Wednesday, August 9, 2023

Lapar terus-menerus? Mungkin itu Binge Eating. Yuk kita cari tahu kenapa.

Sumber : https://edfa.org.au/wp-content/uploads/2020/09/Binge-Eating-disordered-brain.jpg


Makan merupakan salah satu kegiatan rutin bagi semua makhluk hidup mulai dari manusia, hewan bahkan tumbuhan juga membutuhkan makan untuk tetap hidup dan berkembang biak. Dengan makan, manusia bisa mendapatkan tenaga untuk menjalani aktivitas sehari-hari dan mendapatkan nutrisi. Makan tentu saja bisa membuat manusia merasa lebih memiliki stamina lebih, tetapi apakah kalian pernah merasakan sulit untuk mengontrol diri untuk tidak makan dengan porsi yang cukup banyak? Bisa jadi hal tersebut bisa disebut sebagai binge eating disorder. Kenapa sih disebut binge eating disorder? Yuk simak!


Binge eating disorder merupakan suatu episode dimana individu makan dalam jumlah porsi yang besar dan berhubungan dengan perasaan lack of control (Palavras dalam Grace & Elmira, 2021). Bagi para penderita binge eating disorder, biasanya mereka menunjukkan pola makan yang berlebih diluar jam makan mereka (setidaknya sekali dalam seminggu selama 3 bulan) dan makan dengan porsi yang banyak yang merupakan respon terhadap perasaan cemas, stres atau depresi (APA dalam Grace & Elmira, 2021). Binge eating disorder memiliki kaitan dengan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan gizi seperti kolestrol atau diabetes. Selain itu, menurut Telch, Agras, & Linehan (Dalam Grace & Elmira, 2021) menjelaskan bahwa penderita binge eating disorder merasa sulit untuk mengatur emosi negatif dan menjadikan makan secara berlebihan menjadi solusi untuk mengatasi emosi negatif dan suatu penguatan untuk mengatasi emosi negatif.


Penyebab binge eating disorder belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi tersebut diduga berkaitan dengan gangguan pada area otak yang mengatur rasa lapar, kenyang, serta kontrol diri. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terkena binge eating disorder, yaitu:

  1. Terdapat riwayat gangguan pola makan yang berasal dari keluarga.

  2. Memiliki riwayat gangguan kesehatan mental seperti depresi, bipolar, dan kecanduan alkohol atau obat-obatan.

  3. Adanya gangguan pada zat kimia di otak yang mengatur pola makan.

  4. Terdapat trauma emosional akibat dari bullying, kekerasan seksual, stres berat atau ditinggalkan.

  5. Memiliki berat badan berlebihan.

  6. Tidak merasa puas terhadap bentuk tubuh dan memiliki citra negatif.


Terdapat beberapa kriteria klinis dari binge eating disorder berdasarkan DSM-V, yaitu:

  1. Episode binge eating berulang. Sebuah episode binge eating dikategorisasikan dalam dua hal:

  1. Makan dalam periode yang singkat (dalam jangka 2 jam) dengan mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan orang pada umumnya di waktu dan periode yang sama.

  2. Kurangnya kemampuan untuk mengontrol makanan yang masuk dalam setiap episode (contoh: individu memiliki perasaan bahwa mereka tidak dapat berhenti makan).

  1. Episode binge eating berhubungan dengan tiga gejala atau lebih sebagai berikut:

  1. Makan lebih cepat dibandingkan biasanya.

  2. Makan sampai kenyang yang tidak nyaman.

  3. Makan dalam jumlah yang besar meskipun tidak lapar.

  4. Makan diam-diam karena merasa malu.

  5. Merasa bersalah, jijik dengan diri, ataupun depresi.

  1. Timbulnya distress yang berhubungan dengan binge eating.

  2. Binge eating umumnya terjadi paling tidak sekali dalam jangka waktu 3 bulan.

  3. Binge eating tidak ada hubungan dengan timbulnya perilaku kompensasi berulang yang tidak wajar seperti bulimia nervosa dan tidak terjadi secara eksklusif selama berlangsungnya bulimia nervosa dan anorexia nervosa.


Lalu bagaimana cara individu mengatasi ataupun mengobati  binge eating disorderBinge eating disorder memiliki beberapa alternatif dalam proses pengobatannya, seperti: 

  1. Psikoterapi

  1. Terapi perilaku kognitif, membantu pasien berpikir lebih positif dan mengontrol pola makan.

  2. Psikoterapi interpersonal, mengatasi masalah psikologis dan gangguan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi.

