Pada hari Rabu, 13 Februari 2013, Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia merasa terhormat karena kedatangan seorang pembicara yang inspiratif yaitu Dr. Nilam Widyarini, Psikolog. Dalam semiloka dosen Prodi Psikologi tersebut Ibu Nilam memberikan kita pencerahan mengenai pentinnya spiritualitas dalam bekerja. Bagaimana kita bisa menikmati pekerjaan kita sebagai flow, menyikapi positif berbagai hal yang terjadi. Namun tentu saja untuk menciptakan spiritualitas tersebut semua pihak dari manajemen sampai karyawan harus bekerja sama dan memang sudah menyepakati hal tersebut.
Semoga ini bisa menjadi inspirasi buat kita yang kadang merasa kecewa, putus asa, lelah.... Semoga bisa melalui berbagai hambatan, perform, dan semakin mencintai pekerjaan kita
Regards,
PRODI PSIKOLOGI
Untuk pertanyaan seputar spirituality at work bisa disampaikan di blog ini...
Membawakan berita terbaru terkait kegiatan Program Studi Psikologi UBM dan artikel-artikel menarik meliputi seluruh kajian ilmu psikologi secara ilmiah dan faktual.
Sunday, February 17, 2013
DISKUSI ILMIAH PSIKOLOGI SOSIAL Semester gena 2013
Untuk semester genap 2013, diskusi ilmiah akan banyak dialokasikan di kelas psikologi sosial. Semoga hal ini terus berlanjut sehingga suasana akademik kita semakin kental.
Untuk diskusi sebelumnya mengenai transgender, Transeksual... terima kasih pada mahasiswa yang mau terlibat.... karena hal ini merupakan awal dari critical thingking.... semoga peminatnya bertambah terus... dan kalau ada usulan topik mohon di post yah...
See you soon...
Untuk diskusi sebelumnya mengenai transgender, Transeksual... terima kasih pada mahasiswa yang mau terlibat.... karena hal ini merupakan awal dari critical thingking.... semoga peminatnya bertambah terus... dan kalau ada usulan topik mohon di post yah...
See you soon...
Pelatihan Riset Indigenous Psychology
Pada tanggal 7-9 Februari 2013 beberapa dosen dari Prodi Psikologi Universitas Bunda mulia terlibat dalam pelatihan riset yang diadakan Fakultas Psikologi YARSI, dengan pembicara Ibu Kwartarini, Phd, dari pusat riset indigineous psychology Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Mbak bo (nama panggilan beliau) membuka mata dan menambah wawasan kami mengenai riset dalam bidang psikologi, dan bagaimana sudatu riset diarahkan untuk melihat kepada keunikan dari populasi, dan tidak hanya mencocokkan dengan teori yang suda ada semata. Semoga bisa berguna bagi para dosen dan periset.
Bagi kalian yang tertarik, sharing mengenai riset ini akan diadakan di angkatan 2009 yang akan mengambil skripsi. Semoga bisa bermanfaat.
Regards,
PRODI PSIKOLOGI
Bagi kalian yang tertarik, sharing mengenai riset ini akan diadakan di angkatan 2009 yang akan mengambil skripsi. Semoga bisa bermanfaat.
Regards,
PRODI PSIKOLOGI
PRODI PSIKOLOGI UBM TERAKREDITASI
Selamat kepada Civitas Akademika Universitas Bunda Mulia, Khususnya Prodi Psikologi karena status kita sudah terakreditasi. Semoga hasil akreditasi ini bisa menjadi refleksi semua pihak untuk kedepannya dapat memperbaiki diri. Untuk para mahasiswa, tetap semangat karena kalian adalah representasi UBM di masyarakat dan dunia kerja. Jangan mudah menyerah dan mengeluh saja. Buktikan bahwa kalian bisa menjadi bintang di masyarakat.
Terima kasih pada semua pihak yang membantu dalam proses ini, para assessor yang memberikan kami masukan berarti dan kesempatan untuk berkembang (prof. Suryanto dari Unair dan Robert Rajaguguk,PHd dari Maranatha), para alumni, karyawan, mahasiswa, dosen, pengguna lulusan, dan semua yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu... Kita akan lebih baik lagi!
Proviciat dan concentro et proficio
PRODI PSIKOLOGI
Terima kasih pada semua pihak yang membantu dalam proses ini, para assessor yang memberikan kami masukan berarti dan kesempatan untuk berkembang (prof. Suryanto dari Unair dan Robert Rajaguguk,PHd dari Maranatha), para alumni, karyawan, mahasiswa, dosen, pengguna lulusan, dan semua yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu... Kita akan lebih baik lagi!
