Sunday, February 17, 2013

KDRT by Dwi Swastika


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA : ADA APA DIBALIK KDRT?
Kekerasan dalam rumah tangga saat ini menjadi momok yang cukup menakutkan bagi siapapun yang ingin ataupun sudah berkeluarga. Kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi nantinya. Siapapun tidak menginginkan jika kehidupan rumah tangganya menjadi tidak bahagia, diwarnai dengan cekcok dan kekerasan. Namun pada kenyataannya, masih ada saja kasus kekerassan yang terjadi, terutama di Indonesia
KDRT menurut hukum
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan rumah tangga yang pada umumnya kita tahu dilakukan oleh pria kepada wanita. Namun pada kenyataan tidaklah demikian. Ternyata kekerasan dalam rumah tangga dapat juga dilakukan oleh wanita kepada pria, namun sifatnya lebih pada verbal abuse.
KDRT itu sendiri bisa juga terbagi lagi menjadi 4 bentuk kekerasan yaitu diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, hingga kekerasan ekonomi (Wikipedia, 2012). Kekerasan fisik itu sendiri terbagi lagi menjadi kekerasan fisik berat dan ringan. Kekerasan fisik berat berupa penganiayaan berat yang dapat menyebabkan cidera berat hingga pada kematian. Sedangkan kekerasan fisik ringan hanya berupa penganiayaan yang dapat menyebabkan cidera ringan saja. Selanjutnya ada kekerasan psikis, yang juga terbagi menjadi dua yaitu kekerasan psikis berat dan kekerasan psikis ringan. Kekerasan psikis berat diantaranya berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat, seperti gangguan tidur, stress, depresi, hingga berujung pada bunuh diri. Sedangkan kekerasan psikis ringan berupa tindakan pengendalian, eksploitasi, ancaman yang dapat berujung pada penderitaan psikis ringan seperti ketakutan, rasa tidak berdaya, hingga pada fobia. Kekerasan secara seksual juga terbagi lagi menjadi dua yaitu kekerasan seksual berat dan kekerasan seksual ringan. Kekerasan seksual berat bisa terdiri dari pelecehan seksual dengan kontak fisik, pemaksaan hubungan seksual, hingga pada tindakan seksual dengan kekerasan yang dapat menyebabkan luka tau cidera. Sedangkan kekerasan seksual ringan bisa berupa tindakan pelecehan seksual secara verbal. Bentuk KDRT yang terakhir adalah kekerasan ekonomi, yang terbagi menjadi dua yaitu kekerasan ekonomi berat dan kekerasan ekonomi ringan. Kekerasan ekonomi berat bisa berupa tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi yang dapat dilakukan dengan memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif, melarang korban bekerja tapi menelantarkannya, hingga pada mencuri dan merampas harta benda milik korban. Untuk kekerasan ekonomi ringan berupa melakukan tindakan-tindakan secara sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Menurut data dari catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan (Catahu KtP) tahun 2010 yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, dari 105.103 kasus yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan, 101.128-nya terjadi di ranah personal. Kasus kekerasan terhadap istri masih paling banyak, yaitu 98.577 kasus. Selebihnya, terdapat 1.299 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Berdasarkan data yang ada, perempuan Indonesia cenderung akan memilih perceraian sebagai jalan keluar dari kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut sumber dari berita Antara, kasus KDRT di Indonesia rata-rata terjadi 311 kasus setiap harinya. Data dari Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2011 angka kasus KDRT adalah 113.878 kasus atau 95,71 persen, artinya ini terjadi sekitar 311 kasus per harinya. dan berdasarkan data catatan tahunan Komnas Perempuan sejak 2001, kasus KDRT selalu menajdi kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak terjadi.
Mengapa KDRT masih ada?
Mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga ini masih saja terjadi? Sebenarnya pengetahuan tentang KDRT itu dimasyarakat luas masih belum merata penyebarannya. Masih banyak yang menganggap bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendisiplinkan korban. Faktor budaya dan agama juga memiliki pengaruh dalam hal ini. Akibatnya, masih banyak kasus-kasus KDRT yang tidak terselesaikan atau hanya tersembunyi begitu saja. Nanti ketika kekerasan yang dilakukan sudah semakin parah, barulah korban tunggang langgang mencari pertolongan. Kurangnya pemahaman tentang hukum juga makin memperlambat penanganan kasus KDRT.