  3. Terapi perilaku dialektis, membantu pasien mengelola stres lebih baik.

  1. Konsultasi gizi

Memberikan diet khusus untuk pasien binge eating disorder untuk menurunkan berat badannya. Ahli gizi maupun dokter hanya dapat memberikan terapi diet setelah individu dapat mengatasinya. 

  1. Obat-obatan

Obat yang dapat digunakan untuk membantu mengatasi binge eating disorder adalah lisdexamfetamine yang berguna untuk menekan keinginan makan berlebih pada pasien namun dalam tingkat berat. Selain itu, obat yang dapat digunakan untuk pasien binge eating disorder adalah antidepresan, sama halnya dengan obat sebelumnya namun antidepresan membantu pasien yang mempengaruhi sinyal kimia di otak yang berhubungan dengan suasana hati. 


Dengan demikian, binge eating disorder dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu keadaan fisik serta psikologis yang berjalan beriringan sehingga dapat mengakibatkan kondisi kejiwaan yang tidak baik seperti depresi, distress, maupun gangguan sosial. Namun jika individu mengalami hal yang serupa, bukan berarti bahwa individu mengalami binge eating disorder. Oleh karena itu jika sudah mulai merasakan hal-hal yang tidak wajar dari segi pola makan maupun emosional, segeralah pergi menemui tenaga ahli seperti psikolog, psikiater, maupun ahli gizi untuk mendapatkan tindakan yang tepat, agar binge eating disorder tidak semakin parah. 


DAFTAR PUSTAKA


Lala. (2023). Makan Adalah – Pengertian, Fungsi, Jenis Jenisnya. Retrieved July 29, 2023. https://ekosistem.co.id/makan-adalah/


Indrawati, G. & Sumintardjo, E.N. (2021). CBT based therapy: Improved self-regulation of obese young adults with binge eating disorder. Jurnal Psibernetika. 14(2), h111-120. 10.30813/psibernetika.v14i2.2819


Bella, A. (2022). Binge Eating Disorder: Tanda-Tanda, Penyebab, dan Penanganan. Retrieved July 29, 2023. https://www.alodokter.com/binge-eating-disorder-tanda-tanda-penyebab-dan-penanganan


Tim Promkes. (2023). Binge Eating Disorder. Retrieved July 31, 2023. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2266/binge-eating-disorder


Goutama, I.L. (2016). Pendeketan klinis binge eating disorder. Cermin Dunia Kedokteran, 43(12), h901-904. https://media.neliti.com/media/publications/397382-pendekatan-klinis-binge-eating-disorder-9d46d3c0.pdf




Thursday, July 20, 2023

Gangguan yang Terobsesi dengan Berat Badan? Yuk Kenali Anorexia Nervosa!

Pernahkah kalian mendengar tentang gangguan makan atau eating disorder? Setiap tahunnya, jutaan orang di seluruh dunia terperangkap dalam pertarungan dengan makanan dan tubuh mereka sendiri. Salah satu eating disorder yang paling terkenal dan berbahaya adalah anorexia nervosa. Apa yang dimaksud dari anorexia nervosa itu sendiri? Anorexia nervosa adalah sebuah gangguan makan yang memengaruhi banyak perempuan dan juga pria. Gangguan ini tidak hanya memengaruhi fisik seseorang, tetapi juga merusak kehidupan mereka secara menyeluruh.

Sumber: https://images.everydayhealth.com/images/what-is-anorexia-nervosa-1440x810.jpg?w=1110

Menurut jurnal yang ditulis oleh Gull pada tahun 1988, anorexia nervosa adalah gangguan psikologis yang ditandai dengan ketakutan yang berlebihan terhadap berat badan dan penolakan untuk menjaga berat badan pada tingkat yang sehat. Pada umumnya, penderita anorexia nervosa memiliki pandangan yang sangat distorsi terhadap tubuh mereka sendiri. Meskipun mereka mungkin sangat kurus, mereka akan melihat bahwa diri mereka gemuk dan tidak puas dengan penampilan fisik mereka.

Sementara itu,  dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Keeler di tahun 2022, sebagian besar kasus anorexia nervosa dipicu oleh faktor-faktor psikologis dan lingkungan. Tekanan sosial untuk memiliki tubuh yang ideal, terutama dalam media sosial yang sering kali menampilkan gambar tubuh yang tidak realistis, dapat menjadi salah satu faktor pemicu. Selain itu, masalah kepercayaan diri yang rendah, depresi, dan kecemasan juga dapat memainkan peran penting dalam perkembangan anorexia nervosa.