Proviciat dan concentro et proficio
PRODI PSIKOLOGI
KDRT by Dwi Swastika
KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA : ADA APA DIBALIK KDRT?
Kekerasan dalam rumah tangga saat ini menjadi momok yang
cukup menakutkan bagi siapapun yang ingin ataupun sudah berkeluarga. Kita tidak
bisa memprediksi apa yang akan terjadi nantinya. Siapapun tidak menginginkan
jika kehidupan rumah tangganya menjadi tidak bahagia, diwarnai dengan cekcok
dan kekerasan. Namun pada kenyataannya, masih ada saja kasus kekerassan yang
terjadi, terutama di Indonesia
KDRT menurut hukum
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 UU Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Kekerasan rumah tangga yang pada umumnya kita tahu dilakukan oleh pria
kepada wanita. Namun pada kenyataan tidaklah demikian. Ternyata kekerasan dalam
rumah tangga dapat juga dilakukan oleh wanita kepada pria, namun sifatnya lebih
pada verbal abuse.
KDRT itu sendiri bisa juga terbagi lagi menjadi 4 bentuk
kekerasan yaitu diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual, hingga kekerasan ekonomi (Wikipedia, 2012). Kekerasan fisik itu
sendiri terbagi lagi menjadi kekerasan fisik berat dan ringan. Kekerasan fisik
berat berupa penganiayaan berat yang dapat menyebabkan cidera berat hingga pada
kematian. Sedangkan kekerasan fisik ringan hanya berupa penganiayaan yang dapat
menyebabkan cidera ringan saja. Selanjutnya ada kekerasan psikis, yang juga
terbagi menjadi dua yaitu kekerasan psikis berat dan kekerasan psikis ringan.
Kekerasan psikis berat diantaranya berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan
atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat, seperti gangguan tidur, stress,
depresi, hingga berujung pada bunuh diri. Sedangkan kekerasan psikis ringan
berupa tindakan pengendalian, eksploitasi, ancaman yang dapat berujung pada
penderitaan psikis ringan seperti ketakutan, rasa tidak berdaya, hingga pada
fobia. Kekerasan secara seksual juga terbagi lagi menjadi dua yaitu kekerasan
seksual berat dan kekerasan seksual ringan. Kekerasan seksual berat bisa
terdiri dari pelecehan seksual dengan kontak fisik, pemaksaan hubungan seksual,
hingga pada tindakan seksual dengan kekerasan yang dapat menyebabkan luka tau
cidera. Sedangkan kekerasan seksual ringan bisa berupa tindakan pelecehan
seksual secara verbal. Bentuk KDRT yang terakhir adalah kekerasan ekonomi, yang
terbagi menjadi dua yaitu kekerasan ekonomi berat dan kekerasan ekonomi ringan.
Kekerasan ekonomi berat bisa berupa tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi yang dapat dilakukan dengan memaksa korban
bekerja dengan cara eksploitatif, melarang korban bekerja tapi
menelantarkannya, hingga pada mencuri dan merampas harta benda milik korban.
Untuk kekerasan ekonomi ringan berupa melakukan tindakan-tindakan secara
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi
atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut data dari catatan tahunan kekerasan
terhadap perempuan (Catahu KtP) tahun 2010 yang
dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) menunjukkan, dari 105.103 kasus yang ditangani oleh 384 lembaga
pengada layanan, 101.128-nya terjadi di ranah personal. Kasus kekerasan
terhadap istri masih paling banyak, yaitu 98.577 kasus. Selebihnya, terdapat
1.299 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 600 kasus kekerasan terhadap anak
perempuan. Berdasarkan data yang ada, perempuan Indonesia cenderung akan
memilih perceraian sebagai jalan keluar dari kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut sumber dari berita Antara, kasus KDRT di Indonesia rata-rata terjadi 311
kasus setiap harinya. Data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun
2011 angka kasus KDRT adalah 113.878 kasus atau 95,71 persen, artinya ini
terjadi sekitar 311 kasus per harinya. dan berdasarkan data catatan tahunan
Komnas Perempuan sejak 2001, kasus KDRT selalu menajdi kasus kekerasan terhadap
perempuan yang paling banyak terjadi.
Mengapa KDRT masih ada?
Mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga ini masih saja
terjadi? Sebenarnya pengetahuan tentang KDRT itu dimasyarakat luas masih belum merata
penyebarannya. Masih banyak yang menganggap bahwa tindakan kekerasan yang
dilakukan dengan tujuan untuk mendisiplinkan korban. Faktor budaya dan agama
juga memiliki pengaruh dalam hal ini. Akibatnya, masih banyak kasus-kasus KDRT
yang tidak terselesaikan atau hanya tersembunyi begitu saja. Nanti ketika
kekerasan yang dilakukan sudah semakin parah, barulah korban tunggang langgang
mencari pertolongan. Kurangnya pemahaman tentang hukum juga makin memperlambat
penanganan kasus KDRT.
Dibalik KDRT itu sendiri, ternyata ada juga mitos-mitos yang
berkembang yang seringkali masih kita percayai. Mitos-mitos ini seringkali
masih dipercayai keberadaannya. Mitos-mitos inilah yang seringkali menyebabkan
masih terjadinya kekerasan itu sendiri. menurut artikel yang disadur dari surat
kabar harian Kompas yang berjudul “5
Mitos Terjadinya KDRT”, menyatakan bahwa
KDRT masih berlanjut hingga saat ini karena masyarakat masih mempercayai bahwa
KDRT merupakan masalah pribadi yang wajar terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Hal inilah yang menciptakan mitos-mitos tidak benar yang masih dipercayai
hingga saat ini. Mitos ini menjadi semacam “tradisi” yang pasti selalu ada
dalam kehidupan berumah tangga tatkala terjadi konflik, baik itu bersifat besar
ataupun kecil. Debora Sinclair dalam bukunya Memberdayakan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga/Hubungan
Intim, merumuskan sejumlah mitos yang membuat pelaku kekerasan dimaafkan
dan dibebaskan begitu saja, diantaranya adalah :
1. Mitos: Lelaki pelaku kekerasan memiliki penyakit mental.
Realitas: Jika lelaki benar-benar sakit mental, dia tidak memiliki kemampuan
untuk memilih sasaran atau mengendalikan pola perilaku kekerasan. Sementara
yang terjadi dalam KDRT, sebagian besar lelaki yang melakukan kekerasan akan
menyembunyikan tindakan di dalam rumah. Serangan diarahkan ke bagian yang tidak
terlihat bekasnya. Artinya pelaku sudah memiliki perencanaan dan pemikiran
tentang pola kekerasannya. Suami pelaku KDRT juga tidak akan menyerang orang
lain, misalnya teman kerja, bila mengatami frustrasi dan hanya menyasar
istrinya di rumah.
2. Mitos: Alkohol menyebabkan lelaki memukul pasangannya.
Realitas: Alkohol memfasilitasi penggunaan kekuatan fisik dengan memungkinkan
pelaku melepaskan tanggungjawab perilakunya pada hal lain, dalam hal ini
alkohol.
3.
Mitos: Hanya perempuan miskin yang dipukuli.
Realitas: Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua kalangan dan kelas
sosial. Korban kekerasan yang kebanyakan perempuan tak hanya perempuan putus
sekolah, namun juga berpendidikan tinggi, ibu rumah tangga, hingga pekerja di
perkotaan. Kekerasan yang dialami perempuan dari kelas sosial atas seringkali
disembunyikan atau tersembunyi. Karena pihak perempuan akan mengalami banyak
kehilangan jika membuka situasi yang dialaminya.
4. Mitos: Pihak perempuan yang memprovokasi sehingga pantas memperoleh
perlakuan kekerasan.
Realitas: Tidak ada seorangpun yang pantas dipukuli. Provokasi hanyalah
sekadar alasan dari pelaku untuk melepaskan diri dari tanggungjawab
tindakannya. Pandangan ini hanya mencari kesalahan korban. Jika pelaku
dibenarkan tindakannya dan dimaklumi, kekerasan akan terus meningkat dan
membuat kekerasan menjadi metode penyelesaian masalah yang dapat diterima.
Pelaku lantas semakin yakin bahwa ia boleh dan berhak menggunakan kekerasan.
5.
Mitos: Jika perempuan terganggu oleh kekerasan, harusnya bicara tak hanya
diam.
Realitas: Korban kekerasan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka percaya
bahwa mereka dan orang-orang yang dicintai, termasuk anak-anak, akan berada
dalam risiko besar jika berbicara tentang kejadian yang dialami. Korban juga
sangat malu membicarakannya dan berpikir kekerasan terjadi karena kesalahan
perempuan sendiri. Posisi perempuan semakin rentan karena mereka kerapkali
pasif dan penurut, karena peran yang dibentuk sejak lama yang dilabelkan pada
perempuan.
