Friday, December 10, 2021

SELF HARM

SELF HARM : DID I EVER DO IT ?

    “Cutting”. Kata ini tentu tidak asing lagi di telinga kita. Cutting ini dapat diartikan juga dengan perilaku menyayat kulit. Pada umumnya, tujuan seseorang melakukan cutting adalah untuk membuat goresan luka pada tangan dengan menggunakan benda tajam hingga menembus kulit dan berdarah. Ternyata perilaku menyayat kulit atau yang biasa kita kenal dengan cutting ini merupakan salah satu bentuk dari self-harm. Lalu self-harm itu sendiri apa ya ? Jangan-jangan kita pun pernah melakukan self-harm, baik secara disadari maupun tidak.


    Self-harm adalah semua hal yang dilakukan untuk menyakiti diri sendiri, self-harm menggambarkan berbagai hal yang dilakukan orang terhadap diri mereka sendiri dengan cara yang disengaja dan biasanya tersembunyi. Jadi, objek self-harm ini adalah diri sendiri (Aisyah, 2021). Beberapa gangguan jiwa yang terkait erat dengan perilaku self-harm diantaranya adalah gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder), gangguan depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia (Sadock & Sadock, 2009). Namun, sebenarnya perilaku self-harm sendiri bukanlah sebuah gangguan jiwa, melainkan bentuk kegagalan seseorang dalam melakukan coping ketika menghadapi stres (Carroll et al., 2014). 

    Menurut Kusmadewi et al. (2019), pada umumnya, metode melukai diri sendiri yang lebih banyak dilakukan oleh perempuan adalah menyayat kulit, memperburuk kondisi medis dengan tidak mematuhi anjuran pengobatan, serta pikiran menyalahkan diri sendiri. Sedangkan pada laki-laki, metode melukai diri sendiri yang lebih banyak dilakukan adalah memukul diri, membenturkan kepala, serta menyetir dengan ceroboh. Ada beberapa jenis perilaku melukai diri sendiri yang juga kerap kali dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki diantaranya seperti menjambak rambut, mengorek bekas luka, dan menelan zat beracun.

    Lalu apa alasan sebenarnya seseorang melakukan self-harm, padahal bisa membahayakan dirinya sendiri ? Perilaku self-harm terjadi karena seseorang memiliki masalah dalam melakukan regulasi emosi secara internal. Akhirnya hal ini menyebabkan perilaku melukai diri sendiri menjadi bentuk penyaluran emosi negatif akibat rasa sakit psikis yang dirasakan dan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Emosi negatif ini misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustrasi, marah, dendam, dan emosi-emosi negatif lainnya. Biasanya seseorang yang kesulitan mengelola emosi dan tidak tahu bagaimana cara mengekspresikannyalah yang kerap kali melakukan self-harm. 

    Dari penjelasan di atas, pernahkah kita melakukan self-harm? Tentu tidak menutup kemungkinan bahwa kita pernah melakukannya bahkan pula tidak hanya sekali atau dua kali saja. Maka dari itu, kita perlu tahu apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Menurut Wang (2019) ada beberapa cara untuk mengatasi self-harm, diantaranya adalah:

1.         Komunikasikan dengan orang yang kamu percaya.

Ceritakan apa saja yang sedang kamu rasakan kepada orang yang dapat membuatmu merasa diterima dan akan mendukungmu. Misalnya dengan orang tua, saudara, sahabat terdekat, ataupun guru di sekolah. 

2.         Kenali pemicu perilaku self-harm yang kamu lakukan.

Dengan mengenali apa pemicunya, kamu dapat mempelajari cara untuk menghindari dan menghadapi situasi tersebut.

3.         Temukan strategi coping lainnya

Kamu bisa mengalihkan perhatianmu dengan melakukan aktivitas apapun seperti melakukan hobi atau hal yang disukai. Namun, di samping itu ada beberapa strategi alternatif lainnya yang juga bisa dilakukan, diantaranya:

    • Untuk mengekspresikan perasaan sakit, hal lain yang bisa dilakukan adalah melukis dan menulis isi pikiran serta perasaanmu.
    • Untuk menenangkan diri, hal lain yang bisa dilakukan adalah mandi air hangat, memijat diri, dan mendengar musik yang menenangkan.
    • Untuk melepas ketegangan, hal yang bisa dilakukan adalah berolahraga, mengeluarkan suara keras, ataupun meninju bantal sebagai gantinya.

4.       Mencari bantuan profesional

Para profesional kesehatan mental akan membantumu mempertahankan strategi tersebut dalam jangka panjang ataupun dapat memberikan bantuan pencegahan lainnya agar kamu tidak menyakiti dirimu lagi di masa depan.