Dalam usaha untuk mencapai bentuk tubuh yang dianggap ideal, penderita anorexia nervosa seringkali terjebak dalam siklus yang berbahaya, seperti diet ketat, puasa ekstrem, dan latihan fisik yang berlebihan telah menjadi rutinitas mereka sehari-hari. Namun, di balik hal itu, terdapat konsekuensi yang menghancurkan dari anorexia nervosa, yakni tubuh mengalami kekurangan nutrisi yang serius, menyebabkan kerusakan organ, osteoporosis, bahkan kematian. Anorexia nervosa juga menyebabkan dampak psikologis yang signifikan, seperti munculnya kecemasan yang lebih tinggi, perasaan rendah diri, dan depresi.

Sumber: https://edulearningacademy.com/wp-content/uploads/2021/09/4404650.jpg

Lalu, bagaimana sih cara kita menangani gangguan ini? 

Ada beberapa cara untuk mengatasi gangguan ini, yaitu dengan cognitive behavioral therapy (CBT) yang merupakan salah satu perawatan utama untuk gangguan anorexia nervosa tersebut, konsultasi dengan ahli gizi, melakukan dialectical behavior therapy (DBT), dan mengonsumsi obat-obatan seperti olanzapine yang dapat membantu penambahan berat badan.

Singkatnya, anorexia nervosa merupakan gangguan psikologis karena adanya ketakutan yang berlebihan terhadap berat badan dan juga penolakan untuk menjaga berat badan pada tingkat yang sehat. Anorexia nervosa ini disebabkan oleh faktor psikologis dan lingkungan seperti tekanan sosial, kepercayaan diri yang rendah, dan depresi.  

Referensi 

Gull, W. (1988). Anorexia nervosa. The Lancet131(3368), 516-517.

Isnanto, R.R., Eridani, D., & Affa, K.F. (2017). Sistem Pakar Pendeteksi dan Penanganan Anorexia Nervosa Pada Perangkat Bergerak.

Keeler, J.L., Robinson, L., Keeler-Schaeffeler, R., Dalton, B., Treasure, J., & Himmerich, H. (2022). Growth factors in anorexia nervosa: a systematic review and meta-analysis of cross-sectional and longitudinal data. The World Journal of Biological Psychiatry23(8), 582-600.

Monday, April 10, 2023

SELF-SABOTAGE

Siapa yang setuju kalau yang namanya hidup pasti ada aja hambatannya? Ada kalanya kita merasa yakin dengan diri sendiri, ada kalanya juga kita merasa seperti bukan siapa-siapa. Perkataan seperti "Aku kayaknya gak bisa deh" mungkin sudah tidak asing yaa di telinga kita. Entah sudah berapa kali kita mengatakan ini pada diri sendiri ketika mendapatkan tugas atau berada di situasi yang sulit. Ternyata, perkataan ini merupakan salah satu contoh dari self-sabotage yang mungkin secara tidak sadar telah kita lakukan lho.

Menurut Brito (2021), self-sabotage adalah perilaku atau pola pikir yang dapat menghalangi individu dalam melakukan apa yang diinginkan. Beberapa manifestasi dari self-sabotage sendiri dapat dilihat dari berbagai perilaku yang umum dilakukan, seperti menunda tugas yang harus dikerjakan dan makan untuk menghilangkan stres. Meskipun self-sabotage tidak selalu dilakukan secara sadar, namun ternyata hal ini terjadi karena kita sendiri yang memilih untuk melakukan hal ini. Sedih sekali bukan? Ternyata yang dapat menghalangi diri kita untuk sukses bukan hanya orang lain atau pihak eksternal, namun diri kita sendiri.

Sebenarnya apa sih yang mengakibatkan self-sabotage terjadi pada diri kita? Meskipun self-sabotage merupakan pola pikir yang kita ciptakan sendiri tetapi hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa penyebab lho!

