KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA : ADA APA DIBALIK KDRT?
Kekerasan dalam rumah tangga saat ini menjadi momok yang
cukup menakutkan bagi siapapun yang ingin ataupun sudah berkeluarga. Kita tidak
bisa memprediksi apa yang akan terjadi nantinya. Siapapun tidak menginginkan
jika kehidupan rumah tangganya menjadi tidak bahagia, diwarnai dengan cekcok
dan kekerasan. Namun pada kenyataannya, masih ada saja kasus kekerassan yang
terjadi, terutama di Indonesia
KDRT menurut hukum
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 UU Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Kekerasan rumah tangga yang pada umumnya kita tahu dilakukan oleh pria
kepada wanita. Namun pada kenyataan tidaklah demikian. Ternyata kekerasan dalam
rumah tangga dapat juga dilakukan oleh wanita kepada pria, namun sifatnya lebih
pada verbal abuse.
KDRT itu sendiri bisa juga terbagi lagi menjadi 4 bentuk
kekerasan yaitu diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual, hingga kekerasan ekonomi (Wikipedia, 2012). Kekerasan fisik itu
sendiri terbagi lagi menjadi kekerasan fisik berat dan ringan. Kekerasan fisik
berat berupa penganiayaan berat yang dapat menyebabkan cidera berat hingga pada
kematian. Sedangkan kekerasan fisik ringan hanya berupa penganiayaan yang dapat
menyebabkan cidera ringan saja. Selanjutnya ada kekerasan psikis, yang juga
terbagi menjadi dua yaitu kekerasan psikis berat dan kekerasan psikis ringan.
Kekerasan psikis berat diantaranya berupa tindakan
pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan
atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat, seperti gangguan tidur, stress,
depresi, hingga berujung pada bunuh diri. Sedangkan kekerasan psikis ringan
berupa tindakan pengendalian, eksploitasi, ancaman yang dapat berujung pada
penderitaan psikis ringan seperti ketakutan, rasa tidak berdaya, hingga pada
fobia. Kekerasan secara seksual juga terbagi lagi menjadi dua yaitu kekerasan
seksual berat dan kekerasan seksual ringan. Kekerasan seksual berat bisa
terdiri dari pelecehan seksual dengan kontak fisik, pemaksaan hubungan seksual,
hingga pada tindakan seksual dengan kekerasan yang dapat menyebabkan luka tau
cidera. Sedangkan kekerasan seksual ringan bisa berupa tindakan pelecehan
seksual secara verbal. Bentuk KDRT yang terakhir adalah kekerasan ekonomi, yang
terbagi menjadi dua yaitu kekerasan ekonomi berat dan kekerasan ekonomi ringan.
Kekerasan ekonomi berat bisa berupa tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi yang dapat dilakukan dengan memaksa korban
bekerja dengan cara eksploitatif, melarang korban bekerja tapi
menelantarkannya, hingga pada mencuri dan merampas harta benda milik korban.
Untuk kekerasan ekonomi ringan berupa melakukan tindakan-tindakan secara
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi
atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut data dari catatan tahunan kekerasan
terhadap perempuan (Catahu KtP) tahun 2010 yang
dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) menunjukkan, dari 105.103 kasus yang ditangani oleh 384 lembaga
pengada layanan, 101.128-nya terjadi di ranah personal. Kasus kekerasan
terhadap istri masih paling banyak, yaitu 98.577 kasus. Selebihnya, terdapat
1.299 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 600 kasus kekerasan terhadap anak
perempuan. Berdasarkan data yang ada, perempuan Indonesia cenderung akan
memilih perceraian sebagai jalan keluar dari kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut sumber dari berita Antara, kasus KDRT di Indonesia rata-rata terjadi 311
kasus setiap harinya. Data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun
2011 angka kasus KDRT adalah 113.878 kasus atau 95,71 persen, artinya ini
terjadi sekitar 311 kasus per harinya. dan berdasarkan data catatan tahunan
Komnas Perempuan sejak 2001, kasus KDRT selalu menajdi kasus kekerasan terhadap
perempuan yang paling banyak terjadi.
Mengapa KDRT masih ada?
Mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga ini masih saja
terjadi? Sebenarnya pengetahuan tentang KDRT itu dimasyarakat luas masih belum merata
penyebarannya. Masih banyak yang menganggap bahwa tindakan kekerasan yang
dilakukan dengan tujuan untuk mendisiplinkan korban. Faktor budaya dan agama
juga memiliki pengaruh dalam hal ini. Akibatnya, masih banyak kasus-kasus KDRT
yang tidak terselesaikan atau hanya tersembunyi begitu saja. Nanti ketika
kekerasan yang dilakukan sudah semakin parah, barulah korban tunggang langgang
mencari pertolongan. Kurangnya pemahaman tentang hukum juga makin memperlambat
penanganan kasus KDRT.
