Sunday, February 17, 2013

SPIRITUALITY AT WORK

Pada hari Rabu, 13 Februari 2013, Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia merasa terhormat karena kedatangan seorang pembicara yang inspiratif yaitu Dr. Nilam Widyarini, Psikolog. Dalam semiloka dosen Prodi Psikologi tersebut Ibu Nilam memberikan kita pencerahan mengenai pentinnya spiritualitas dalam bekerja. Bagaimana kita bisa menikmati pekerjaan kita sebagai flow, menyikapi positif berbagai hal yang terjadi. Namun tentu saja untuk menciptakan spiritualitas tersebut semua pihak dari manajemen sampai karyawan harus bekerja sama dan memang sudah menyepakati hal tersebut.

Semoga ini bisa menjadi inspirasi buat kita yang kadang merasa kecewa, putus asa, lelah.... Semoga bisa melalui berbagai hambatan, perform, dan semakin mencintai pekerjaan kita


Regards,

PRODI PSIKOLOGI



Untuk pertanyaan seputar spirituality at work bisa disampaikan di blog ini...

DISKUSI ILMIAH PSIKOLOGI SOSIAL Semester gena 2013

Untuk semester genap 2013, diskusi ilmiah akan banyak dialokasikan di kelas psikologi sosial. Semoga hal ini terus berlanjut sehingga suasana akademik kita semakin kental.


Untuk diskusi sebelumnya mengenai transgender, Transeksual... terima kasih pada mahasiswa yang mau terlibat.... karena hal ini merupakan awal dari critical thingking.... semoga peminatnya bertambah terus... dan kalau ada usulan topik mohon di post yah...

See you soon...

Pelatihan Riset Indigenous Psychology

Pada tanggal 7-9 Februari 2013 beberapa dosen dari Prodi Psikologi Universitas Bunda mulia terlibat dalam pelatihan riset yang diadakan Fakultas Psikologi YARSI, dengan pembicara Ibu Kwartarini, Phd, dari pusat riset indigineous psychology Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Mbak bo (nama panggilan beliau) membuka mata dan menambah wawasan kami mengenai riset dalam bidang psikologi, dan bagaimana sudatu riset diarahkan untuk melihat kepada keunikan dari populasi, dan tidak hanya mencocokkan dengan teori yang suda ada semata. Semoga bisa berguna bagi para dosen dan periset.

Bagi kalian yang tertarik, sharing mengenai riset ini akan diadakan di angkatan 2009 yang akan mengambil skripsi. Semoga bisa bermanfaat.

Regards,

PRODI PSIKOLOGI

PRODI PSIKOLOGI UBM TERAKREDITASI

Selamat kepada Civitas Akademika Universitas Bunda Mulia, Khususnya Prodi Psikologi karena status kita sudah terakreditasi. Semoga hasil akreditasi ini bisa menjadi refleksi semua pihak untuk kedepannya dapat memperbaiki diri. Untuk para mahasiswa, tetap semangat karena kalian adalah representasi UBM di masyarakat dan dunia kerja. Jangan mudah menyerah dan mengeluh saja. Buktikan bahwa kalian bisa menjadi bintang di masyarakat.

Terima kasih pada semua pihak yang membantu dalam proses ini, para assessor yang memberikan kami masukan berarti dan kesempatan untuk berkembang (prof. Suryanto dari Unair dan  Robert Rajaguguk,PHd dari Maranatha), para alumni, karyawan, mahasiswa, dosen, pengguna lulusan, dan semua yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu... Kita akan lebih baik lagi!