Menurut Blascovich dan Tomaka (1991), penyebab utama seseorang melakukan self-sabotage adalah karena individu memiliki harga diri yang rendah. Seseorang yang memiliki harga diri rendah cenderung berpikir bahwa ia mungkin tidak akan berhasil sehingga ia melakukan perilaku yang merusak keberhasilan itu sendiri. Selain itu, self-sabotage juga dapat disebabkan oleh rasa takut gagal atau rasa takut untuk sukses. Individu yang memiliki rasa takut gagal atau rasa takut untuk sukses akan cenderung menghindari pengambilan resiko yang membuat mereka tidak berhasil untuk mencapai kesuksesan itu (Ruderman, 2006). Pandangan lain dari penelitian yang dilakukan oleh Schwinger dkk (2021) juga menemukan bahwa perilaku self-sabotage juga disebabkan oleh kejadian atau situasi yang membuat individu merasa tidak aman atau tidak mampu. Sebagai contoh, Lala ditunjuk dosennya untuk melakukan presentasi secara tiba-tiba. Lala akan melakukan self-sabotage, berupa pemikiran bahwa dirinya tidak mampu, jika dirinya merasa tidak siap atau tidak yakin dengan kemampuannya untuk melakukan presentasi di depan kelas.

https://superteacher.co/blog/wp-content/uploads/2021/11/Compressed-5-1.jpg

Perilaku self-sabotage merupakan cara manusia untuk melindungi dirinya dari rasa sakit atau rasa kecewa, tapi jangan terlalu sering ya! Jika terlalu sering dilakukan maka akan menimbulkan dampak negatif yang tentunya merugikan diri sendiri loh..

Dari penyebab self-sabotage diatas dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu dampak dari self-sabotage ini adalah menghambat kita untuk sukses. Kemudian dampak negatif lain yang ditimbulkan adalah individu menjadi seseorang yang mengabaikan dirinya sendiri karena dengan melakukan self-sabotage, individu bisa jadi lalai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, tidur, dan lain sebagainya. Kurangnya perawatan diri ini juga berkaitan dengan kegagalan seseorang dalam kesejahteraan emosional dan fisiknya (Nicastro, 2022).

Setelah mengetahui beberapa dampak negatif dari self-sabotage, yang perlu diketahui selanjutnya adalah bagaimana sih cara mengurangi perilaku self-sabotage ini?

      Identifikasi pola self-sabotage

    Pertama, penting untuk mengenali perilaku atau pola yang menghambat kemajuan dan pencapaian tujuan. Contohnya adalah kecenderungan untuk menunda pekerjaan atau menghindari tanggung jawab.

      Fokus pada tujuan

Fokus pada tujuan yang ingin dicapai dapat membantu seseorang mengatasi distraksi dan memotivasi diri sendiri untuk melakukan tindakan yang diperlukan.

      Tingkatkan kesadaran diri

Menjadi lebih sadar terhadap emosi dan pikiran yang memicu self-sabotage dapat membantu seseorang untuk mengambil tindakan yang lebih positif dan produktif.

      Gunakan afirmasi positif

Menggunakan afirmasi positif dapat membantu merangsang pikiran yang lebih positif dan mengubah pola pikir negatif yang dapat memicu self-sabotage.

      Cari dukungan

Mencari dukungan dari orang-orang terdekat atau profesional dapat membantu mengatasi self-sabotage dan menemukan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

https://bigpicturezen.files.wordpress.com/2020/02/clipart-doctor-counselling.png

         Maka dapat disimpulkan bahwa istilah self-sabotage merujuk pada tindakan dan pikiran yang bisa menghambat individu melakukan sesuatu yang diinginkan. Penyebab self-sabotage ialah harga diri yang rendah dan rasa takut gagal maupun rasa takut untuk sukses. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir perilaku self-sabotage adalah dengan mencari dukungan orang-orang terdekat dan bantuan profesional jika dampak yang dari self-sabotage sudah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA

Blascovich, J., & Tomaka, J. (1991). Measures of self-esteem. In J. P. Robinson, P. R. Shaver, & L. S. Wrightsman (Eds.), Measures of personality and social psychological attitudes. Academic Press.  115–160. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-590241-0.50008-3

Hayes, S. C., Strosahl, K. D., & Wilson, K. G. (2012). Acceptance and commitment therapy: The process and practice of mindful change (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Nicasto, R. (2022). Understanding Self Sabotaging Behaviors. Diakses pada 24 Maret, 2023, dari  https://richardnicastro.com/2022/07/18/understanding-self-sabotaging-behaviors/

Positive Zen Energy. (2022). Mind Hacks to Stop Self Sabotage. Diakses pada 24 Maret, 2023, dari https://positivezenenergy.com/how-being-positive-can-stop-you-from-self-sabotaging/

Psychology Today. (2023). Self-Sabotage. Diakses pada 20 Januari 2023, dari https://www.psychologytoday.com/us/basics/self-sabotage?page=0