Dibalik KDRT itu sendiri, ternyata ada juga mitos-mitos yang
berkembang yang seringkali masih kita percayai. Mitos-mitos ini seringkali
masih dipercayai keberadaannya. Mitos-mitos inilah yang seringkali menyebabkan
masih terjadinya kekerasan itu sendiri. menurut artikel yang disadur dari surat
kabar harian Kompas yang berjudul “5
Mitos Terjadinya KDRT”, menyatakan bahwa
KDRT masih berlanjut hingga saat ini karena masyarakat masih mempercayai bahwa
KDRT merupakan masalah pribadi yang wajar terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Hal inilah yang menciptakan mitos-mitos tidak benar yang masih dipercayai
hingga saat ini. Mitos ini menjadi semacam “tradisi” yang pasti selalu ada
dalam kehidupan berumah tangga tatkala terjadi konflik, baik itu bersifat besar
ataupun kecil. Debora Sinclair dalam bukunya Memberdayakan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga/Hubungan
Intim, merumuskan sejumlah mitos yang membuat pelaku kekerasan dimaafkan
dan dibebaskan begitu saja, diantaranya adalah :
1. Mitos: Lelaki pelaku kekerasan memiliki penyakit mental.
Realitas: Jika lelaki benar-benar sakit mental, dia tidak memiliki kemampuan
untuk memilih sasaran atau mengendalikan pola perilaku kekerasan. Sementara
yang terjadi dalam KDRT, sebagian besar lelaki yang melakukan kekerasan akan
menyembunyikan tindakan di dalam rumah. Serangan diarahkan ke bagian yang tidak
terlihat bekasnya. Artinya pelaku sudah memiliki perencanaan dan pemikiran
tentang pola kekerasannya. Suami pelaku KDRT juga tidak akan menyerang orang
lain, misalnya teman kerja, bila mengatami frustrasi dan hanya menyasar
istrinya di rumah.
2. Mitos: Alkohol menyebabkan lelaki memukul pasangannya.
Realitas: Alkohol memfasilitasi penggunaan kekuatan fisik dengan memungkinkan
pelaku melepaskan tanggungjawab perilakunya pada hal lain, dalam hal ini
alkohol.
3.
Mitos: Hanya perempuan miskin yang dipukuli.
Realitas: Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua kalangan dan kelas
sosial. Korban kekerasan yang kebanyakan perempuan tak hanya perempuan putus
sekolah, namun juga berpendidikan tinggi, ibu rumah tangga, hingga pekerja di
perkotaan. Kekerasan yang dialami perempuan dari kelas sosial atas seringkali
disembunyikan atau tersembunyi. Karena pihak perempuan akan mengalami banyak
kehilangan jika membuka situasi yang dialaminya.
4. Mitos: Pihak perempuan yang memprovokasi sehingga pantas memperoleh
perlakuan kekerasan.
Realitas: Tidak ada seorangpun yang pantas dipukuli. Provokasi hanyalah
sekadar alasan dari pelaku untuk melepaskan diri dari tanggungjawab
tindakannya. Pandangan ini hanya mencari kesalahan korban. Jika pelaku
dibenarkan tindakannya dan dimaklumi, kekerasan akan terus meningkat dan
membuat kekerasan menjadi metode penyelesaian masalah yang dapat diterima.
Pelaku lantas semakin yakin bahwa ia boleh dan berhak menggunakan kekerasan.
5.
Mitos: Jika perempuan terganggu oleh kekerasan, harusnya bicara tak hanya
diam.
Realitas: Korban kekerasan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka percaya
bahwa mereka dan orang-orang yang dicintai, termasuk anak-anak, akan berada
dalam risiko besar jika berbicara tentang kejadian yang dialami. Korban juga
sangat malu membicarakannya dan berpikir kekerasan terjadi karena kesalahan
perempuan sendiri. Posisi perempuan semakin rentan karena mereka kerapkali
pasif dan penurut, karena peran yang dibentuk sejak lama yang dilabelkan pada
perempuan.
