki. Contoh lain ketika mahasiswa tingkat akhir diharuskan untuk memilih judul penelitian skripsi, setelah lulus ingin kerja di mana atau ingin mengambil studi lanjut, setelah bekerja ingin mencari pasangan, dan lain sebagainya.

Bila menarik kesimpulan di awal sepertinya karena hal-hal tersebutlah sebagian besar orang takut dan cenderung menghindari mengambil keputusan. Seringkali langkah yang kita ambil untuk mengurangi kecemasan tersebut adalah dengan mengikuti alur dan menyerahkan tanggung jawab mengambil keputusan kepada teman maupun orang lain.

Perlu dipahami, tujuan dari tulisan blog ini adalah untuk memberikan wawasan tentang fenomena dan istilah psikologi yang sedang populer beredar di masyarakat. Perlu diingat bukan berarti setelah membaca tulisan ini teman-teman bisa mendiagnosis seseorang mengalami decidophobia, dsb. Untuk mendiagnosis seseorang mengalami suatu gangguan psikologis atau tidak, perlu menghubungi profesional seperti psikolog maupun psikiater. Oke, kalo sudah paham maksud dari tulisan blog ini untuk menambah wawasan tentang psikologi teman-teman, cuss lanjut baca ya.

Fenomena takut membuat keputusan itu ada istilahnya di psikologi gak sih? Ternyata ada lho, teman-teman! Istilahnya Decidophobia, sekedar tips dari penulis supaya mudah mengingat istilah-istilah psikologi adalah dengan cocoklogi. Tapi disclaimer ya teman-teman, bahwa tidak semua istilah psikologi bisa diingat dengan cocoklogi ini, hehehe.  Decidophobia, asal katanya dari decide dan phobia, decide = memutuskan, phobia = ketakutan yang irasional terhadap sesuatu. Maka decidophobia adalah ketakutan yang irasional dalam mengambil keputusan.

Tapi, penulis nggak mau sok tahu nih tentang pengertian decidophobia maka menurut Daramus (dalam Gupta, 2022) decidophobia adalah ketakutan yang membuat kita tidak berdaya karena takut membuat keputusan yang salah. Sebagian besar dari kita memiliki sedikit kecemasan terhadap beberapa keputusan, tetapi seseorang yang mengalami decidophobia akan merasakan ketakutan yang intens dan membuat dirinya tidak berdaya bahkan tentang keputusan sehari-hari. FYI decidophobia termasuk dalam specific phobia dalam klasifikasi gangguan kecemasan.

Menurut Daramus (dalam Gupta, 2022) berikut beberapa gejala seseorang mengalami decidophobia:

  • Panic and anxiety: kamu mengalami kecemasan yang parah atau mengalami serangan panik (panic attack) saat kamu harus membuat keputusan. Kamu mungkin juga mengalami gejala lain seperti detak jantung yang bertambah cepat, sesak napas, mual, berkeringat, tremor, dan nyeri dada atau perut.
  • Procrastination: takut membuat keputusan yang kurang tepat, membuatmu menunda untuk mengambil keputusan. Akibat dari melakukan procrastination/penundaan adalah kamu mungkin kehilangan banyak peluang.
  • Undervalued instinct: daripada mengikuti naluri, kamu memilih untuk meminta pendapat orang lain untuk membuat keputusan. Tetapi, cara ini akan membuat kamu merasa kewalahan akibat terlalu banyak pendapat dari orang lain.
  • Strained relationship: dalam suatu relasi kamu cenderung bergantung dan menyerahkan tanggung jawab pada pasangan untuk mengambil keputusan besar tanpa bantuanmu.
  • External dependence: kamu memilih orang lain memutuskan sesuatu untuk kamu, daripada membuat keputusan untuk dirimu sendiri.
  • Exaggerated consequences: kamu melebih-lebihkan konsekuensi dari keputusan kecil. Hal ini dapat menyebabkan kamu merasa stres untuk membuat pilihan yang tepat.

   

Lalu apa sih penyebab seseorang bisa mengalami decidophobia ini? Dalam Psych Time (2023) tidak ada penyebab pasti decidophobia, namun genetik dan lingkungan dapat menjadi peran atau faktor yang signifikan dalam perkembangan kondisi decidophobia ini.