Terdapat 2 metode lainnya yang juga bisa dilakukan sebagai upaya mengatasi perilaku self-harm

1.         Self-Talk 

    Self-talk dilakukan dengan menyebutkan frasa suportif ketika sedang mengalami suatu persoalan sehingga hal ini bisa membangkitkan sebuah keberanian atau antusiasme positif pada seseorang (Bradley, 2016). Menurut Rahmadaningtyas dan Pratikto (2020), manfaat lain dari self-talk adalah seseorang menjadi lebih memahami persoalan yang sedang dihadapi secara objektif sehingga dapat membantunya untuk menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi tersebut. Contohnya “aku bisa”, “aku kuat”, “aku berharga”, “ayo semangat bangkit lagi”, “semua pasti ada jalan keluar”, “tidak apa-apa bersedih sekarang, tapi jangan berlarut-larut ya”.

2.         Art Therapy

    Art therapy adalah seni terapi yang mendefinisikan seni sebagai alat yang ampuh dalam berkomunikasi. Art therapy juga dapat untuk membantu semua orang dalam berbagai usia untuk mengeksplorasikan emosi dan kepercayaan, mengurangi stres, menyelesaikan masalah dan konflik, dan meningkatkan rasa bahagia (Malchiodi, 2003). Art therapy digunakan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan individu, melalui menggambar, melukis, ataupun mewarnai objek yang diminati sesuai dengan perasaan atau suasana hati (Buchalter, 2004).

    Nah, seperti itulah penjelasan mengenai self-harm. Tidak menutup kemungkinan bahwa kita pernah melakukan self-harm di masa lalu ataupun akan melakukannya di masa mendatang. Tetapi hal tersebut bisa kita cegah dan atasi dengan langkah-langkah yang benar. Cobalah belajar perlahan mengekspresikan emosi negatif yang kita rasakan dengan bercerita kepada orang-orang terdekat yang dipercaya ataupun melakukan strategi lainnya yang sudah dijelaskan di atas sebelumnya. Perlu diingat bahwa perilaku melukai diri sendiri bukanlah pilihan yang tepat karena kita semua amat berharga.

  

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, N. (2021). Jenis self harm dan cara mengatasinya menurut psikolog UGM. Diunduh pada 9 Desember 2021 dari https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5637004/jenis-self-harm-dan-cara-mengatasinya-menurut-psikolog-ugm 

Bradley, T. E. (2016). 40 Teknik yang harus diketahui setiap konselor (Kedua; H. P. Soetjipto & S. M. Soetjipto, eds.). Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167: Penerbit Pustaka Pelajar.

Buchalter, S. I. (2004). A practical art theraphy. London: Jessica Kingsley Publishers.

Carroll, R., Metcalfe, C., & Gunnell, D. (2014). Hospital presenting self-harm and risk of fatal and non-fatal repetition: systematic review and meta-analysis. PLoS ONE, 9(2): e89944. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0089944

Kusumadewi, A. F., Yoga, B. H., Sumarni, & Ismanto, S. H. (2019). Self-harm inventory (SHI) versi Indonesia sebagai instrumen deteksi dini perilaku self-harm. Jurnal Psikiatri Surabaya, 8(1), 20-25. http://dx.doi.org/10.20473/jps.v8i1.15009

Malchiodi, C. A. (2003). Art therapy and the brain. In Malchiodi, C. A. (Ed.), Handbook of art therapy (pp. 16–24). The Guilford Press.

Rahmadaningtyas, F., & Pratikto, H. (2020, September). Efektivitas self-talk therapy pada perilaku self-injury. Edu Consilium : Jurnal BK Pendidikan Islam, 1(2), 9-20.

Sadock, B. J., & Sadock, V. (2009). Kaplan & sadock’s comprehensive textbook of psychiatry (9th ed.). Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

Wang, J. (2019, Maret 15). Tips dan cara untuk mengatasi self-harm. Diunduh pada 1 September 2021 dari https://www.seributujuan.id/atrium/tips-dan-cara-untuk-mengatasi-self-harm 


Wednesday, November 10, 2021

INSECURE

 

INSECURE

 

Duh, Acel cantik banget ya. Aku jadi minder setiap ketemu dia.”

“Aku ga ikut pergi deh, aku ga percaya diri sama penampilanku. Apalagi Acel ikut juga.”

“Muka ku kok semakin jelek ya, ga kayak Ulan

 


Hal seperti ini bukankah sudah lumrah didengar telinga? Atau bahkan tanpa disadari, kamu sering mengucapkannya? Lalu, apakah berperilaku seperti ini normal dan baik? Sebenarnya apa yang aku alami, ya?  