Proviciat dan concentro et proficio


PRODI PSIKOLOGI


KDRT by Dwi Swastika


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA : ADA APA DIBALIK KDRT?
Kekerasan dalam rumah tangga saat ini menjadi momok yang cukup menakutkan bagi siapapun yang ingin ataupun sudah berkeluarga. Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi nantinya. Siapapun tidak menginginkan jika kehidupan rumah tangganya menjadi tidak bahagia, diwarnai dengan cekcok dan kekerasan. Namun pada kenyataannya, masih ada saja kasus kekerassan yang terjadi, terutama di Indonesia
KDRT menurut hukum
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan rumah tangga yang pada umumnya kita tahu dilakukan oleh pria kepada wanita. Namun pada kenyataan tidaklah demikian. Ternyata kekerasan dalam rumah tangga dapat juga dilakukan oleh wanita kepada pria, namun sifatnya lebih pada verbal abuse.
KDRT itu sendiri bisa juga terbagi lagi menjadi 4 bentuk kekerasan yaitu diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, hingga kekerasan ekonomi (Wikipedia, 2012). Kekerasan fisik itu sendiri terbagi lagi menjadi kekerasan fisik berat dan ringan. Kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat yang dapat menyebabkan cidera berat hingga pada kematian. Sedangkan kekerasan fisik ringan hanya berupa penganiayaan yang dapat menyebabkan cidera ringan saja. Selanjutnya ada kekerasan psikis, yang juga terbagi menjadi dua yaitu kekerasan psikis berat dan kekerasan psikis ringan. Kekerasan psikis berat diantaranya berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat, seperti gangguan tidur, stress, depresi, hingga berujung pada bunuh diri. Sedangkan kekerasan psikis ringan berupa tindakan pengendalian, eksploitasi, ancaman yang dapat berujung pada penderitaan psikis ringan seperti ketakutan, rasa tidak berdaya, hingga pada fobia. Kekerasan secara seksual juga terbagi lagi menjadi dua yaitu kekerasan seksual berat dan kekerasan seksual ringan. Kekerasan seksual berat bisa terdiri dari pelecehan seksual dengan kontak fisik, pemaksaan hubungan seksual, hingga pada tindakan seksual dengan kekerasan yang dapat menyebabkan luka tau cidera. Sedangkan kekerasan seksual ringan bisa berupa tindakan pelecehan seksual secara verbal. Bentuk KDRT yang terakhir adalah kekerasan ekonomi, yang terbagi menjadi dua yaitu kekerasan ekonomi berat dan kekerasan ekonomi ringan. Kekerasan ekonomi berat bisa berupa tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi yang dapat dilakukan dengan memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif, melarang korban bekerja tapi menelantarkannya, hingga pada mencuri dan merampas harta benda milik korban. Untuk kekerasan ekonomi ringan berupa melakukan tindakan-tindakan secara sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut data dari catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan (Catahu KtP) tahun 2010 yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, dari 105.103 kasus yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan, 101.128-nya terjadi di ranah personal. Kasus kekerasan terhadap istri masih paling banyak, yaitu 98.577 kasus. Selebihnya, terdapat 1.299 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Berdasarkan data yang ada, perempuan Indonesia cenderung akan memilih perceraian sebagai jalan keluar dari kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut sumber dari berita Antara, kasus KDRT di Indonesia rata-rata terjadi 311 kasus setiap harinya. Data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2011 angka kasus KDRT adalah 113.878 kasus atau 95,71 persen, artinya ini terjadi sekitar 311 kasus per harinya. dan berdasarkan data catatan tahunan Komnas Perempuan sejak 2001, kasus KDRT selalu menajdi kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi.
Mengapa KDRT masih ada?
Mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga ini masih saja terjadi? Sebenarnya pengetahuan tentang KDRT itu dimasyarakat luas masih belum merata penyebarannya. Masih banyak yang menganggap bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendisiplinkan korban. Faktor budaya dan agama juga memiliki pengaruh dalam hal ini. Akibatnya, masih banyak kasus-kasus KDRT yang tidak terselesaikan atau hanya tersembunyi begitu saja. Nanti ketika kekerasan yang dilakukan sudah semakin parah, barulah korban tunggang langgang mencari pertolongan. Kurangnya pemahaman tentang hukum juga makin memperlambat penanganan kasus KDRT.
Dibalik KDRT itu sendiri, ternyata ada juga mitos-mitos yang berkembang yang seringkali masih kita percayai. Mitos-mitos ini seringkali masih dipercayai keberadaannya. Mitos-mitos inilah yang seringkali menyebabkan masih terjadinya kekerasan itu sendiri. menurut artikel yang disadur dari surat kabar harian Kompas yang berjudul “5 Mitos Terjadinya KDRT”, menyatakan  bahwa KDRT masih berlanjut hingga saat ini karena masyarakat masih mempercayai bahwa KDRT merupakan masalah pribadi yang wajar terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Hal inilah yang menciptakan mitos-mitos tidak benar yang masih dipercayai hingga saat ini. Mitos ini menjadi semacam “tradisi” yang pasti selalu ada dalam kehidupan berumah tangga tatkala terjadi konflik, baik itu bersifat besar ataupun kecil. Debora Sinclair dalam bukunya Memberdayakan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga/Hubungan Intim, merumuskan sejumlah mitos yang membuat pelaku kekerasan dimaafkan dan dibebaskan begitu saja, diantaranya adalah :
1.     Mitos: Lelaki pelaku kekerasan memiliki penyakit mental.
Realitas: Jika lelaki benar-benar sakit mental, dia tidak memiliki kemampuan untuk memilih sasaran atau mengendalikan pola perilaku kekerasan. Sementara yang terjadi dalam KDRT, sebagian besar lelaki yang melakukan kekerasan akan menyembunyikan tindakan di dalam rumah. Serangan diarahkan ke bagian yang tidak terlihat bekasnya. Artinya pelaku sudah memiliki perencanaan dan pemikiran tentang pola kekerasannya. Suami pelaku KDRT juga tidak akan menyerang orang lain, misalnya teman kerja, bila mengatami frustrasi dan hanya menyasar istrinya di rumah.
2.     Mitos: Alkohol menyebabkan lelaki memukul pasangannya.
Realitas: Alkohol memfasilitasi penggunaan kekuatan fisik dengan memungkinkan pelaku melepaskan tanggungjawab perilakunya pada hal lain, dalam hal ini alkohol.
3.     Mitos: Hanya perempuan miskin yang dipukuli.
Realitas: Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua kalangan dan kelas sosial. Korban kekerasan yang kebanyakan perempuan tak hanya perempuan putus sekolah, namun juga berpendidikan tinggi, ibu rumah tangga, hingga pekerja di perkotaan. Kekerasan yang dialami perempuan dari kelas sosial atas seringkali disembunyikan atau tersembunyi. Karena pihak perempuan akan mengalami banyak kehilangan jika membuka situasi yang dialaminya.
4.     Mitos: Pihak perempuan yang memprovokasi sehingga pantas memperoleh perlakuan kekerasan.
Realitas: Tidak ada seorangpun yang pantas dipukuli. Provokasi hanyalah sekadar alasan dari pelaku untuk melepaskan diri dari tanggungjawab tindakannya. Pandangan ini hanya mencari kesalahan korban. Jika pelaku dibenarkan tindakannya dan dimaklumi, kekerasan akan terus meningkat dan membuat kekerasan menjadi metode penyelesaian masalah yang dapat diterima. Pelaku lantas semakin yakin bahwa ia boleh dan berhak menggunakan kekerasan.
5.     Mitos: Jika perempuan terganggu oleh kekerasan, harusnya bicara tak hanya diam.
Realitas: Korban kekerasan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka percaya bahwa mereka dan orang-orang yang dicintai, termasuk anak-anak, akan berada dalam risiko besar jika berbicara tentang kejadian yang dialami. Korban juga sangat malu membicarakannya dan berpikir kekerasan terjadi karena kesalahan perempuan sendiri. Posisi perempuan semakin rentan karena mereka kerapkali pasif dan penurut, karena peran yang dibentuk sejak lama yang dilabelkan pada perempuan. 