Selain mitos-mitos diatas yang
mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, ternyata masih banyak
juga penyebab-penyebab lainnya yang berperan. Karena kasus ini merupakan
fenomena luas yang terjadi dimasyarakat, maka kita tidak bisa menentukan mana
faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kekerasan itu sendiri. karena
pada kenyataannya, faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Kekerasan itu sendiri menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perbuatan seseorang atau kelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain. ditinjau dari sisi ilmu psikologi,
kekerasan tersebut merupakan manifestasi dari agresi. Agresi itu sendiri juga
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara teoritis, ada beberapa teori yang
dapat menjelaskan mengapa agresi itu bisa terjadi. Tetapi jika dijelaskan
satu-persatu, tentunya akan memakan waktu yang banyak.
Ada beberapa teori yang dapat
menjelaskan mengapa hingga munculnya agresi dalam diri seseorang, yang
dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan. Agresi itu sendiri merupakan tindakan
melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/intitusi lain
yang sejatinya disengaja (Sarwono, 2009).
Dalam buku Psikologi Sosial, S.Sarwono menjelaskan tentang beberapa penyebab
agresi. Dimulai dari perspektif biologi. Penelitian menunjukan bahwa hormon
androgen dan testosterone memiliki peranan dalam perilaku agresi dan sering
dihubungkan dengan tema kekerasan. Dan secara kebetulan, kedua hormon tersebut
dimiliki oleh pria. Selanjutnya ada bagian dari otak juga yang terkait dengan
tingkah laku agresi yaitu hipotalamus, yang merupakan bagian kecil dari otak
yang terletak dibawah otak, yang berfungsi untuk menjaga homeostatis serta
membentuk tingkah laku vital.
Kemudian ada juga perspektif
sosial. Teori belajar sosial percaya bahwa agresivitas merupakan tingkah laku
yang dipelajari. Hal ini dikemukakan oleh Albert Bandura lewat teori belajar
sosial yang dikembangkannya. Bandura meyakini bahwa perilaku agresi merupakan
tingkah laku yang rumit dan tidak alami. Orang dapat mempelajari perilaku
agresi tidak hanya dari orang tuanya ataupun lingkungan sosialnya. Agresi ini
dipelajari lewat modeling atau
meniru. Teori frustasi agresi yang dikembangkan oleh John Dollar dan Neil
Miller, dapat menjelaskan sedikit banyak, mengapa sampai orang melakukan
agresi. Teori ini mengatakan bahwa karena tidak tercapainya keinginan
menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kemudian berujung pada frustasi. Kondisi
frustasi ini pada umumnya menimbulkan kemarahan dan dapat berujung pada
perilaku agresi.
Kemudian
ada juga perspektif gender yang kurang lebih dapat menjelaskan mengapa orang
melakukan agresi . Gender stereotipe tradisional percaya bahwa kewanitaan yang
sebenarnya haruslah saleh/alim, suci, bersikap tunduk, dan berada dirumah.
Sedangkan bagi pria, stereotipe tradisional percaya bahwa identitas peran pria
sebenarnya tidaklah kewanita-wanitaan, memegang kendali, kokoh, dan garang
(Brannon, 2011). Stereotipe inilah yang membentuk pria dan wanita dan
membedakannya. Oleh karena itu seringkali muncul penindasan terhadap wanita,
karena pria percaya bahwa dirinya yang seharusnya berkuasa dan mengontrol
wanita, karena wanita adalah sosok yang lemah dan dependen. Selanjutnya ada teori evolutionary
yang berpendapat bahwa sebenarnya pria menjadi agresi karena tugas-tugas
atau tantangan yang harus dihadapinya sejak dulu kala. Pada jaman prasejarah,
pria ditempatkan pada tugas yang menuntut agresivitas seperti berburu, dan
melindungi anggota kelompok. Sedangkan wanita hanya bertugas untuk berada
didalam kelompok, menjaga anak, serta bercocok tanam, yang lebih bersifat
pasif. Hal ini yang mungkin dapat menjadi faktor penyebab munculnya agresi pada
pria dan sifat pasif pada wanita (Brannon, 2011).
Psikologi individual yang
dikemukakan oleh Alfred Adler, menyatakan bahwa setiap manusia memiliki rasa
inferioritas dalam dirinya, yang merupakan rasa ketidakmampuan dan
ketidakberdayaan (Suryabrata, 2008). Dalam dinamikanya, manusia berusaha untuk
mencapai superioritas yang merupakan kesempurnaan atau kemajuan. Untuk mencapai
hal itu, manusia melakukan kompensasi untuk mengarah kepada superioritas.