Tahukah kamu bahwa kalimat diatas secara tidak langsung menunjukkan perasaanmu ketika merasa tidak nyaman dengan seseorang atau dalam suatu kondisi, loh! 

Insecure itu apa sih?

Insecure merupakan sebuah keadaan atau perasaan tidak nyaman yang dialami dan dirasakan seseorang. Perasaan ini biasanya diwujudkan dengan sikap kurang percaya diri sehingga seringkali individu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain. Insecure atau  rasa  tidak  aman ini bisa diartikan sebagai rasa takut akan sesuatu yang dipicu oleh rasa tidak puas dan tidak yakin akan kapasitas  diri  sendiri (Wahyuni et al., 2019).

Abraham Maslow juga mengatakan insecure merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa tidak aman, menganggap dunia sebagai sebuah hutan yang mengancam dan kebanyakan manusia berbahaya dan egois. Orang yang mengalami insecure umumnya merasa ditolak dan terisolasi, cemas, pesimis, tidak bahagia, merasa bersalah, tidak percaya diri, egois, dan cenderung neurotik.

Menurut American Psychological Association dictionary of psychologyinsecure/insecurity adalah perasaan tidak mampu, kurang percaya diri, dan ketidakmampuan untuk mengatasi suatu masalah, disertai dengan ketidakpastian dan kecemasan secara umum mengenai tujuan, kemampuan, atau hubungan dengan orang lain.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Surcinelli (dalam Ma’rifah dan Budiani, 2012), insecure attachment ditandai dengan pemikiran negatif mengenai self yang diasosiasikan dengan nilai depresi dan kecemasan yang lebih tinggi. Evrika (dalam Hasmalawati & Hasanati, 2018) mengatakan seseorang yang mengembangakan kelekatan tidak aman (insecure) cenderung akan menghadapi berbagai permasalahan seperti ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas, melakukan sesuatu dengan rasa percaya diri yang rendah, bahkan tidak jarang individu ini mengembangkan hubungan negatif yang didasarkan pada mistrust atau ketidakpercayaan.

 Menurut (Meliana et al., 2021) setiap orang pasti pernah merasa insecure, namun remaja dengan kepribadian introvert sering merasa insecure yang berlebihan. Remaja introvert akan sulit terbuka kepada orang lain mengenai masalahnya, sehingga mereka sering tenggelam dalam pikiran negatif.

Penyebab Seseorang Merasa Insecure

Menurut psikolog klinis Melanie Greenberg, Ph.D., terdapat 3 penyebab umum seseorang merasa insecure diantaranya:

1.      Insecure karena kegagalan atau penolakan yang terjadi baru-baru ini

Berdasarkan penelitian tentang kebahagiaan, peristiwa yang baru terjadi sangat mempengaruhi suasana hati dan perasaan kita tentang diri kita sendiri, karena ketidakbahagiaan berdampak pada self-esteem, kegagalan, dan penolakan juga berdampak dua kali lipat pada ketidakpercayaan diri.

2.      Insecure karena mengalami kecemasan sosial

Rasa takut dievaluasi dengan orang lain dapat menyebabkan rasa cemas yang pada akhirnya membuat mereka menghindari situasi sosial karena merasa tidak nyaman.

3.      Insecure yang didorong oleh perfeksionisme

Akan timbul perasaan tidak nyaman dan tidak layak apabila suatu hal yang ia kerjakan tidak mendapatkan hasil yang sempurna.

Insecure juga memiliki beberapa penyebab akibat dampak dari masa lalunya seperti; mengalami kegagalan atau penolakan, mendapat penilaian yang kurang menarik dari orang lain, menginginkan segala sesuatu berjalan sempurna (Tamin, 2020).

Merasa insecure sangatlah tidak bagus apalagi untuk kebahagian diri sendiri, dampak dari insecure ini dapat menggangu mental kita karena selalu berpikir berlebihan atau overthinking mengenai hal negatif tentang diri kita, berujung sedih dan bahkan bisa sampai ke titik menyakiti diri (Ismaya, 2020). 

Memang sulit untuk mengurangi rasa insecure yang ada dalam diri karena insecure berkaitan dengan perasaan kita. Tetapi meskipun sulit, menurut Ismaya (2020) ada beberapa cara dalam mengatasi insecure diantaranya:

1.      Self-love

Self-love sendiri bisa berupa apa saja, contohnya kamu bisa selalu bilang didepan kaca “kamu cantik hari ini” atau mungkin kamu bisa menulis sesuatu di kertas tentang poin plus yang ada dalam diri kamu, apa yang kamu suka dari dirimu, tentang pujian-pujian positif yang orang-orang pernah sampaikan kepada kamu, dan selalu ingat setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.