Selain mitos-mitos diatas yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, ternyata masih banyak juga penyebab-penyebab lainnya yang berperan. Karena kasus ini merupakan fenomena luas yang terjadi dimasyarakat, maka kita tidak bisa menentukan mana faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kekerasan itu sendiri. karena pada kenyataannya, faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Kekerasan itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. ditinjau dari sisi ilmu psikologi, kekerasan tersebut merupakan manifestasi dari agresi. Agresi itu sendiri juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara teoritis, ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengapa agresi itu bisa terjadi. Tetapi jika dijelaskan satu-persatu, tentunya akan memakan waktu yang banyak.
Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengapa hingga munculnya agresi dalam diri seseorang, yang dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan. Agresi itu sendiri merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/intitusi lain yang sejatinya disengaja (Sarwono, 2009).
Dalam buku Psikologi Sosial, S.Sarwono menjelaskan tentang beberapa penyebab agresi. Dimulai dari perspektif biologi. Penelitian menunjukan bahwa hormon androgen dan testosterone memiliki peranan dalam perilaku agresi dan sering dihubungkan dengan tema kekerasan. Dan secara kebetulan, kedua hormon tersebut dimiliki oleh pria. Selanjutnya ada bagian dari otak juga yang terkait dengan tingkah laku agresi yaitu hipotalamus, yang merupakan bagian kecil dari otak yang terletak dibawah otak, yang berfungsi untuk menjaga homeostatis serta membentuk tingkah laku vital.
Kemudian ada juga perspektif sosial. Teori belajar sosial percaya bahwa agresivitas merupakan tingkah laku yang dipelajari. Hal ini dikemukakan oleh Albert Bandura lewat teori belajar sosial yang dikembangkannya. Bandura meyakini bahwa perilaku agresi merupakan tingkah laku yang rumit dan tidak alami. Orang dapat mempelajari perilaku agresi tidak hanya dari orang tuanya ataupun lingkungan sosialnya. Agresi ini dipelajari lewat modeling atau meniru. Teori frustasi agresi yang dikembangkan oleh John Dollar dan Neil Miller, dapat menjelaskan sedikit banyak, mengapa sampai orang melakukan agresi. Teori ini mengatakan bahwa karena tidak tercapainya keinginan menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kemudian berujung pada frustasi. Kondisi frustasi ini pada umumnya menimbulkan kemarahan dan dapat berujung pada perilaku agresi.
Kemudian ada juga perspektif gender yang kurang lebih dapat menjelaskan mengapa orang melakukan agresi . Gender stereotipe tradisional percaya bahwa kewanitaan yang sebenarnya haruslah saleh/alim, suci, bersikap tunduk, dan berada dirumah. Sedangkan bagi pria, stereotipe tradisional percaya bahwa identitas peran pria sebenarnya tidaklah kewanita-wanitaan, memegang kendali, kokoh, dan garang (Brannon, 2011). Stereotipe inilah yang membentuk pria dan wanita dan membedakannya. Oleh karena itu seringkali muncul penindasan terhadap wanita, karena pria percaya bahwa dirinya yang seharusnya berkuasa dan mengontrol wanita, karena wanita adalah sosok yang lemah dan dependen. Selanjutnya  ada teori evolutionary yang berpendapat bahwa sebenarnya pria menjadi agresi karena tugas-tugas atau tantangan yang harus dihadapinya sejak dulu kala. Pada jaman prasejarah, pria ditempatkan pada tugas yang menuntut agresivitas seperti berburu, dan melindungi anggota kelompok. Sedangkan wanita hanya bertugas untuk berada didalam kelompok, menjaga anak, serta bercocok tanam, yang lebih bersifat pasif. Hal ini yang mungkin dapat menjadi faktor penyebab munculnya agresi pada pria dan sifat pasif pada wanita (Brannon, 2011).
Psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler, menyatakan bahwa setiap manusia memiliki rasa inferioritas dalam dirinya, yang merupakan rasa ketidakmampuan dan ketidakberdayaan (Suryabrata, 2008). Dalam dinamikanya, manusia berusaha untuk mencapai superioritas yang merupakan kesempurnaan atau kemajuan. Untuk mencapai hal itu, manusia melakukan kompensasi untuk mengarah kepada superioritas. Kompensasi disini bisa bersifat negative ataupun positif. Orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga mungkin mengalami inferioritas dikarenakan dirinya tidak cukup mampu untuk membiayai keluarganya, merasa tidak cukup baik untuk keluarganya dan lain sebagainya. Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya pada umumnya orang yang melakukan agresi cenderung memiliki self esteem yang rendah. Untuk menuju kearah superioritas, seperti yang dikatakan oleh Adler, orang tersebut akan melakukan kompensasi, dengan cara melakukan agresi agar korban dapat tunduk terhadap dirinya. Dengan begitu maka dia akan merasa dapat mencapai superioritasnya.
Teori-teori yang diatas kurang lebih dapat menjelaskan mengapa orang bisa melakukan kekerasan. Selanjutnya jika kita melihat dari sisi korban, mengapa sampai mereka bisa tetap bertahan dalam hubungan pernikahan yang diwarnai dengan kekerasan? Ada beberapa alasan yang menyebabkan para korban memilih untuk stay, yaitu diantaranya adalah komitmen perkawinan, cinta, tanggung jawab secara moral, hingga pada komitmen struktural. Menurut Walker dan Gelles (dalam Frederick & Foreman, 1984) mengatakan bahwa KDRT cenderung mengikuti alur sebuah siklus atau lingkaran kekerasan berulang terhadap istri (cycle of violence). Inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengapa masih banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan. Siklus kekerasan tersebut adalah: (i) fase ketegangan; (ii) fase penganiayaan; dan (iii) fase bulan madu. Ketiga fase ini membentuk siklus sedemikian rupa.
Fase ketegangan dimulai dari dilakukannya verbal abuse oleh si pelaku dan korban biasanya mencoba mengontrol situasi dengan berusaha menyenangkan hati si pelaku. Tapi usaha korban bisa terbilang sia-sia dan ketika tekanan mulai bertambah, dia akan berpindah pada fase penganiayaan. Pada fase ini, kekerasan fisik sudah terjadi. Hal ini biasanya dipicu oleh kejadian-kejadian eksternal yang mengganggu keadaan emosi si pelaku. Situasi di fase ini berada dibawah kontrol korban dan tidak dapat diprediksi. Biasanya, setelah menganiaya istri maka suami akan merasa menyesal, menghibah, memohon maaf. Selanjutnya, istri akan luluh dengan hibahan suami. Keadaan terakhir ini dikenal dengan fase bulan madu, ketika relasi kembali rukun. Fase terakhir tersebut adalah fase yang krusial karena dari banyak penelitian, setelah fase bulan madu berakhir, siklus kekerasan cenderung terulang lagi. Dikatakan, sekali melakukan kekerasan, cenderung terulang kembali dan membentuk siklus sedemikian rupa. Siklus ini yang perlu dipintas dan diantisipasi.
Berdasarkan dari berbagai teori dan data yang menjelaskan mengenai KDRT maka jelas saja bahwa kasus ini masih perlu perhatian publik karena pada kenyataannya masih banyak orang-orang yang meringkuk dibawah bayang-bayang kekerasan. Kasus perlu diberantas sampai pada akar-akarnya agar dikemudian hari tidak terdengar lagi kabar bahwa ada seorang wanita yang tewas ditangan suaminya sendiri, atau ada anak yang disiksa oleh ibu kandungnya sendiri. mendengar hal itu saja tentunya bisa membuat miris. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mencoba untuk mengantisipasi sedini mungkin kasus-kasus kekerasan ini sedini mungkin, menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya agar dikemudian hari tidak terjadi lagi hal yang demikian. STOP KDRT!