Kompensasi disini bisa bersifat negative ataupun positif. Orang yang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga mungkin mengalami inferioritas dikarenakan dirinya
tidak cukup mampu untuk membiayai keluarganya, merasa tidak cukup baik untuk
keluarganya dan lain sebagainya. Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya pada
umumnya orang yang melakukan agresi cenderung memiliki self esteem yang rendah. Untuk menuju kearah superioritas, seperti
yang dikatakan oleh Adler, orang tersebut akan melakukan kompensasi, dengan
cara melakukan agresi agar korban dapat tunduk terhadap dirinya. Dengan begitu
maka dia akan merasa dapat mencapai superioritasnya.
Teori-teori yang diatas kurang lebih
dapat menjelaskan mengapa orang bisa melakukan kekerasan. Selanjutnya jika kita
melihat dari sisi korban, mengapa sampai mereka bisa tetap bertahan dalam
hubungan pernikahan yang diwarnai dengan kekerasan? Ada beberapa alasan yang
menyebabkan para korban memilih untuk stay,
yaitu diantaranya adalah komitmen perkawinan, cinta, tanggung jawab secara
moral, hingga pada komitmen struktural. Menurut Walker dan Gelles (dalam Frederick & Foreman,
1984) mengatakan bahwa KDRT cenderung mengikuti alur sebuah siklus atau
lingkaran kekerasan berulang terhadap istri (cycle of violence).
Inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengapa masih banyak kasus KDRT yang
tidak dilaporkan. Siklus kekerasan tersebut adalah: (i) fase ketegangan;
(ii) fase penganiayaan; dan (iii) fase bulan madu. Ketiga fase ini membentuk
siklus sedemikian rupa.
Fase
ketegangan dimulai dari dilakukannya verbal
abuse oleh si pelaku dan korban biasanya mencoba mengontrol situasi dengan
berusaha menyenangkan hati si pelaku. Tapi usaha korban bisa terbilang sia-sia
dan ketika tekanan mulai bertambah, dia akan berpindah pada fase penganiayaan.
Pada fase ini, kekerasan fisik sudah terjadi. Hal ini biasanya dipicu oleh
kejadian-kejadian eksternal yang mengganggu keadaan emosi si pelaku. Situasi di
fase ini berada dibawah kontrol korban dan tidak dapat diprediksi. Biasanya, setelah menganiaya istri maka
suami akan merasa menyesal, menghibah, memohon maaf. Selanjutnya, istri akan
luluh dengan hibahan suami. Keadaan terakhir ini dikenal dengan fase bulan
madu, ketika relasi kembali rukun. Fase terakhir tersebut adalah fase yang
krusial karena dari banyak penelitian, setelah fase bulan madu berakhir, siklus
kekerasan cenderung terulang lagi. Dikatakan, sekali melakukan kekerasan,
cenderung terulang kembali dan membentuk siklus sedemikian rupa. Siklus ini
yang perlu dipintas dan diantisipasi.
Berdasarkan
dari berbagai teori dan data yang menjelaskan mengenai KDRT maka jelas saja
bahwa kasus ini masih perlu perhatian publik karena pada kenyataannya masih
banyak orang-orang yang meringkuk dibawah bayang-bayang kekerasan. Kasus perlu
diberantas sampai pada akar-akarnya agar dikemudian hari tidak terdengar lagi
kabar bahwa ada seorang wanita yang tewas ditangan suaminya sendiri, atau ada
anak yang disiksa oleh ibu kandungnya sendiri. mendengar hal itu saja tentunya
bisa membuat miris. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mencoba untuk
mengantisipasi sedini mungkin kasus-kasus kekerasan ini sedini mungkin,
menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya agar dikemudian hari tidak terjadi
lagi hal yang demikian. STOP KDRT!
Disadur
dari berbagai sumber.
DAFTAR
PUSTAKA
Brannon, Linda. 2011. Gender, Psychological Perspectives. 6th
ed. Boston; Pearson Education, Inc.
Sarwono, S.W. dan E.A Meinarno. 2009. Psikologi Sosial.
Jakarta; Salemba Humanika.
Suryabrata, Sumardi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta;
Rajawali Pers.
(Penulis adalah Mahasiswa Prodi Psikologi UBM angkatan 2010)
FOBIA By Dwi Swastika
FOBIA
: APA YANG SALAH DENGAN PIKIRAN ANDA?