Raypole, C. (2021). How Self-Sabotage Hold You Back. Diakses pada 20 Januari 2023, dari https://www.healthline.com/health/self-sabotage

Ruderman, E. G. (2006). Nurturance and self-sabotage: Psychoanalytic perspectives on women’s fear of success. In International Forum of Psychoanalysis, 15(2), 85–95. https://doi.org/10.1080/08037060600621779

Schwinger, M., Trautner, M., Pütz, N., Fabianek, S., Lemmer, G., Lauermann, F., & Wirthwein, L. (2021). Why Do Students Use Strategies That Hurt Their Chances of Academic Success? A Meta-Analysis of Antecedents of Academic Self-Handicapping. Journal of Educational Psychology, 114(3), 576-596. http://dx.doi.org/10.1037/edu0000706

Sertel, G., & Tanriöğen, Z. M. (2019). The relationship between self-sabotage and organizational climate of schools. Educational Research and Reviews, 14(15), 541-550. http://dx.doi.org/10.5897/ERR2019.3784

Sirois, M. (2019). Procrastination, self-regulation, and well-being: An exploration of the temporal aspect of self-regulatory failure. Personality and Individual Differences, 141, 297-306.

Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High self-control predicts good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of personality, 72(2), 271-324. https://doi.org/10.1111/j.0022-3506.2004.00263.x


Friday, March 10, 2023

Psychological First Aid

         Apakah teman-teman sering mendengar mengenai pertolongan pertama untuk para korban bencana atau yang membutuhkan bantuan? Pertolongan pertama untuk korban bencana atau yang membutuhkan bantuan biasanya bersifat fisik bukan? Nyatanya ada loh, pertolongan pertama secara psikologis yang dalam lingkup psikologi disebut sebagai Psychological First Aid (PFA). Untuk lebih jelasnya, ayokk kita simak penjelasan lebih lengkap berikut.

        Psychological First Aid (PFA) merupakan pertolongan pertama yang berupa respon psikologis yang bersifat manusiawi dan diberikan kepada sesama manusia yang sedang membutuhkan bantuan dan dukungan secara psikologis (Sphere, 2011; IASC, 2007). Biasanya yang timbul pertama kali mengenai pemberian pertolongan kepada korban harus seseorang yang profesional, namun yang perlu menjadi perhatian khusus saat mempelajari mengenai psychological first aid ialah PFA bukan hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli yang sudah profesional dan pandai di bidang psychological first aid, dan PFA juga bukanlah bentuk konseling yang bersifat profesional karena PFA dapat dilakukan oleh masyarakat umum, dengan ketentuan sudah mengerti, paham, dan memiliki kompetensi tinggi mengenai PFA. 

Sumber: https://i1.wp.com/mhtoolkit.com/wp-content/uploads/2020/08/Psycholgocial-First-Aid.jpg?fit=900%2C600&ssl=1

Menurut Cahyono (2015) psychological first aid bertujuan untuk mengurangi dan mencegah munculnya dampak psikologis yang lebih buruk dari bencana, atau situasi sulit lainnya, serta memperkuat pemulihan psikologis.

Menurut Unicef (2022), terdapat 3 prinsip yang perlu diingat saat memberikan pertolongan pertama psikologis, yaitu:

  1. Look: Pada prinsip pertama dalam memberikan pertolongan pertama psikologis, penting untuk terlebih dahulu menilai bahaya, serta resiko keselamatan dan keamanan. Kemudian memperoleh informasi terkait mereka yang membutuhkan bantuan, peristiwa yang sedang terjadi, luka fisik yang dialami, kebutuhan dasar/primer yang mereka perlukan, serta tanggapan emosional mereka.
  1. Listen: Pada prinsip kedua dalam memberikan pertolongan pertama psikologis dapat dilakukan dengan mendekati individu yang memerlukan bantuan, kemudian memperkenalkan diri, memperhatikan dan mendengarkan secara aktif, berupaya memahami dan menenangkan perasaan individu yang sedang dalam krisis, menanyakan kebutuhan dan kekhawatiran mereka, kemudian dapat diberikan bantuan terkait dengan kebutuhan mendesaknya, serta mencoba menyelesaikan masalahnya.
  1. Link: Pada prinsip ketiga dalam memberikan pertolongan pertolongan pertama psikologis dapat dilakukan dengan menyediakan informasi, layanan, dan sumber bantuan yang relevan, membantu mereka kembali terhubung dengan kerabat, memberikan bantuan sosial, serta secara aktif mencoba untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.