2.    Stop membanding-h dirimu dengan orang lain dan tetap bersyukur

Tuhan menciptakan setiap makhluknya berbeda-beda yang pastinya dengan ukuran kekurangan dan kelebihan yang berbeda-beda juga, jangan selalu berpikiran bahwa kamu tidak berharga, kamu tidak pintar ataupun memandang dirimu rendah, dan berakhir selalu membanding-bandingkan dirimu dengan dirinya. Ingat setiap orang mempunyai takarannya masing-masing jadi tetaplah bersyukur dengan apa yang sekarang kamu punya.

3.      Cari lingkungan yang positif

Di saat kamu sedang terpuruk karna rasa insecure, kamu butuh lingkungan yang menyebarkan aura positif, seperti teman, keluarga, atau support system kamu.

4.      Kurangi penggunaan media sosial

Media sosial memang suatu platform yang mengizinkan kita bebas berekspresi, serta gudangnya segala informasi. Tetapi dengan mengurangi penggunaan media sosial, kamu jadi bisa berfokus pada diri kamu dan tidak lagi membanding-bandingkan orang di media sosial dengan dirimu sendiri.

 

Sources:

Greenberg, M. (2015). The 3 Most Common Causes of Insecurity and How to Beat Them. Diakses pada 1 November 2021, dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-mindful-self-express/201512/the-3-most-common-causes-insecurity-and-how-beat-them

Hamalawati, N., Hasanati, N. (2018). Perbedaan tingkat kelekatan dan kemandirian mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin. Psikoislamedia Jurnal Psikologi, 3(1), 1-59.

Ma’rifah, N. L., Budiani, M. S. (2012). Hubungan antara attachment style dan self-esteem dengan kecemasan sosial pada remaja. Jurnal Psikologi: Teori dan Terapan, 3(1 Agustus 2012), 17-27.

Maslow, A. H. (1942). The Dynamics of Psychological Security-Insecurity. Journal of Personality, 10 (4), 331–344. doi:10.1111/j.1467-

Ismaya, L. C. (2020). Mengenali Dampak Jangka Panjang Insecure dan Cara Mengatasinya. Winnetnews. https://www.winnetnews.com/post/mengenali-dampak-jangka-panjang-insecure-dan-cara-mengatasinya

Meliana, D., Tanudjaja, B. B., & Kurniawan, D. (2021). Perancangan Komik Digital Tentang Insecurity Pada Kehidupan Sosial Kepribadian Introvert Bagi Remaja Usia 15-21 Tahun. Jurnal DKV Adiwarna, 2(17), 9.

Rahmah, R. A. (2020). Perasaan Insecure Pada Masa Covid-19 Mengakibatkan Maraknya Orang Menjual Produk Kecantikan. SocArXiv Papers, 23(99), 2. hppts./jiwaraga.com

Tamin,  dr. R. (2020). INSECURE. Alodokter. https://www.alodokter.com/insecure

Wahyuni, S., Ramdhan, S., & Aliyudin, A. (2019). Proses Komunikasi Konseling terhadap Anak Asuh yang Memiliki Kepribadian Introvert. Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, Dan Psikoterapi Islam, 7(3), 351–374. https://doi.org/10.15575/irsyad.v7i3.78

           

 

 


Sunday, October 10, 2021

Cave Syndrome

 

"CAVE SYNDROME"

Pandemi Covid-19 tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan kita, khususnya dalam hal kebiasaan. Jika sebelum pandemi kita dapat keluar rumah dengan bebas, sekarang dimasa pandemi ini kita tidak memiliki kebebasan keluar rumah seperti sebelumnya yang dikarenakan banyak hal, salah satunya adalah takut tertular virus Covid-19. Nah, ternyata ketakutan ini diprediksi akan dihadapi banyak orang, baik saat pandemi berlangsung maupun saat pandemi ini berakhir. Fenomena inilah yang disebut dengan cave syndrome.

 


Cave syndrome mungkin masih terasa asing di telinga kita, namun istilah "cave syndrome" sebenarnya sudah pernah disebutkan oleh beberapa media meskipun istilah "Cave Syndrome" sendiri bukanlah diagnosis psikologis resmi. Cave syndrome merupakan keengganan terus-menerus untuk meninggalkan keamanan rumah karena takut dengan resiko tertular Covid-19 atau infeksi lanjutan saat pandemi mereda.