Jika
dari jarak 50 meter anda melihat seekor binatang, yang secara perlahan
diam-diam mendekat. Matanya mengintai diam-diam sambil mempercepat langkahnya.
Anda mungkin akan berkata pada diri anda sendiri untuk tetap tenang, tidak ada
yang perlu ditakutkan. Tetapi tiba-tiba ketakutan menyergap anda dan membuat
anda ketakutan setengah mati. Anda menjadi kesulitan bernapas dan kaki anda
terasa lembek seperti jeli. Jantung anda akan berdegup tak beraturan dan bibir
anda akan menjadi kaku. Keringat membanjiri telapak tangan anda. Anda mencoba
untuk melawannya tapi kaki anda tidak bisa diajak bekerja sama!
Hewan
sebuas apakah yang membuat anda ketakutan setengah mati, hingga membuat kaki
anda menjadi lemas? Seorang pria pemakan harimau yang kelaparan? Seekor singa
yang melindungi hasil buruannya? Bukan. Itu adalah seekor kucing biasa yang tak
sengaja berjalan kearah anda. Konyol bukan? Bagaimana bisa seseorang bisa
mengalami ketakutan sedemikian rupa hanya karena seekor kucing? Jika anda
adalah seorang dari sekian ribu orang yang menderita galeophobia, yaitu
ketakutan terhadap kucing, atau fobia lainnya, situasi tersebut dapat anda
alami dan mungkin sering terjadi. Situasi dan perasaan takut itu dapat menjadi
hal mungkin terjadi.
Ketakutan yang tidak
biasa
Fobia
adalah ketakutan yang kuat dan tidak realistis terhadap objek, kejadian, atau
perasaan. Rata-rata 18 persen dari warga AS menderita beberapa jenis fobia dan
seseorang dapat mengembangkan fobia dari berbagai hal, seperti elevator, tempat
terbuka, tempat tertutup, jam, hingga pada jamur. Gejalanya dapat dimulai
dengan sesak nafas, jantung yang berdebar dengan cepat, serta telapak tangan
yang berkeringat. Ada tiga tipe dari fobia itu sendiri yaitu :
-
Spesifik atau simple
fobia ialah ketakutan pada objek atau situasi tertentu seperti laba-laba,
ketinggian, terbang, dan lain sebagainya.
-
Sosial fobia ialah
merasa malu atau dipermalukan dalam situasi sosial.
-
Agoraphobia ialah
ketakutan berada jauh dari tempat yang dirasanya aman.
Tidak
ada satupun yang tahu bagaimana fobia itu berkembang. Seringkali tidak ada
penjelasan yang pasti mengapa sampai munculnya ketakutan tersebut. Dalam
banyak, orang seringkali akan sulit mengidentifikasi kejadian yang mungkin
menjadi penyebab dari fobia itu sendiri, contohnya saja dikejar anjing. Ini
menjadi teka-teki besar, mengapa seseorang bisa mengalami fobia sedangkan yang
lain tidak, meskipun mengalami kejadian yang sama. Banyak psikolog yang percaya
bahwa penyebabnya terletak pada kombinasi dari predisposisi genetik bercampur
dengan lingkungan dan penyebab sosial.
Gangguan
fobia diklasifikasikan sebagai bagian dari anxiety
disorder, yang didalamnya juga termasuk panic
disorder, post-traumatic stress disorder, dan obsessive compulsive disorder. Beberapa obat-obatan yang berkaitan
dengan Food and Drug administrasion
sekarang digunakan untuk menangani fobia dan gangguan kecemasan lainnya.
Anjing, ular, dokter
gigi…
Seseorang
dapat mengembangkan spesifik fobia dari apa saja, tapi kasus fobia itu sendiri
terdiri dari banyak jenis dan memiliki nama. Fobia terhadap hewan misalnya.
Contohnya saja cynophobia (takut
terhadap anjing), equinophobia (takut
terhadap kuda), dan zoophobia (takut
pada semua hewan), rata-rata adalah fobia yang biasa. Demikian juga dengan arachnophobia (takut pada laba-laba), ophidiophobia (takut terhadap ular), pterycophobia (takut terbang), acrophobia (takut pada ketinggian),
hingga pada claustrophobia (takut
pada tempat sempit). Namun yang paling biasa ditemui juga adalah odontiatophobia atau takut kepada dokter
gigi. Orang dengan fobia ini, akan lebih memilih untuk membiarkan gigi mereka
rusak ketimbang untuk pergi mengunjungi dokter gigi.