       Menurut Daramus (dalam Gupta, 2022) ada beberapa penyebab potensial decidophobia, antara lain:

  1. Learned behavior: phobia sering kali merupakan hasil dari perilaku yang dipelajari. Ada saat dimana kita perlu membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk diri kita. Akibatnya, kita mungkin telah belajar untuk menghindari mengambil keputusan sendiri.
  2. Past experience: ketika pernah membuat keputusan di masa lalu yang ternyata hasilnya buruk, kemudian kita menggeneralisasikannya dari “saya mengacau” menjadi “saya selalu membuat keputusan yang salah”. Dari hal ini, phobia sering kali terjadi saat kita menggeneralisasikan satu peristiwa buruk menjadi rasa takut dalam semua peristiwa serupa.
  3. Genetic factors: faktor genetik juga menjadi peran dalam perkembangan phobia disini. Gangguan kecemasan dapat diturunkan secara genetik.

Dari penyebab diatas, apa sih dampak dari decidophobia ini? Dari pengertian decidophobia sendiri, penderitanya mengalami ketakutan yang intens dalam membuat keputusan. Dalam Forbes Coaches Council (2017) decidophobia dapat menyebabkan pemikiran kabur, kurangnya kejelasan dan peningkatan ketergantungan pada orang lain yang berperan menentukan pilihan untuk diri sendiri, dan semuanya mengarah pada kehilangan arah dan kendali. Selain bergantung pada orang lain, juga dapat bergantung pada pseudoscience atau hal-hal yang tidak berdasar pada pembuktian ilmiah seperti ramalan, kartu tarot, astrologi, dsb (Medina, 2021). Teman-teman pasti tidak asing lagi ya dengan ramalan-ramalan atau kartu tarot. Membaca hal-hal yang berbau pseudoscience tidaklah salah, namun jika dilakukan untuk membuat keputusan bukanlah hal yang baik dilakukan karena kebenarannya tidak didasarkan pada suatu yang sudah teruji secara ilmiah. 


Penderitanya juga bisa mengalami kecemasan yang cukup kuat sehingga mungkin dalam beberapa kasus dapat menyebabkan serangan panik atau gejala fisik seperti peningkatan detak jantung, peningkatan laju pernapasan, tekanan darah tinggi, ketegangan otot, gemetar, berkeringat, atau gejala fisik lainnya (Psych Time, 2023). Namun gejala tersebut tidak semua terjadi dan berdampak pada semua penderita decidophobia.

Jadi dapat disimpulkan ya dampak bagi seseorang yang menderita decidophobia itu bisa mempengaruhi fisik juga. Jika terlalu sering dan intens memiliki rasa ketakutan saat mengambil keputusan akan beresiko membuat penderitanya kehilangan kontrol juga. Penghindaran untuk mengambil keputusan juga mungkin dilakukan untuk mengurangi rasa takut dengan cara mengikuti pilihan dari orang lain atau melihat suatu ramalan. Namun perlu diingat dan menjadi catatan bahwa tidak semua ketakutan dalam mengambil keputusan bisa selalu dikatakan sebagai decidophobia. Ada saat dimana kita juga merasa takut untuk mengambil sebuah keputusan karena hal tertentu.

Setelah memahami penjelasan singkat di atas, teman-teman ada yang merasa cemas gak nih? Tapi gak perlu panik, di bawah ini ada beberapa tips untuk menghadapi decidophobia yang ditawarkan oleh 14 anggota Forbes Coaches Council (2017) yang bisa membantu kamu maju dalam pekerjaan dan kehidupan. Tertera dalam Medina (2021), beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani decidophobia diantaranya sebagai berikut:

1. Kurangi pilihan yang harus dibuat

Salah satu penyebab kamu takut dalam membuat keputusan bisa jadi karena terlalu banyak pilihan. Oleh karena itu, coba kurangi hal-hal yang bisa membuatmu sulit dalam menentukan pilihan seperti ketika memilih makanan atau pakaian. Kamu bisa mencoba dengan memakan makanan yang kamu punya dulu, atau memilih pakaian yang kasual saja. Yang terpenting adalah tidak membuat hal-hal sehari-hari menjadi rumit karena kamu kesulitan membuat sebuah keputusan.

2. Gunakan decision-making quadrant

Menurut Forbes (2017), kamu bisa menggunakan decision-making quadrant apabila takut membuat sebuah keputusan. Caranya adalah dengan mencoba untuk membuat hubungan dari keputusan yang akan kamu buat dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:

“Apa yang akan terjadi jika keputusan ini dibuat?”