Selain mitos-mitos diatas yang
mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, ternyata masih banyak
juga penyebab-penyebab lainnya yang berperan. Karena kasus ini merupakan
fenomena luas yang terjadi dimasyarakat, maka kita tidak bisa menentukan mana
faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kekerasan itu sendiri. karena
pada kenyataannya, faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Kekerasan itu sendiri menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perbuatan seseorang atau kelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain. ditinjau dari sisi ilmu psikologi,
kekerasan tersebut merupakan manifestasi dari agresi. Agresi itu sendiri juga
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara teoritis, ada beberapa teori yang
dapat menjelaskan mengapa agresi itu bisa terjadi. Tetapi jika dijelaskan
satu-persatu, tentunya akan memakan waktu yang banyak.
Ada beberapa teori yang dapat
menjelaskan mengapa hingga munculnya agresi dalam diri seseorang, yang
dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan. Agresi itu sendiri merupakan tindakan
melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/intitusi lain
yang sejatinya disengaja (Sarwono, 2009).
Dalam buku Psikologi Sosial, S.Sarwono menjelaskan tentang beberapa penyebab
agresi. Dimulai dari perspektif biologi. Penelitian menunjukan bahwa hormon
androgen dan testosterone memiliki peranan dalam perilaku agresi dan sering
dihubungkan dengan tema kekerasan. Dan secara kebetulan, kedua hormon tersebut
dimiliki oleh pria. Selanjutnya ada bagian dari otak juga yang terkait dengan
tingkah laku agresi yaitu hipotalamus, yang merupakan bagian kecil dari otak
yang terletak dibawah otak, yang berfungsi untuk menjaga homeostatis serta
membentuk tingkah laku vital.
Kemudian ada juga perspektif
sosial. Teori belajar sosial percaya bahwa agresivitas merupakan tingkah laku
yang dipelajari. Hal ini dikemukakan oleh Albert Bandura lewat teori belajar
sosial yang dikembangkannya. Bandura meyakini bahwa perilaku agresi merupakan
tingkah laku yang rumit dan tidak alami. Orang dapat mempelajari perilaku
agresi tidak hanya dari orang tuanya ataupun lingkungan sosialnya. Agresi ini
dipelajari lewat modeling atau
meniru. Teori frustasi agresi yang dikembangkan oleh John Dollar dan Neil
Miller, dapat menjelaskan sedikit banyak, mengapa sampai orang melakukan
agresi. Teori ini mengatakan bahwa karena tidak tercapainya keinginan
menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kemudian berujung pada frustasi. Kondisi
frustasi ini pada umumnya menimbulkan kemarahan dan dapat berujung pada
perilaku agresi.
Kemudian
ada juga perspektif gender yang kurang lebih dapat menjelaskan mengapa orang
melakukan agresi . Gender stereotipe tradisional percaya bahwa kewanitaan yang
sebenarnya haruslah saleh/alim, suci, bersikap tunduk, dan berada dirumah.
Sedangkan bagi pria, stereotipe tradisional percaya bahwa identitas peran pria
sebenarnya tidaklah kewanita-wanitaan, memegang kendali, kokoh, dan garang
(Brannon, 2011). Stereotipe inilah yang membentuk pria dan wanita dan
membedakannya. Oleh karena itu seringkali muncul penindasan terhadap wanita,
karena pria percaya bahwa dirinya yang seharusnya berkuasa dan mengontrol
wanita, karena wanita adalah sosok yang lemah dan dependen. Selanjutnya ada teori evolutionary
yang berpendapat bahwa sebenarnya pria menjadi agresi karena tugas-tugas
atau tantangan yang harus dihadapinya sejak dulu kala. Pada jaman prasejarah,
pria ditempatkan pada tugas yang menuntut agresivitas seperti berburu, dan
melindungi anggota kelompok. Sedangkan wanita hanya bertugas untuk berada
didalam kelompok, menjaga anak, serta bercocok tanam, yang lebih bersifat
pasif. Hal ini yang mungkin dapat menjadi faktor penyebab munculnya agresi pada
pria dan sifat pasif pada wanita (Brannon, 2011).
Psikologi individual yang
dikemukakan oleh Alfred Adler, menyatakan bahwa setiap manusia memiliki rasa
inferioritas dalam dirinya, yang merupakan rasa ketidakmampuan dan
ketidakberdayaan (Suryabrata, 2008). Dalam dinamikanya, manusia berusaha untuk
mencapai superioritas yang merupakan kesempurnaan atau kemajuan. Untuk mencapai
hal itu, manusia melakukan kompensasi untuk mengarah kepada superioritas.
