"CAVE SYNDROME"
Pandemi Covid-19 tentunya membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap kehidupan kita, khususnya dalam hal kebiasaan. Jika sebelum pandemi
kita dapat keluar rumah dengan bebas, sekarang dimasa pandemi ini kita tidak
memiliki kebebasan keluar rumah seperti sebelumnya yang dikarenakan banyak hal,
salah satunya adalah takut tertular virus Covid-19. Nah, ternyata ketakutan ini
diprediksi akan dihadapi banyak orang, baik saat pandemi berlangsung maupun
saat pandemi ini berakhir. Fenomena inilah yang disebut dengan cave syndrome.
Cave syndrome mungkin masih terasa asing di
telinga kita, namun istilah "cave syndrome" sebenarnya sudah pernah
disebutkan oleh beberapa media meskipun istilah "Cave Syndrome" sendiri bukanlah diagnosis psikologis resmi. Cave syndrome merupakan keengganan
terus-menerus untuk meninggalkan keamanan rumah karena takut dengan resiko
tertular Covid-19 atau infeksi lanjutan saat pandemi mereda.
Mungkin kita bertanya-tanya, apa yang menyebabkan seseorang
mengalami cave syndrome ini sedangkan mungkin sebagian dari kita malah ingin
keluar rumah sesegera mungkin. Nyatanya, melangkah keluar setelah setahun di
rumah terbukti sebagai suatu transisi yang sulit bagi sebagian orang. Survei terbaru APA (American Psychological
Association) melaporkan bahwa 49% orang dewasa yang disurvei mengantisipasi
perasaan tidak nyaman untuk kembali berinteraksi secara langsung ketika pandemi
berakhir dan ditemukan bahwa 48% dari mereka yang telah menerima vaksin
Covid-19 mengatakan mereka merasakan hal yang sama. Seorang profesor psikologi
UC Berkeley, Robert Levenson, juga mengatakan bahwa ini bukan hanya tinggal di
rumah saat akhir pekan. Ini sudah hampir dua tahun dan sekarang kita sudah
menyesuaikan diri dengan ini dan ini sudah menjadi baseline kita. Jadi sekarang
kita harus keluar dari gelembung kita dan explore.
Kita harus menemukan kembali cara bekerja diantara orang lain lagi, cara
bermain, cara memulai suatu hubungan dan mengakhiri yang lain. Kemudian,
seorang professor of psychiatry and
behavioral sciences di Northwestern University, Jacqueline Gollan, juga
mengatakan bahwa meskipun seseorang mungkin sudah divaksin, mereka mungkin
masih merasa sulit untuk melepaskan rasa takut itu karena mereka
melebih-lebihkan resiko dan kemungkinannya.
Alan Teo, seorang profesor psikiatri di Oregon Health and Science University, mengatribusikan cave syndrome ke dalam tiga faktor, yaitu habit (kebiasaan), risk perception (persepsi risiko), dan social connections (hubungan sosial). Secara singkat, habit berarti kita harus mempelajari kebiasaan untuk memakai masker, physical distancing atau social distancing, serta tidak mengundang orang dan sulit untuk menghentikan kebiasaan begitu kita membentuknya. Risk perception berarti ada keterputusan antara jumlah risiko yang sebenarnya dan apa yang orang anggap sebagai risiko mereka. Kemudian, social connections berarti kita cenderung fokus pada "risiko infeksi dan kematian daripada risiko kematian karena kesepian dan terputus."
Lalu apa yang harus kita lakukan jika kita mengalami cave
syndrome? Seorang psikiater, Dr. Arthur Bregman, mengajarkan sistem MAV (Mindfulness, Attitude, and Vision) pada
pasiennya yang ketakutan untuk meninggalkan rumah. Tahap pertama adalah mindfulness, yang berarti kita harus
sadar tentang apa yang mengganggu kita dan fokus untuk mempersempit hal
tersebut. Kemudian tahap kedua adalah attitude,
yang berarti setelah kita mengetahui apa yang membuat kita gelisah, mulailah
untuk membangun sikap yang positif. Cara yang baik untuk membangun sikap yang
positif adalah dengan membayangkan aktivitas menarik yang kita lakukan sebelum
pandemi, seperti makan bersama teman atau menghadiri konser. Tahap ketiga dan
terakhir adalah vision, yang berarti
memvisualisasikan tujuan kita dan apa yang dapat kita capai ketika kita keluar
rumah.
Namun, kita tetap perlu berhati-hati dalam menggunakan
istilah ini karena suatu sindrom tidak dapat didiagnosis begitu saja. Alan Teo
mengatakan bahwa dia berhati-hati dalam menerapkan istilah "cave syndrome" untuk apa yang bagi
banyak orang adalah rentang pengalaman yang normal. Apa yang mungkin dialami
banyak orang setelah hidup dalam pandemi selama setahun adalah kecemasan, yang
merupakan emosi yang normal dan pantas dialami ketika menghadapi peristiwa
traumatis seperti itu. Menurutnya, mengalami kecemasan bukan berarti kita
memiliki kelainan atau sindrom. Ada kasus dimana hal tersebut menjadi parah
secara klinis. Jika kita tidak dapat meninggalkan rumah dan melanjutkan
kehidupan biasa, Bregman merekomendasikan untuk mencari bantuan profesional.
"The longer people are in their
cave, the harder it is to get out." - Dr. Arthur Bregman
No comments:
Post a Comment