Disadur dari berbagai sumber.

DAFTAR PUSTAKA
Brannon, Linda. 2011. Gender, Psychological Perspectives. 6th ed. Boston; Pearson Education, Inc.
Sarwono, S.W. dan E.A Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta; Salemba Humanika.
Suryabrata, Sumardi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta; Rajawali Pers.

 (Penulis adalah Mahasiswa Prodi Psikologi UBM angkatan 2010)

FOBIA By Dwi Swastika


FOBIA : APA YANG SALAH DENGAN PIKIRAN ANDA?
Jika dari jarak 50 meter anda melihat seekor binatang, yang secara perlahan diam-diam mendekat. Matanya mengintai diam-diam sambil mempercepat langkahnya. Anda mungkin akan berkata pada diri anda sendiri untuk tetap tenang, tidak ada yang perlu ditakutkan. Tetapi tiba-tiba ketakutan menyergap anda dan membuat anda ketakutan setengah mati. Anda menjadi kesulitan bernapas dan kaki anda terasa lembek seperti jeli. Jantung anda akan berdegup tak beraturan dan bibir anda akan menjadi kaku. Keringat membanjiri telapak tangan anda. Anda mencoba untuk melawannya tapi kaki anda tidak bisa diajak bekerja sama!
Hewan sebuas apakah yang membuat anda ketakutan setengah mati, hingga membuat kaki anda menjadi lemas? Seorang pria pemakan harimau yang kelaparan? Seekor singa yang melindungi hasil buruannya? Bukan. Itu adalah seekor kucing biasa yang tak sengaja berjalan kearah anda. Konyol bukan? Bagaimana bisa seseorang bisa mengalami ketakutan sedemikian rupa hanya karena seekor kucing? Jika anda adalah seorang dari sekian ribu orang yang menderita galeophobia, yaitu ketakutan terhadap kucing, atau fobia lainnya, situasi tersebut dapat anda alami dan mungkin sering terjadi. Situasi dan perasaan takut itu dapat menjadi hal mungkin terjadi.
Ketakutan yang tidak biasa
Fobia adalah ketakutan yang kuat dan tidak realistis terhadap objek, kejadian, atau perasaan. Rata-rata 18 persen dari warga AS menderita beberapa jenis fobia dan seseorang dapat mengembangkan fobia dari berbagai hal, seperti elevator, tempat terbuka, tempat tertutup, jam, hingga pada jamur. Gejalanya dapat dimulai dengan sesak nafas, jantung yang berdebar dengan cepat, serta telapak tangan yang berkeringat. Ada tiga tipe dari fobia itu sendiri yaitu :
-          Spesifik atau simple fobia ialah ketakutan pada objek atau situasi tertentu seperti laba-laba, ketinggian, terbang, dan lain sebagainya.
-          Sosial fobia ialah merasa malu atau dipermalukan dalam situasi sosial.
-          Agoraphobia ialah ketakutan berada jauh dari tempat yang dirasanya aman.
Tidak ada satupun yang tahu bagaimana fobia itu berkembang. Seringkali tidak ada penjelasan yang pasti mengapa sampai munculnya ketakutan tersebut. Dalam banyak, orang seringkali akan sulit mengidentifikasi kejadian yang mungkin menjadi penyebab dari fobia itu sendiri, contohnya saja dikejar anjing. Ini menjadi teka-teki besar, mengapa seseorang bisa mengalami fobia sedangkan yang lain tidak, meskipun mengalami kejadian yang sama. Banyak psikolog yang percaya bahwa penyebabnya terletak pada kombinasi dari predisposisi genetik bercampur dengan lingkungan dan penyebab sosial.
Gangguan fobia diklasifikasikan sebagai bagian dari anxiety disorder, yang didalamnya juga termasuk panic disorder, post-traumatic stress disorder, dan obsessive compulsive disorder. Beberapa obat-obatan yang berkaitan dengan Food and Drug administrasion sekarang digunakan untuk menangani fobia dan gangguan kecemasan lainnya.
Anjing, ular, dokter gigi…
Seseorang dapat mengembangkan spesifik fobia dari apa saja, tapi kasus fobia itu sendiri terdiri dari banyak jenis dan memiliki nama. Fobia terhadap hewan misalnya. Contohnya saja cynophobia (takut terhadap anjing), equinophobia (takut terhadap kuda), dan zoophobia (takut pada semua hewan), rata-rata adalah fobia yang biasa. Demikian juga dengan arachnophobia (takut pada laba-laba), ophidiophobia (takut terhadap ular), pterycophobia (takut terbang), acrophobia (takut pada ketinggian), hingga pada claustrophobia (takut pada tempat sempit). Namun yang paling biasa ditemui juga adalah odontiatophobia atau takut kepada dokter gigi. Orang dengan fobia ini, akan lebih memilih untuk membiarkan gigi mereka rusak ketimbang untuk pergi mengunjungi dokter gigi.