 


Mungkin kita bertanya-tanya, apa yang menyebabkan seseorang mengalami cave syndrome ini sedangkan mungkin sebagian dari kita malah ingin keluar rumah sesegera mungkin. Nyatanya, melangkah keluar setelah setahun di rumah terbukti sebagai suatu transisi yang sulit bagi sebagian orang. Survei terbaru APA (American Psychological Association) melaporkan bahwa 49% orang dewasa yang disurvei mengantisipasi perasaan tidak nyaman untuk kembali berinteraksi secara langsung ketika pandemi berakhir dan ditemukan bahwa 48% dari mereka yang telah menerima vaksin Covid-19 mengatakan mereka merasakan hal yang sama. Seorang profesor psikologi UC Berkeley, Robert Levenson, juga mengatakan bahwa ini bukan hanya tinggal di rumah saat akhir pekan. Ini sudah hampir dua tahun dan sekarang kita sudah menyesuaikan diri dengan ini dan ini sudah menjadi baseline kita. Jadi sekarang kita harus keluar dari gelembung kita dan explore. Kita harus menemukan kembali cara bekerja diantara orang lain lagi, cara bermain, cara memulai suatu hubungan dan mengakhiri yang lain. Kemudian, seorang  professor of psychiatry and behavioral sciences di Northwestern University, Jacqueline Gollan, juga mengatakan bahwa meskipun seseorang mungkin sudah divaksin, mereka mungkin masih merasa sulit untuk melepaskan rasa takut itu karena mereka melebih-lebihkan resiko dan kemungkinannya.

 

Ilustrasi :  Alan R. Teo,M.D.,M.S.

Alan Teo, seorang profesor psikiatri di Oregon Health and Science University, mengatribusikan cave syndrome ke dalam tiga faktor, yaitu habit (kebiasaan), risk perception (persepsi risiko), dan social connections (hubungan sosial). Secara singkat, habit berarti kita harus mempelajari kebiasaan untuk memakai masker, physical distancing atau social distancing, serta tidak mengundang orang dan sulit untuk menghentikan kebiasaan begitu kita membentuknya. Risk perception berarti ada keterputusan antara jumlah risiko yang sebenarnya dan apa yang orang anggap sebagai risiko mereka. Kemudian, social connections berarti kita cenderung fokus pada "risiko infeksi dan kematian daripada risiko kematian karena kesepian dan terputus."

 

Ilustrasi : Dr. Arthur Bregman, MD

Lalu apa yang harus kita lakukan jika kita mengalami cave syndrome? Seorang psikiater, Dr. Arthur Bregman, mengajarkan sistem MAV (Mindfulness, Attitude, and Vision) pada pasiennya yang ketakutan untuk meninggalkan rumah. Tahap pertama adalah mindfulness, yang berarti kita harus sadar tentang apa yang mengganggu kita dan fokus untuk mempersempit hal tersebut. Kemudian tahap kedua adalah attitude, yang berarti setelah kita mengetahui apa yang membuat kita gelisah, mulailah untuk membangun sikap yang positif. Cara yang baik untuk membangun sikap yang positif adalah dengan membayangkan aktivitas menarik yang kita lakukan sebelum pandemi, seperti makan bersama teman atau menghadiri konser. Tahap ketiga dan terakhir adalah vision, yang berarti memvisualisasikan tujuan kita dan apa yang dapat kita capai ketika kita keluar rumah.

 

Namun, kita tetap perlu berhati-hati dalam menggunakan istilah ini karena suatu sindrom tidak dapat didiagnosis begitu saja. Alan Teo mengatakan bahwa dia berhati-hati dalam menerapkan istilah "cave syndrome" untuk apa yang bagi banyak orang adalah rentang pengalaman yang normal. Apa yang mungkin dialami banyak orang setelah hidup dalam pandemi selama setahun adalah kecemasan, yang merupakan emosi yang normal dan pantas dialami ketika menghadapi peristiwa traumatis seperti itu. Menurutnya, mengalami kecemasan bukan berarti kita memiliki kelainan atau sindrom. Ada kasus dimana hal tersebut menjadi parah secara klinis. Jika kita tidak dapat meninggalkan rumah dan melanjutkan kehidupan biasa, Bregman merekomendasikan untuk mencari bantuan profesional.

 

"The longer people are in their cave, the harder it is to get out." - Dr. Arthur Bregman


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Y. (2021). Overcoming pandemic cave syndrome: why is it so complicated?. Diakses dari  https://news.berkeley.edu/2021/08/03/overcoming-pandemic-cave-syndrome-why-is-it-so-complicated
Fernstorm, M. (2021). What is covid 'cave syndrome' and how to fix it. Diakses dari
Marples, M. (2021). If 'cave syndrome' is keeping you from going in public, here's how to combat it.
Newsome, M. (2021). 'Cave syndrome' keeps the vaccinated in social isolation. Diakses dari https://www.scientificamerican.com/article/cave-syndrome-keeps-the-vaccinated-in-social-isolation1.