Spesifik
fobia pada umumnya tidak mengganggu kehidupan seseorang secara langsung, dan
ironisnya inilah yang membuat para penderita fobia enggan untuk mencari
pertolongan dari profesional. Mereka akan memilih jalan untuk menghindari
apapun yang dapat membuat mereka panik, atau mereka akan sedikit menahan
distress yang mereka rasakan ketika menghadapi hal yang ditakuti tersebut.
beberapa orang mungkin akan berkonsultasi dengan dokter, meminta obat-obatan
yang dapat menolong mereka mengatasi ketakutannya, seperti harus melakukan
perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang sedangkan disisi lain dia fobia
terbang.
Resep
obat untuk jangka pendek termasuk salah satunya adalah obat anti-cemas benzodiazepine. Xanax (alprazolam) dan Valium
(diazepam) termasuk juga pengobatan yang disepakati untuk penanganan anxiety disorder. Beta-bloker seperti Inderal (propranolol) dan Ternomin (atenolol), berguna untuk
mengontrol tekanan darah tinggi dan beberapa masalah jantung, dan diketahui
dapat membantu dalam situasi cemas sebelum tampil, seperti berbicara didepan
banyak orang.
Beberapa
fobia dapat menyebabkan masalah yang signifikan yang berlangsung jangka panjang
dan membutuhkan bantuan professional. Orang-orang akan cenderung mencari
pertolongan ketika fobia mereka tersebut berkemungkinan untuk mengganggu
kehidupan mereka. Seperti contohnya orang yang akan sering berpergian akan
mencari treatment untuk menyembuhkan
fobia terbangnya. Atau seorang wanita yang akan menikah dan berkeinginan
memiliki anak akan mencari pertolongan untuk mengatasi ketakutannya terhadap
darah.
Ketika
pengobatan anti-cemas mungkin sudah terlalu sering digunakan, penggunaan systematic desensitization sekiranya dapat
menjadi pendekatan yang lebih efektif. Secara teori, penanganan tanpa-obat
dapat lebih manjur ketimbang menggunakan obat itu sendiri, karena dapat secara
langsung menuntaskan kecemasan.
Pertama-tama,
terapis dan pasien mengurutkan situasi yang dianggap menimbulkan kecemasan
seperti sebuah hirarki, mulai dari yang kurang menakutkan hingga yang paling
menakutkan. Contohnya saja bagi orang yang takut ketinggian, dimulai dari
berada jarak dua meter diatas tanah.
Terapi
dimulai dengan pasien dan terapis mempraktekan kejadian atau situasi yang tidak
begitu menakutkan bagi pasien, mengatasi kecemasan tersebut hingga simptom
psikologis dari kecemasan tersebut menjadi berkurang. Tahap ini diulangi hingga
level kecemasan bisa diterima. Kemudian barulah pasien dapat maju ketahap
selanjutnya. Setiap tahap akan kembali diulangi hingga reaksi fisik dan mood
cemas menjadi berkurang atau dengan kata lain pasien bisa dapat lebih rileks.
Semua orang menatapku!
Sosial
fobia adalah gangguan kompleks yang ditandai dengan ketakutan untuk dikritik
atau dipermalukan didepan umum dalam situasi sosial. Terdapat dua tipe dari
sosial fobia yaitu tipe terbatas, yang berkaitang dengan situasi yang spesifik
seperti ‘demam panggung’, dan tipe umum dari sosial fobia yang termasuk
diantaranya berbagai jenis situasi sosial.
Penderita
sosial fobia akan takut menjadi pusat perhatian dari orang lain. mereka akan
cenderung sensitif terhadap kritikan dan cenderung mengasumsikan tindakan orang
lain kepada mereka bertujuan untuk mempermalukan mereka. Mereka takut untuk
masuk dalam sebuah percakapan, takut mengatakan sebuah lelucon, dan mungkin
merasa menderita sekali berjam-jam ataupun berhari-hari kemudian setelah
mengatakan sesuatu (yang menurut memalukan). Banyak orang dengan sosial fobia
akan sangat susah untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mereka akan cenderung
menghindari tempat-tempat umum, makan ditempat-tempat ramai, dan bahkan tidak
ingin menggunakan toilet umum. Sosial fobia sering diasosiasikan dengan depresi
dan alcohol abuse.
Kelainan
neurontransmitter-reseptor pada otak dicurigai memiliki peran dalam
berkembangnya sosial fobia. Neurontransmitter adalah substansi seperti
norepinephiren, dopamine, dan serotonin yang dilepaskan diotak. Substansi
tersebut menghambat atau memicu target sel. Kelainan neurontransmitter ini
seringkali dikaitkan dengan beberapa jenis gangguan psikiatris.