Kompensasi disini bisa bersifat negative ataupun positif. Orang yang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga mungkin mengalami inferioritas dikarenakan dirinya
tidak cukup mampu untuk membiayai keluarganya, merasa tidak cukup baik untuk
keluarganya dan lain sebagainya. Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya pada
umumnya orang yang melakukan agresi cenderung memiliki self esteem yang rendah. Untuk menuju kearah superioritas, seperti
yang dikatakan oleh Adler, orang tersebut akan melakukan kompensasi, dengan
cara melakukan agresi agar korban dapat tunduk terhadap dirinya. Dengan begitu
maka dia akan merasa dapat mencapai superioritasnya.
Teori-teori yang diatas kurang lebih
dapat menjelaskan mengapa orang bisa melakukan kekerasan. Selanjutnya jika kita
melihat dari sisi korban, mengapa sampai mereka bisa tetap bertahan dalam
hubungan pernikahan yang diwarnai dengan kekerasan? Ada beberapa alasan yang
menyebabkan para korban memilih untuk stay,
yaitu diantaranya adalah komitmen perkawinan, cinta, tanggung jawab secara
moral, hingga pada komitmen struktural. Menurut Walker dan Gelles (dalam Frederick & Foreman,
1984) mengatakan bahwa KDRT cenderung mengikuti alur sebuah siklus atau
lingkaran kekerasan berulang terhadap istri (cycle of violence).
Inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengapa masih banyak kasus KDRT yang
tidak dilaporkan. Siklus kekerasan tersebut adalah: (i) fase ketegangan;
(ii) fase penganiayaan; dan (iii) fase bulan madu. Ketiga fase ini membentuk
siklus sedemikian rupa.
Fase
ketegangan dimulai dari dilakukannya verbal
abuse oleh si pelaku dan korban biasanya mencoba mengontrol situasi dengan
berusaha menyenangkan hati si pelaku. Tapi usaha korban bisa terbilang sia-sia
dan ketika tekanan mulai bertambah, dia akan berpindah pada fase penganiayaan.
Pada fase ini, kekerasan fisik sudah terjadi. Hal ini biasanya dipicu oleh
kejadian-kejadian eksternal yang mengganggu keadaan emosi si pelaku. Situasi di
fase ini berada dibawah kontrol korban dan tidak dapat diprediksi. Biasanya, setelah menganiaya istri maka
suami akan merasa menyesal, menghibah, memohon maaf. Selanjutnya, istri akan
luluh dengan hibahan suami. Keadaan terakhir ini dikenal dengan fase bulan
madu, ketika relasi kembali rukun. Fase terakhir tersebut adalah fase yang
krusial karena dari banyak penelitian, setelah fase bulan madu berakhir, siklus
kekerasan cenderung terulang lagi. Dikatakan, sekali melakukan kekerasan,
cenderung terulang kembali dan membentuk siklus sedemikian rupa. Siklus ini
yang perlu dipintas dan diantisipasi.
Berdasarkan
dari berbagai teori dan data yang menjelaskan mengenai KDRT maka jelas saja
bahwa kasus ini masih perlu perhatian publik karena pada kenyataannya masih
banyak orang-orang yang meringkuk dibawah bayang-bayang kekerasan. Kasus perlu
diberantas sampai pada akar-akarnya agar dikemudian hari tidak terdengar lagi
kabar bahwa ada seorang wanita yang tewas ditangan suaminya sendiri, atau ada
anak yang disiksa oleh ibu kandungnya sendiri. mendengar hal itu saja tentunya
bisa membuat miris. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mencoba untuk
mengantisipasi sedini mungkin kasus-kasus kekerasan ini sedini mungkin,
menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya agar dikemudian hari tidak terjadi
lagi hal yang demikian. STOP KDRT!
Disadur
dari berbagai sumber.
DAFTAR
PUSTAKA
Brannon, Linda. 2011. Gender, Psychological Perspectives. 6th
ed. Boston; Pearson Education, Inc.
Sarwono, S.W. dan E.A Meinarno. 2009. Psikologi Sosial.
Jakarta; Salemba Humanika.
Suryabrata, Sumardi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta;
Rajawali Pers.
(Penulis adalah Mahasiswa Prodi Psikologi UBM angkatan 2010)
Selamat Malam.
ReplyDeleteSaya dengan Mei Lestari dari Psikologi UNJ. Saya kebetulan baca blog Anda mengenai KDRT ini dan saya memang sedang penelitian mengenai hal ini. Kalau boleh, bisakah saya diberikan link download gratis atau apakah ada file softcopy dari daftar pustaka "Brannon, Linda. 2011. Gender, Psychological Perspectives. 6th ed. Boston; Pearson Education, Inc." yang akan saya gunakan dalam penulisan naskah penelitian saya?
Terimakasih sebelumnya dan Saya beharap Anda berkenan membalas :)
Regard,
Mei Lestari, Psikologi UNJ 2011.