Wednesday, September 8, 2021

Cyberbullying

Maraknya perkembangan teknologi informasi sekarang ini dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat seperti mudahnya mengakses informasi dan menjalin hubungan sosial dengan sesama. Selain itu, kemudahan dalam mengakses teknologi informasi juga dapat membawa dampak negatif kepada masyarakat khususnya jika kurangnya pengawasan dan bimbingan orang dewasa kepada anak-anak atau remaja terhadap penggunaan teknologi. Salah satu dampak yang dapat ditimbulkan dari kemajuan teknologi adalah perilaku cyberbullying

Cyberbullying adalah bentuk intimidasi yang terjadi di media sosial dalam bentuk hinaan, ancaman, ejekan yang bertujuan untuk merugikan, mempermalukan atau melukai orang lain. Tindakan cyberbullying ini sering terjadi di kalangan remaja yang dimana dapat mengakibatkan depresi, merasa tidak diinginkan, dan akibat terburuknya adalah tindakan bunuh diri. 
Cyberbullying TIDAK SAMA dengan lelucon. Lelucon adalah candaan yang tidak membuat seseorang tersinggung ataupun sakit hati bahkan orang itu dapat ikut tertawa dalam lelucon yang sedang orang lain lontarkan. Sedangkan cyberbullying membuat seseorang merasa direndahkan bahkan merasa dirinya diasingkan dari masyarakat.


Willard menyebutkan macam-macam jenis cyberbullying sebagai berikut :
1. Flaming, yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal.
2. Harassment, yaitu pesan-pesan yang berisi gangguan yang menggunakan email, SMS, maupun pesan teks di jejaring sosial yang dilakukan secara terus menerus.
3. Denigration, yaitu proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut.


1. Impersonation, yaitu berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status tidak baik.
2. Outing, yaitu menyebarkan rahasia orang lain atau foto-foto pribadi orang lain.
3. Trickery, yaitu membujuk seseorang agar mendapatkan rahasia atau foto-foto pribadi orang tersebut.
4. Exclusion, yaitu secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari grup online.
5.  Cyberstalking, yaitu mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara intens sehingga menyebabkan ketakutan besar pada orang tersebut.

Dilihat dari banyaknya jenis cyberbullying, dapat dikatakan bahwa manusia dapat menjatuhkan orang dengan berbagai cara melalui media online. Hasil penelitian kasus cyberbullying di luar negeri menurut Zalaquett & Chatters (2014) menunjukkan dari 613 responden, 19% dilaporkan menjadi korban cyberbullying di perguruan tinggi dan 35% dari sub sampel ini dilaporkan mengalami cyberbullying ketika di Sekolah Menengah Atas.


Banyaknya kasus ini juga disebabkan oleh tontonan kekerasan, penghakiman media sosial, dan juga tidak ada nya batasan untuk anak usia dini dalam mengakses informasi. Namun, kondisi tersebut juga sulit untuk dicegah dari pihak keluarga, sekolah, maupun lingkungan. 

Perilaku cyberbullying dapat memberikan dampak negatif bagi korban yang mengalaminya seperti depresi, memiliki kepercayaan diri yang rendah, menutup diri dari lingkungan sosial, dilanda rasa khawatir, dan selalu merasa bersalah dan gagal. Cyberbullying yang dialami secara berkepanjangan akan menimbulkan stres berat bagi korban dan dampak yang paling menakutkan adalah korban memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya (bunuh diri) karena merasa tidak mampu menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.

Cara mencegah tindakan cyberbullying di media sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu seperti :
1. Memaksimalkan sikap etika berinternet.
Etika komunikasi di internet memiliki istilah Netiquette. Netiquette adalah kode etik yang mengatur cara para pengguna internet dalam beraktivitas di internet agar apa yang dilakukan tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku sehingga fasilitas internet dapat digunakan sebagaimana mestinya tanpa ada pihak yang dirugikan karenanya. 