Pengalaman
sosial yang negatif, seperti ditolak oleh teman sepermainan atau mengalami rasa
malu yang amat sangat ketika sedang berada ditempat umum, dan kurangnya
kemampuan sosial, mungkin dapat menjadi faktor penyebab. Sosial fobia mungkin
disebabkan oleh rendahnya self-esteem, kurang asertif, dan perasaan inferior.
Treatment
yang dapat dilakukan diantaranya adalah cognitive
behavior therapy (CBT) dan penggunaan obat, meskipun penggunaan obat saat
ini cukup sulit diterapkan pada penderita sosial fobia. Sebagai tambahan, untuk
obat anti-cemas dan beta bloker, pengobatannya mungkin termasuk monoamine oxidase (MAO) inhibitor
antidepresan Nardil (phenelzine) dan Parnate (tranycypromine), serta serotonin specific reuptake inhibitors (SSRIs) seperti Prozac (fluoxetime), Paxil
(paroxetine), Zoloft (sertraline),
dan Luvox (fluvoxamine). Penggunaan
SSRIs dengan terapi perilaku menjadi popular bagi penanganan sosial fobia.
Karena mereka memiliki sedikit efek samping dari obat dan tidak berpotensi
untuk menimbulkan kecanduan. Dan obat antidepresan tersebut dapat juga membantu
pasien dengan depresi karena sosial fobia tersebut.
Luasnya sebuah tempat
terbuka
Agoraphobia
berasal dari kata Yunani yang secara literatur berarti “ketakutan pada pasar”.
Tapi seringkali didefinisikan sebagai takut terhadap tempat terbuka. Agoraphobia
identik dengan panic disorder, dan
pada banyak kasus, agoraphobia berkaitan langsung dengan ketakutan untuk
mengalami serangan panik ditempat umum.
Seseorang
dengan panic disorder dapat mengalami
serangan panik secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Serangan tersebut
dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Pada menit pertama, semuanya terlihat
baik-baik saja. Tapi selanjutnya seseorang bisa dilanda perasaan ketakutan atau
rasa ngeri. Jantung berdebar dengan kencang, nafas terasa sesak, serta seluruh
tubuh menjadi gemetar. Serangan tersebut mungkin hanya terjadi beberapa menit
saja, namun pengalaman tersebut dapat membekas dengan jelas, dan itu dapat
menyebabkan akan cenderung antipati terhadap serangan lain yang mungkin akan
muncul.
Orang-orang
dengan agoraphobia akan menghindari tempat-tempat dan situasi dimana mereka
akan merasa sulit untuk melarikan diri manakala serangan itu muncul. Hal ini
berlaku dimana saja, di tempat perbelanjaan, di kantor, dan lain sebagainya. Ketika
ketakutan akan munculnya serangan itu makin bertambah, maka semakin sempit juga
ruang gerak dari penderita agoraphobia. Mereka benar-benar hanya akan berada
ditempat-tempat yang menurutnya aman. Dan pada kasus yang berat, hanya terbatas
pada rumah saja.
Agoraphobia
merupakan fobia yang paling tidak stabil dan sulit penanganannya karena
melibatkan banyak ketakutan. Sama dengan sosial fobia, treatment yang digunakan
termasuk behavioral therapy yang
dikombinasikan dengan obat anti-cemas atau antidepresan, ataupun keduanya.
Fobia
atau ketakutan terhadap hal-hal tertentu mungkin akan terdengar konyol bagi
sebagian orang, tapi tidak bagi orang-orang yang menderita fobia tersebut.
Cobalah untuk memahami orang lain dan juga diri sendiri.
Dikutip
dari artikel “ Fighting Phobias: The Things That Go Bump In The Mind” oleh
Lynne L.Hall dengan sedikit gubahan.
(Penulis adalah mahasiswa Prodi Psikologi UBM angkatan 2010)
Subscribe to:
Posts (Atom)
Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?
Edisi Oktober 2024 Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental? Penulis: Gabriella Jocelyn & V...
-
American Psychological Association atau yang biasa sering kita dengar dengan sebutan APA tentunya tidak asing lagi terutama bagi mereka y...
-
Ketika mewawancarai calon karyawan untuk suatu posisi tertentu, teknis suatu pekerjaan kadang menjadi masalah. Kita ambil contoh ketika kit...
-
Saat ini, kita hidup dalam era global ekonomi persaingan dengan negara-negara lain sangat ketat. Setiap negara di dunia, sekarang ini mempu...