Dibalik KDRT itu sendiri, ternyata ada juga mitos-mitos yang berkembang yang seringkali masih kita percayai. Mitos-mitos ini seringkali masih dipercayai keberadaannya. Mitos-mitos inilah yang seringkali menyebabkan masih terjadinya kekerasan itu sendiri. menurut artikel yang disadur dari surat kabar harian Kompas yang berjudul “5 Mitos Terjadinya KDRT”, menyatakan  bahwa KDRT masih berlanjut hingga saat ini karena masyarakat masih mempercayai bahwa KDRT merupakan masalah pribadi yang wajar terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Hal inilah yang menciptakan mitos-mitos tidak benar yang masih dipercayai hingga saat ini. Mitos ini menjadi semacam “tradisi” yang pasti selalu ada dalam kehidupan berumah tangga tatkala terjadi konflik, baik itu bersifat besar ataupun kecil. Debora Sinclair dalam bukunya Memberdayakan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga/Hubungan Intim, merumuskan sejumlah mitos yang membuat pelaku kekerasan dimaafkan dan dibebaskan begitu saja, diantaranya adalah :
1.     Mitos: Lelaki pelaku kekerasan memiliki penyakit mental.
Realitas: Jika lelaki benar-benar sakit mental, dia tidak memiliki kemampuan untuk memilih sasaran atau mengendalikan pola perilaku kekerasan. Sementara yang terjadi dalam KDRT, sebagian besar lelaki yang melakukan kekerasan akan menyembunyikan tindakan di dalam rumah. Serangan diarahkan ke bagian yang tidak terlihat bekasnya. Artinya pelaku sudah memiliki perencanaan dan pemikiran tentang pola kekerasannya. Suami pelaku KDRT juga tidak akan menyerang orang lain, misalnya teman kerja, bila mengatami frustrasi dan hanya menyasar istrinya di rumah.
2.     Mitos: Alkohol menyebabkan lelaki memukul pasangannya.
Realitas: Alkohol memfasilitasi penggunaan kekuatan fisik dengan memungkinkan pelaku melepaskan tanggungjawab perilakunya pada hal lain, dalam hal ini alkohol.
3.     Mitos: Hanya perempuan miskin yang dipukuli.
Realitas: Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua kalangan dan kelas sosial. Korban kekerasan yang kebanyakan perempuan tak hanya perempuan putus sekolah, namun juga berpendidikan tinggi, ibu rumah tangga, hingga pekerja di perkotaan. Kekerasan yang dialami perempuan dari kelas sosial atas seringkali disembunyikan atau tersembunyi. Karena pihak perempuan akan mengalami banyak kehilangan jika membuka situasi yang dialaminya.
4.     Mitos: Pihak perempuan yang memprovokasi sehingga pantas memperoleh perlakuan kekerasan.
Realitas: Tidak ada seorangpun yang pantas dipukuli. Provokasi hanyalah sekadar alasan dari pelaku untuk melepaskan diri dari tanggungjawab tindakannya. Pandangan ini hanya mencari kesalahan korban. Jika pelaku dibenarkan tindakannya dan dimaklumi, kekerasan akan terus meningkat dan membuat kekerasan menjadi metode penyelesaian masalah yang dapat diterima. Pelaku lantas semakin yakin bahwa ia boleh dan berhak menggunakan kekerasan.
5.     Mitos: Jika perempuan terganggu oleh kekerasan, harusnya bicara tak hanya diam.
Realitas: Korban kekerasan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka percaya bahwa mereka dan orang-orang yang dicintai, termasuk anak-anak, akan berada dalam risiko besar jika berbicara tentang kejadian yang dialami. Korban juga sangat malu membicarakannya dan berpikir kekerasan terjadi karena kesalahan perempuan sendiri. Posisi perempuan semakin rentan karena mereka kerapkali pasif dan penurut, karena peran yang dibentuk sejak lama yang dilabelkan pada perempuan. 