Sumber: https://www.kit.nl/project/psychological-first-aid-a-crash-course/

Setelah mengetahui tiga prinsip tersebut, kemudian dapat mengikuti peraturan berikut ini saat memberikan pertolongan pertama psikologis sehingga dapat membantu individu yang sedang mengalami krisis dengan benar tanpa merugikan mereka:

  1. Memahami situasi sebelum memberikan bantuan. Jangan memaksakan bantuan yang akan kamu berikan.
  2. Ajukan pertanyaan sederhana dengan rasa hormat untuk mengetahui bagaimana kamu dapat membantu.
  3. Menjalin komunikasi dengan individu yang mengalami krisis. Cara terbaik untuk memulai komunikasi adalah dengan memberikan bantuan praktis seperti; menawarkan makanan, air, pakaian, selimut.
  4. Mempersiapkan diri, karena terdapat kemungkinan individu yang sedang mengalami krisis akan menghindarimu, terlibat dalam perilaku agresif, dan menolak bantuan yang kamu berikan.
  5. Menghormati hak individu untuk mengambil keputusan.
  6. Jika individu yang sedang mengalami krisis menolak bantuan yang kamu tawarkan, maka tunjukkan kesediaan kamu untuk membantu mereka di masa mendatang.
  7. Sabar, bertanggung jawab, tanggap, dan peka.
  8. Bicaralah dengan tenang, lugas, dan dengan ekspresi yang jelas. Berikan informasi yang akurat, relevan, dan sesuai usia.
  9. Pertimbangkan latar belakang budaya, jenis kelamin, adat istiadat, dan agama orang tersebut.
  10. Hindari asumsi, kritik, penilaian, dan janji.
  11. Jika individu yang mengalami krisis ingin berbicara, bersiaplah untuk mendengarkan.
  12. Tidak perlu terus-menerus berbicara dengan individu yang mengalami krisis. Seringkali, hadir secara fisik dapat membantu mereka merasa lebih aman dan percaya diri.
  13. Menjaga kerahasiaan semua informasi yang kamu terima dari individu tersebut. Jangan pernah membagikan informasi pribadi individu.

Sumber: https://www.perempuanberkisah.id/wp-content/uploads/2022/04/Desain-tanpa-judul-34.jpg

PFA ini diperuntukkan untuk orang-orang yang berada dalam suatu kondisi yang tertekan atau baru saja mengalami kejadian yang mencekam. Namun tidak semua orang yang mengalami kondisi mencekam memerlukan PFA. PFA ini bisa diberikan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Contoh orang-orang yang memerlukan PFA seperti orang yang mungkin dapat menyakiti orang lain, orang dengan cedera yang serius sehingga membutuhkan pertolongan gawat darurat, dan orang yang sangat terpukul, sehingga mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri.

Maka dapat disimpulkan bahwa psychological First Aid merupakan bentuk pertolongan pertama yang diberikan kepada korban bencana ataupun individu yang sedang membutuhkan bantuan baik anak kecil maupun orang dewasa untuk membantu meringankan dampak psikologis kepada korban. PFA ini dapat dilakukan jika orang tersebut memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai PFA sehingga tidak harus yang bergelar profesional. Dalam memberikan PFA terdapat beberapa cara dan peraturan yang harus dipatuhi sehingga tidak merugikan para korban atau orang yang sedang membutuhkan bantuan.

 DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, W. (2015). Psychological first aid: Sebuah kesiapsiagaan dari kita untuk kita. Depok: Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Inter-Agency Standing Committee (IASC). 2007. IASC Guidelines on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency Settings. Geneva: IASC. Diakses dari http://www. who.int/mental_health_psychosocial_june_2007.pdf

Margaretha, & Sari, D.K. (2020). Pertolongan psikologis pertama. Universitas Airlangga.

Unicef. (2022). How to provide psychological first aid. Retrieved January 27, 2023. https://www.unicef.org/armenia/en/stories/how-provide-psychological-first-aid

The Sphere Project. 2011. Humanitarian Charter and Minimum Standards in Disaster  Response. Geneva: The Sphere Project. Diakses dari http://www.sphereproject.org


Ivan Pavlov : Dog Experiment

Edisi September 2025 Ivan Pavlov : Dog Experiment Sumber :  https://www.communicationtheory.org/wp-content/uploads/2022/09/ivan-pavlovs-dog-...