Spesifik fobia pada umumnya tidak mengganggu kehidupan seseorang secara langsung, dan ironisnya inilah yang membuat para penderita fobia enggan untuk mencari pertolongan dari profesional. Mereka akan memilih jalan untuk menghindari apapun yang dapat membuat mereka panik, atau mereka akan sedikit menahan distress yang mereka rasakan ketika menghadapi hal yang ditakuti tersebut. beberapa orang mungkin akan berkonsultasi dengan dokter, meminta obat-obatan yang dapat menolong mereka mengatasi ketakutannya, seperti harus melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang sedangkan disisi lain dia fobia terbang.
Resep obat untuk jangka pendek termasuk salah satunya adalah obat anti-cemas benzodiazepine. Xanax (alprazolam) dan Valium (diazepam) termasuk juga pengobatan yang disepakati untuk penanganan anxiety disorder. Beta-bloker seperti Inderal (propranolol) dan Ternomin (atenolol), berguna untuk mengontrol tekanan darah tinggi dan beberapa masalah jantung, dan diketahui dapat membantu dalam situasi cemas sebelum tampil, seperti berbicara didepan banyak orang.
Beberapa fobia dapat menyebabkan masalah yang signifikan yang berlangsung jangka panjang dan membutuhkan bantuan professional. Orang-orang akan cenderung mencari pertolongan ketika fobia mereka tersebut berkemungkinan untuk mengganggu kehidupan mereka. Seperti contohnya orang yang akan sering berpergian akan mencari treatment untuk menyembuhkan fobia terbangnya. Atau seorang wanita yang akan menikah dan berkeinginan memiliki anak akan mencari pertolongan untuk mengatasi ketakutannya terhadap darah.
Ketika pengobatan anti-cemas mungkin sudah terlalu sering digunakan, penggunaan systematic desensitization sekiranya dapat menjadi pendekatan yang lebih efektif. Secara teori, penanganan tanpa-obat dapat lebih manjur ketimbang menggunakan obat itu sendiri, karena dapat secara langsung menuntaskan kecemasan.
Pertama-tama, terapis dan pasien mengurutkan situasi yang dianggap menimbulkan kecemasan seperti sebuah hirarki, mulai dari yang kurang menakutkan hingga yang paling menakutkan. Contohnya saja bagi orang yang takut ketinggian, dimulai dari berada jarak dua meter diatas tanah.
Terapi dimulai dengan pasien dan terapis mempraktekan kejadian atau situasi yang tidak begitu menakutkan bagi pasien, mengatasi kecemasan tersebut hingga simptom psikologis dari kecemasan tersebut menjadi berkurang. Tahap ini diulangi hingga level kecemasan bisa diterima. Kemudian barulah pasien dapat maju ketahap selanjutnya. Setiap tahap akan kembali diulangi hingga reaksi fisik dan mood cemas menjadi berkurang atau dengan kata lain pasien bisa dapat lebih rileks.
Semua orang menatapku!
Sosial fobia adalah gangguan kompleks yang ditandai dengan ketakutan untuk dikritik atau dipermalukan didepan umum dalam situasi sosial. Terdapat dua tipe dari sosial fobia yaitu tipe terbatas, yang berkaitang dengan situasi yang spesifik seperti ‘demam panggung’, dan tipe umum dari sosial fobia yang termasuk diantaranya berbagai jenis situasi sosial.
Penderita sosial fobia akan takut menjadi pusat perhatian dari orang lain. mereka akan cenderung sensitif terhadap kritikan dan cenderung mengasumsikan tindakan orang lain kepada mereka bertujuan untuk mempermalukan mereka. Mereka takut untuk masuk dalam sebuah percakapan, takut mengatakan sebuah lelucon, dan mungkin merasa menderita sekali berjam-jam ataupun berhari-hari kemudian setelah mengatakan sesuatu (yang menurut memalukan). Banyak orang dengan sosial fobia akan sangat susah untuk berkomunikasi dengan orang lain. Mereka akan cenderung menghindari tempat-tempat umum, makan ditempat-tempat ramai, dan bahkan tidak ingin menggunakan toilet umum. Sosial fobia sering diasosiasikan dengan depresi dan alcohol abuse.