2. Peran orang tua
Orang tua merupakan tokoh penting bagi anak untuk memberikan pendidikan pertama. Orang tua juga memiliki peran penting untuk mengawasi/mengontrol anak dalam menggunakan media sosial. Langkah yang dapat orang tua lakukan untuk mengawasi anak dalam menggunakan media sosial adalah seperti mengajarkan anak tentang etika bermain media sosial yang baik, memberikan batasan waktu dalam menggunakan media komunikasi dan waktu belajar, mengontrol siapa teman pergaulan di media sosial anak, memiliki akun media sosial anak untuk memudahkan dalam mengontrol dan memiliki sikap kritis terhadap akun-akun yang berindikasi ada pesan menghinaan, pengancaman, ujaran kebencian ataupun cyberbullying.

3. Peran pemerintah
Pemerintah dapat memberikan edukasi dini tentang cyberbullying dengan cara melakukan penyuluhan/seminar tentang cyberbullying ini yang dapat dibantu oleh aparat sipil kepolisian, akademisi, guru/dosen ataupun pelajar. Kegiatan ini dapat dilaksanakan di lingkungan sekolah, kampus, instansi, balai desa, ataupun seminar online yang dilaksanakan secara gratis.

Dengan cara ini diharapkan kasus cyberbullying dapat dicegah dan dihentikan. Untuk itu diharapkan juga kerja sama dari semua pihak untuk mengatasi dan memberikan edukasi agar tindak cyberbullying dapat dihindari.

Selain pencegahan, peraturan di Indonesia juga memiliki hukum yang dapat menjerat pelaku cyberbullying. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Undang – undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Nah teman-teman, sudah dapat dipahami kan kalau cyberbullying itu sangat berbahaya dan memiliki hukum yang berat. Marilah kita bersama-sama bijak dalam menggunakan media sosial sebagai sarana untuk membantu sesama dan menyebarkan hal positif !

Nantikan materi menarik lainnya yang akan kami update setiap bulan!


DAFTAR PUSTAKA
Rahayu, Flourensia Sapty. (2012). Cyberbullying sebagai dampak negatif penggunaan teknologi informasi. Journal Of Information Systems, 8(1). 

Rifauddin, Machsun. (2016). Fenomena cyberbullying pada remaja. Khizanah Al-Hikmah, 4(1). 

Sakban, Abdul., et al. (2018). Tindakan bullying di media sosial dan pencegahannya. JISIP, 2(3). 

Selular. (2016). Pelaku cyberbullying Bisa Dijerat Hukum Pidana.  Diakses dari 
https://selular.id/2016/03/pelaku-cyber-bullying-bisa-dijerat-hukum-pidana/#:~:text= 2.%20Undang%2DUndang%20Nomor%2011,000.000%20(satu%20milyar%20rupiah). 

Tim KPAI. (2020). Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI. Diakses dari https://www.kpai.go.id/publikasi/sejumlah-kasus-bullying-sudah-warnai-catatan-masa lah-anak-di-awal-2020-begini-kata-komisioner-kpai

Zalaquett, C. P., & Chatters, S. P. (2014). Cyberbullying in College:Frequency, Characteristics, and Practical Implications. Sage Open Journal, 1-8. DOI: 10.1177/2158244014526721. 

download-fullpapers-kmnts73d7a00d3dfull.pdf (unair.ac.id)

Tuesday, May 25, 2021

TOXIC POSITIVITY


“Semangat, pasti bisa!” 

“Tenang saja, semua pasti dapat dilewati. Masih ada orang yang lebih kurang beruntung.” 

“Bersyukur terus ya ..” 

Pernah dengar kalimat-kalimat ini ketika diberikan atau memberikan penguatan kepada orang lain karena mengalami masalah? Kita pasti pernah mendengar bahkan menyampaikan hal yang sama ketika ada orang lain yang membutuhkan penguatan. Pernahkah kamu mendengar tentang toxic positivity? Apa sih toxic positivity itu? 

Secara tidak langsung, kalimat-kalimat diatas termasuk dalam toxic positivity – sikap positif yang justru menjadi racun (Soerjoatmodjo, 2020). Toxic positivity merupakan pola pikir dimana individu selalu berusaha untuk berpikir positif serta menganggap bahwa dengan melakukan hal tersebut adalah cara yang tepat dalam menjalani hidup (Dewi, 2020). Dengan kata lain, dalam hidup ini kita hanya menerima hal-hal positif dalam dan menolak hal-hal lainnya termasuk emosi negatif yang muncul. 

Fyi, toxic positivity ini tidak hanya datang dari orang lain melainkan dapat muncul lewat percakapan kita dengan diri sendiri lewat self-talk. Misalnya pada saat kita bercakap pada diri sendiri bahwa “Hari ini aku merasa lelah” kemudian coba lanjutkan dengan kalimat, “Ya, lalu?” Dengan demikian, ungkapan negatif tetap diekspresikan, rasa lelah tetap diterima, sehingga hal ini memacu diri untuk berpikir lebih lanjut. “Ya, aku lelah, sehingga artinya aku perlu yang namanya istirahat,” inilah contoh percakapan yang bisa terjadi ketika kita bercakap dengan diri sendiri dalam rasa penuh penerimaan. 