“Apa yang tidak akan terjadi jika keputusan ini tidak dibuat?”

“Apa yang akan terjadi jika keputusan ini tidak dibuat?”

“Apa yang tidak akan terjadi jika keputusan ini tidak dibuat?”

Dengan menjawab empat pertanyaan tersebut, kamu jadi bisa mengambil keputusan terbaik karena sudah mempertimbangkan berbagai risiko yang akan terjadi.

3. Lihat sesuatu dari perspektif lain

Apabila kamu kesulitan saat diminta untuk mengambil keputusan, coba posisikan diri sebagai seseorang yang jadi panutan, misalnya senior di kantor atau manajermu. Tanyakan kepada dirimu, keputusan apa yang akan mereka ambil. Terkadang kamu hanya perlu melihat dari perspektif orang lain untuk memberikan keyakinan lebih untuk diri.

4. Ketahui prioritasmu

Jika kamu memiliki decidophobia, ada baiknya coba membuat skala prioritas ketika diminta membuat keputusan. Ketika membuat prioritas, sebaiknya kamu jangan membuatnya lebih dari tiga poin. Hal ini agar kamu tidak kesulitan ketika nanti harus menentukan pilihan. Selain itu, buatlah tujuan dan rencana supaya prioritasmu memiliki progres. Jika pilihan tidak sejalan dengan skala prioritas dan rencana yang sudah kamu buat, maka jawabannya adalah “tidak dulu” atau “tidak untuk saat ini”.

5. Pikirkan risiko sebagai dua sisi koin

Ketika membuat keputusan berdasarkan rasa takut, kamu cenderung melihat akibat terburuk dari hal yang akan dilakukan. Perlu kamu ketahui bahwa risiko adalah dua sisi koin yang berbeda. Bisa saja risiko yang kamu pikirkan tidaklah seburuk kenyataannya. Sebagai contoh, mungkin kamu akan ketakutan saat harus memberitahu atasan tentang sebuah kabar buruk. “Sisi koin” satunya adalah atasanmu akan marah, sementara sisi risiko satunya adalah atasan memaklumi dan membantumu cari solusi. Nah, hal tersebut yang harusnya bisa kamu tanamkan dalam diri, bersiap untuk kemungkinan terburuk, tapi sudah tahu cara menghadapinya. 

Dalam hidup kita memang kerap kali dihadapkan dengan berbagai pilihan yang membuat kita sulit untuk memilihnya. Mengambil suatu keputusan dalam segala kondisi memang bukan hal yang mudah karena membutuhkan kondisi hati yang tenang serta pikiran jernih. Akan tetapi, kita harus cepat dan berani dalam mengambil sebuah keputusan untuk menghindari banyak hal yang akan dilewatkan jika terlalu lama dalam mengambil keputusan. Hal terpenting adalah ketepatan dalam menimbang sesuatu dan mengambil keputusan dilakukan ketika dalam kondisi emosi yang stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Forbes Coaches Council. (2017). Expert Coaching Tips To Help You Overcome The Fear Of Making Decisions. Retrieved January 13, 2023. https://www.forbes.com/sites/forbescoachescouncil/2017/07/05/expert-coaching-tips-to-help-you-overcome-the-fear-of-making-decisions/?sh=2ca9a1613c92

Gupta, S. (2022). What is Decidophobia? Retrieved January 10, 2023. https://www.verywellmind.com/decidophobia-symptoms-causes-diagnosis-and-treatment-5222087#:~:text=%E2%80%9CDecidophobia%20is%20the%20paralyzing%20fear%20of%20making%20a%20wrong%20decision.

Medina, M. I. (2021). Kenali Tanda-Tanda Decidophobia, Ketakutan Berlebih saat Mengambil Keputusan. Retrieved January 17, 2023. https://glints.com/id/lowongan/decidophobia-adalah/#hal-yang-bisa-dilakukan-untuk-menghadapi-decidophobia

Psych Time. (2023). Decidophobia (Fear of Making Decisions). Retrieved January 12, 2023. https://psychtimes.com/decidophobia-fear-of-making-decisions/

Ivan Pavlov : Dog Experiment

Edisi September 2025 Ivan Pavlov : Dog Experiment Sumber :  https://www.communicationtheory.org/wp-content/uploads/2022/09/ivan-pavlovs-dog-...