Selain mitos-mitos diatas yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, ternyata masih banyak juga penyebab-penyebab lainnya yang berperan. Karena kasus ini merupakan fenomena luas yang terjadi dimasyarakat, maka kita tidak bisa menentukan mana faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kekerasan itu sendiri. karena pada kenyataannya, faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Kekerasan itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. ditinjau dari sisi ilmu psikologi, kekerasan tersebut merupakan manifestasi dari agresi. Agresi itu sendiri juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara teoritis, ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengapa agresi itu bisa terjadi. Tetapi jika dijelaskan satu-persatu, tentunya akan memakan waktu yang banyak.
Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan mengapa hingga munculnya agresi dalam diri seseorang, yang dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan. Agresi itu sendiri merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/intitusi lain yang sejatinya disengaja (Sarwono, 2009).
Dalam buku Psikologi Sosial, S.Sarwono menjelaskan tentang beberapa penyebab agresi. Dimulai dari perspektif biologi. Penelitian menunjukan bahwa hormon androgen dan testosterone memiliki peranan dalam perilaku agresi dan sering dihubungkan dengan tema kekerasan. Dan secara kebetulan, kedua hormon tersebut dimiliki oleh pria. Selanjutnya ada bagian dari otak juga yang terkait dengan tingkah laku agresi yaitu hipotalamus, yang merupakan bagian kecil dari otak yang terletak dibawah otak, yang berfungsi untuk menjaga homeostatis serta membentuk tingkah laku vital.
Kemudian ada juga perspektif sosial. Teori belajar sosial percaya bahwa agresivitas merupakan tingkah laku yang dipelajari. Hal ini dikemukakan oleh Albert Bandura lewat teori belajar sosial yang dikembangkannya. Bandura meyakini bahwa perilaku agresi merupakan tingkah laku yang rumit dan tidak alami. Orang dapat mempelajari perilaku agresi tidak hanya dari orang tuanya ataupun lingkungan sosialnya. Agresi ini dipelajari lewat modeling atau meniru. Teori frustasi agresi yang dikembangkan oleh John Dollar dan Neil Miller, dapat menjelaskan sedikit banyak, mengapa sampai orang melakukan agresi. Teori ini mengatakan bahwa karena tidak tercapainya keinginan menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kemudian berujung pada frustasi. Kondisi frustasi ini pada umumnya menimbulkan kemarahan dan dapat berujung pada perilaku agresi.
Kemudian ada juga perspektif gender yang kurang lebih dapat menjelaskan mengapa orang melakukan agresi . Gender stereotipe tradisional percaya bahwa kewanitaan yang sebenarnya haruslah saleh/alim, suci, bersikap tunduk, dan berada dirumah. Sedangkan bagi pria, stereotipe tradisional percaya bahwa identitas peran pria sebenarnya tidaklah kewanita-wanitaan, memegang kendali, kokoh, dan garang (Brannon, 2011). Stereotipe inilah yang membentuk pria dan wanita dan membedakannya. Oleh karena itu seringkali muncul penindasan terhadap wanita, karena pria percaya bahwa dirinya yang seharusnya berkuasa dan mengontrol wanita, karena wanita adalah sosok yang lemah dan dependen. Selanjutnya  ada teori evolutionary yang berpendapat bahwa sebenarnya pria menjadi agresi karena tugas-tugas atau tantangan yang harus dihadapinya sejak dulu kala. Pada jaman prasejarah, pria ditempatkan pada tugas yang menuntut agresivitas seperti berburu, dan melindungi anggota kelompok. Sedangkan wanita hanya bertugas untuk berada didalam kelompok, menjaga anak, serta bercocok tanam, yang lebih bersifat pasif. Hal ini yang mungkin dapat menjadi faktor penyebab munculnya agresi pada pria dan sifat pasif pada wanita (Brannon, 2011).
Psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler, menyatakan bahwa setiap manusia memiliki rasa inferioritas dalam dirinya, yang merupakan rasa ketidakmampuan dan ketidakberdayaan (Suryabrata, 2008). Dalam dinamikanya, manusia berusaha untuk mencapai superioritas yang merupakan kesempurnaan atau kemajuan. Untuk mencapai hal itu, manusia melakukan kompensasi untuk mengarah kepada superioritas. Kompensasi disini bisa bersifat negative ataupun positif. Orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga mungkin mengalami inferioritas dikarenakan dirinya tidak cukup mampu untuk membiayai keluarganya, merasa tidak cukup baik untuk keluarganya dan lain sebagainya. Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya pada umumnya orang yang melakukan agresi cenderung memiliki self esteem yang rendah. Untuk menuju kearah superioritas, seperti yang dikatakan oleh Adler, orang tersebut akan melakukan kompensasi, dengan cara melakukan agresi agar korban dapat tunduk terhadap dirinya. Dengan begitu maka dia akan merasa dapat mencapai superioritasnya.