Jika dibandingkan dengan “Aku merasa lelah hari ini.”, kemudian “Ayo, tidak baik berpikir seperti itu, kita harus kuat.” Maka penerimaan diri tidak akan tercapai, malah membuat semakin kelelahan, yang kemudian membuat kita tidak bisa berpikir alias buntu. Dari hal ini kita perlu mengambil kesimpulan bahwa istirahat teratur tidak akan berhasil kita raih. Sehingga apa yang terjadi? Tubuh serta otak akan terus merasa lelah, lelah dan lelah. 

Cara pikir atau emosi positif yang dilakukan sebenarnya hanya ingin menghindar dari perasaan tidak nyaman, sehingga muncul perasaan selalu benar dan menang. Namun ketika kita menghindari perasaan tidak nyaman itu, kita tentu akan menekan perasaan tersebut hingga dapat menimbulkan perasaan negatif lainnya. Apalagi saat perasaan itu telah kita timbun setelah sekian lama hingga akhirnya dapat meledak suatu saat seperti bom waktu. 

Mungkin masih banyak yang berpikir jika kita selalu berpikir positif, hal tersebut membuat kita selalu tidak menyerah pada keadaan yang sulit, tapi pada kenyataannya mereka belum menyadari bahwa kecemasan yang mereka tekan atau hindari tersebut sebenarnya sangat bermanfaat pada kehidupan kita. Saat kecemasan muncul, maka kita akan lebih berhati-hati dan juga mencari solusi mengenai apa yang kita cemaskan. Contohnya seperti saat sedang ujian kita cemas mengenai nilai akhir, kita tentunya akan mencari jalan keluar bagaimana caranya agar nilai kita bagus dan akhirnya kita akan mengeluarkan usaha yaitu dengan belajar. Jika kita hanya berpikir positif bahwa nilai kita akan baik-baik saja tanpa adanya usaha, maka pikiran tersebut akan membawa anda pada nilai yang buruk juga. 

Selain membuat kita menjadi berhati-hati, ketika ada masalah kita juga memainkan peran emosi kita seperti menjadi sedih, marah, atau perasaan normal lainnya. Tapi lagi-lagi ketika hal itu tidak terungkapkan atau hanya dipendam saja, maka akan membuat kita stress atau bahkan dapat memiliki penyakit mental lainnya. Sebaliknya jika kita mengeluarkan emosi negatif tersebut dengan menyalurkannya pada aktivitas maka kita juga akan merasa lebih baik, misalnya seperti bercerita, menangis, berolahraga, atau melakukan hobi lainnya. 

Dalam hidup, kita pun membutuhkan yang namanya emosi negatif. Jangan semata-mata hanya emosi positif saja yang kita terima karena anggapan agar hidup terus berjalan dengan baik. Tidak baik memiliki emosi negatif yang berlebihan, tetapi tidak baik pula memiliki emosi positif yang berlebihan. Semua yang berlebihan itu tidak baik. Sehingga apapun emosi yang muncul, kita harus melakukan penerimaan. 

Selain itu, untuk menjauhkan diri kita dari toxic positivity ada baiknya untuk memilih penggunaan kata atau kalimat yang tepat untuk memberikan penguatan kepada mereka yang membutuhkan. Seperti contohnya, daripada kita mengatakan “Masa gitu aja kamu tidak bisa” diganti dengan “Memang terkadang kita mengalami sebuah masalah, tapi kita sama-sama harus melewatinya ya”. Dari semua ini, yuk kita sama-sama berhenti menyebarkan toxic positivity!

Daftar pustaka

Dewi, Hayuning1 Purnama. 2020. “Toxic Positivity: Ucapan Positif Yang Berdampak Negatif”,   https://www.ubaya.ac.id/2018/content/news_detail/2838/Toxic-Positivity--Ucapan-Positif-yang-      Berdam pak-Negatif.html, diakses pada 5 Mei 2021 pukul 22.00

Soerjoatmodjo,    Gita              W.      Laksmini.             2020.    “Manakala           Positif            Justru Negatif”,https://www.researchgate.net/profile/Gita-Soerjoatmodjo/publication/344519335_Manakala_Positif_Justru_Negatif/links/5f7de20c92851c14bcb663ae/Manakala-Positif-Justru-Negatif.pdf?origin=publication _detail, diakses pada 5 Mei 2021 pukul 22.00.

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...