Kelainan neurontransmitter-reseptor pada otak dicurigai memiliki peran dalam berkembangnya sosial fobia. Neurontransmitter adalah substansi seperti norepinephiren, dopamine, dan serotonin yang dilepaskan diotak. Substansi tersebut menghambat atau memicu target sel. Kelainan neurontransmitter ini seringkali dikaitkan dengan beberapa jenis gangguan psikiatris.
Pengalaman sosial yang negatif, seperti ditolak oleh teman sepermainan atau mengalami rasa malu yang amat sangat ketika sedang berada ditempat umum, dan kurangnya kemampuan sosial, mungkin dapat menjadi faktor penyebab. Sosial fobia mungkin disebabkan oleh rendahnya self-esteem, kurang asertif, dan perasaan inferior.
Treatment yang dapat dilakukan diantaranya adalah cognitive behavior therapy (CBT) dan penggunaan obat, meskipun penggunaan obat saat ini cukup sulit diterapkan pada penderita sosial fobia. Sebagai tambahan, untuk obat anti-cemas dan beta bloker, pengobatannya mungkin termasuk monoamine oxidase (MAO) inhibitor antidepresan Nardil (phenelzine) dan Parnate (tranycypromine), serta serotonin specific reuptake inhibitors (SSRIs) seperti Prozac (fluoxetime), Paxil (paroxetine), Zoloft (sertraline), dan Luvox (fluvoxamine). Penggunaan SSRIs dengan terapi perilaku menjadi popular bagi penanganan sosial fobia. Karena mereka memiliki sedikit efek samping dari obat dan tidak berpotensi untuk menimbulkan kecanduan. Dan obat antidepresan tersebut dapat juga membantu pasien dengan depresi karena sosial fobia tersebut.
Luasnya sebuah tempat terbuka
Agoraphobia berasal dari kata Yunani yang secara literatur berarti “ketakutan pada pasar”. Tapi seringkali didefinisikan sebagai takut terhadap tempat terbuka. Agoraphobia identik dengan panic disorder, dan pada banyak kasus, agoraphobia berkaitan langsung dengan ketakutan untuk mengalami serangan panik ditempat umum.
Seseorang dengan panic disorder dapat mengalami serangan panik secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Serangan tersebut dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Pada menit pertama, semuanya terlihat baik-baik saja. Tapi selanjutnya seseorang bisa dilanda perasaan ketakutan atau rasa ngeri. Jantung berdebar dengan kencang, nafas terasa sesak, serta seluruh tubuh menjadi gemetar. Serangan tersebut mungkin hanya terjadi beberapa menit saja, namun pengalaman tersebut dapat membekas dengan jelas, dan itu dapat menyebabkan akan cenderung antipati terhadap serangan lain yang mungkin akan muncul.
Orang-orang dengan agoraphobia akan menghindari tempat-tempat dan situasi dimana mereka akan merasa sulit untuk melarikan diri manakala serangan itu muncul. Hal ini berlaku dimana saja, di tempat perbelanjaan, di kantor, dan lain sebagainya. Ketika ketakutan akan munculnya serangan itu makin bertambah, maka semakin sempit juga ruang gerak dari penderita agoraphobia. Mereka benar-benar hanya akan berada ditempat-tempat yang menurutnya aman. Dan pada kasus yang berat, hanya terbatas pada rumah saja.
Agoraphobia merupakan fobia yang paling tidak stabil dan sulit penanganannya karena melibatkan banyak ketakutan. Sama dengan sosial fobia, treatment yang digunakan termasuk behavioral therapy yang dikombinasikan dengan obat anti-cemas atau antidepresan, ataupun keduanya.
Fobia atau ketakutan terhadap hal-hal tertentu mungkin akan terdengar konyol bagi sebagian orang, tapi tidak bagi orang-orang yang menderita fobia tersebut. Cobalah untuk memahami orang lain dan juga diri sendiri.


Dikutip dari artikel “ Fighting Phobias: The Things That Go Bump In The Mind” oleh Lynne L.Hall dengan sedikit gubahan.
 (Penulis adalah mahasiswa Prodi Psikologi UBM angkatan 2010)


Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...