Teori-teori yang diatas kurang lebih dapat menjelaskan mengapa orang bisa melakukan kekerasan. Selanjutnya jika kita melihat dari sisi korban, mengapa sampai mereka bisa tetap bertahan dalam hubungan pernikahan yang diwarnai dengan kekerasan? Ada beberapa alasan yang menyebabkan para korban memilih untuk stay, yaitu diantaranya adalah komitmen perkawinan, cinta, tanggung jawab secara moral, hingga pada komitmen struktural. Menurut Walker dan Gelles (dalam Frederick & Foreman, 1984) mengatakan bahwa KDRT cenderung mengikuti alur sebuah siklus atau lingkaran kekerasan berulang terhadap istri (cycle of violence). Inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengapa masih banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan. Siklus kekerasan tersebut adalah: (i) fase ketegangan; (ii) fase penganiayaan; dan (iii) fase bulan madu. Ketiga fase ini membentuk siklus sedemikian rupa.
Fase ketegangan dimulai dari dilakukannya verbal abuse oleh si pelaku dan korban biasanya mencoba mengontrol situasi dengan berusaha menyenangkan hati si pelaku. Tapi usaha korban bisa terbilang sia-sia dan ketika tekanan mulai bertambah, dia akan berpindah pada fase penganiayaan. Pada fase ini, kekerasan fisik sudah terjadi. Hal ini biasanya dipicu oleh kejadian-kejadian eksternal yang mengganggu keadaan emosi si pelaku. Situasi di fase ini berada dibawah kontrol korban dan tidak dapat diprediksi. Biasanya, setelah menganiaya istri maka suami akan merasa menyesal, menghibah, memohon maaf. Selanjutnya, istri akan luluh dengan hibahan suami. Keadaan terakhir ini dikenal dengan fase bulan madu, ketika relasi kembali rukun. Fase terakhir tersebut adalah fase yang krusial karena dari banyak penelitian, setelah fase bulan madu berakhir, siklus kekerasan cenderung terulang lagi. Dikatakan, sekali melakukan kekerasan, cenderung terulang kembali dan membentuk siklus sedemikian rupa. Siklus ini yang perlu dipintas dan diantisipasi.
Berdasarkan dari berbagai teori dan data yang menjelaskan mengenai KDRT maka jelas saja bahwa kasus ini masih perlu perhatian publik karena pada kenyataannya masih banyak orang-orang yang meringkuk dibawah bayang-bayang kekerasan. Kasus perlu diberantas sampai pada akar-akarnya agar dikemudian hari tidak terdengar lagi kabar bahwa ada seorang wanita yang tewas ditangan suaminya sendiri, atau ada anak yang disiksa oleh ibu kandungnya sendiri. mendengar hal itu saja tentunya bisa membuat miris. Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama mencoba untuk mengantisipasi sedini mungkin kasus-kasus kekerasan ini sedini mungkin, menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya agar dikemudian hari tidak terjadi lagi hal yang demikian. STOP KDRT!


Disadur dari berbagai sumber.

DAFTAR PUSTAKA
Brannon, Linda. 2011. Gender, Psychological Perspectives. 6th ed. Boston; Pearson Education, Inc.
Sarwono, S.W. dan E.A Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta; Salemba Humanika.
Suryabrata, Sumardi. 2008. Psikologi Kepribadian. Jakarta; Rajawali Pers.

 (Penulis adalah Mahasiswa Prodi Psikologi UBM angkatan 2010)

1 comment:

  1. Selamat Malam.

    Saya dengan Mei Lestari dari Psikologi UNJ. Saya kebetulan baca blog Anda mengenai KDRT ini dan saya memang sedang penelitian mengenai hal ini. Kalau boleh, bisakah saya diberikan link download gratis atau apakah ada file softcopy dari daftar pustaka "Brannon, Linda. 2011. Gender, Psychological Perspectives. 6th ed. Boston; Pearson Education, Inc." yang akan saya gunakan dalam penulisan naskah penelitian saya?

    Terimakasih sebelumnya dan Saya beharap Anda berkenan membalas :)
    Regard,
    Mei Lestari, Psikologi UNJ 2011.

    ReplyDelete

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...