Sunday, October 10, 2021

Cave Syndrome

 

"CAVE SYNDROME"

Pandemi Covid-19 tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan kita, khususnya dalam hal kebiasaan. Jika sebelum pandemi kita dapat keluar rumah dengan bebas, sekarang dimasa pandemi ini kita tidak memiliki kebebasan keluar rumah seperti sebelumnya yang dikarenakan banyak hal, salah satunya adalah takut tertular virus Covid-19. Nah, ternyata ketakutan ini diprediksi akan dihadapi banyak orang, baik saat pandemi berlangsung maupun saat pandemi ini berakhir. Fenomena inilah yang disebut dengan cave syndrome.

 


Cave syndrome mungkin masih terasa asing di telinga kita, namun istilah "cave syndrome" sebenarnya sudah pernah disebutkan oleh beberapa media meskipun istilah "Cave Syndrome" sendiri bukanlah diagnosis psikologis resmi. Cave syndrome merupakan keengganan terus-menerus untuk meninggalkan keamanan rumah karena takut dengan resiko tertular Covid-19 atau infeksi lanjutan saat pandemi mereda.

 


Mungkin kita bertanya-tanya, apa yang menyebabkan seseorang mengalami cave syndrome ini sedangkan mungkin sebagian dari kita malah ingin keluar rumah sesegera mungkin. Nyatanya, melangkah keluar setelah setahun di rumah terbukti sebagai suatu transisi yang sulit bagi sebagian orang. Survei terbaru APA (American Psychological Association) melaporkan bahwa 49% orang dewasa yang disurvei mengantisipasi perasaan tidak nyaman untuk kembali berinteraksi secara langsung ketika pandemi berakhir dan ditemukan bahwa 48% dari mereka yang telah menerima vaksin Covid-19 mengatakan mereka merasakan hal yang sama. Seorang profesor psikologi UC Berkeley, Robert Levenson, juga mengatakan bahwa ini bukan hanya tinggal di rumah saat akhir pekan. Ini sudah hampir dua tahun dan sekarang kita sudah menyesuaikan diri dengan ini dan ini sudah menjadi baseline kita. Jadi sekarang kita harus keluar dari gelembung kita dan explore. Kita harus menemukan kembali cara bekerja diantara orang lain lagi, cara bermain, cara memulai suatu hubungan dan mengakhiri yang lain. Kemudian, seorang  professor of psychiatry and behavioral sciences di Northwestern University, Jacqueline Gollan, juga mengatakan bahwa meskipun seseorang mungkin sudah divaksin, mereka mungkin masih merasa sulit untuk melepaskan rasa takut itu karena mereka melebih-lebihkan resiko dan kemungkinannya.

 

Ilustrasi :  Alan R. Teo,M.D.,M.S.

Alan Teo, seorang profesor psikiatri di Oregon Health and Science University, mengatribusikan cave syndrome ke dalam tiga faktor, yaitu habit (kebiasaan), risk perception (persepsi risiko), dan social connections (hubungan sosial). Secara singkat, habit berarti kita harus mempelajari kebiasaan untuk memakai masker, physical distancing atau social distancing, serta tidak mengundang orang dan sulit untuk menghentikan kebiasaan begitu kita membentuknya. Risk perception berarti ada keterputusan antara jumlah risiko yang sebenarnya dan apa yang orang anggap sebagai risiko mereka. Kemudian, social connections berarti kita cenderung fokus pada "risiko infeksi dan kematian daripada risiko kematian karena kesepian dan terputus."

 

Ilustrasi : Dr. Arthur Bregman, MD

Lalu apa yang harus kita lakukan jika kita mengalami cave syndrome? Seorang psikiater, Dr. Arthur Bregman, mengajarkan sistem MAV (Mindfulness, Attitude, and Vision) pada pasiennya yang ketakutan untuk meninggalkan rumah. Tahap pertama adalah mindfulness, yang berarti kita harus sadar tentang apa yang mengganggu kita dan fokus untuk mempersempit hal tersebut. Kemudian tahap kedua adalah attitude, yang berarti setelah kita mengetahui apa yang membuat kita gelisah, mulailah untuk membangun sikap yang positif. Cara yang baik untuk membangun sikap yang positif adalah dengan membayangkan aktivitas menarik yang kita lakukan sebelum pandemi, seperti makan bersama teman atau menghadiri konser. Tahap ketiga dan terakhir adalah vision, yang berarti memvisualisasikan tujuan kita dan apa yang dapat kita capai ketika kita keluar rumah.

 

Namun, kita tetap perlu berhati-hati dalam menggunakan istilah ini karena suatu sindrom tidak dapat didiagnosis begitu saja. Alan Teo mengatakan bahwa dia berhati-hati dalam menerapkan istilah "cave syndrome" untuk apa yang bagi banyak orang adalah rentang pengalaman yang normal. Apa yang mungkin dialami banyak orang setelah hidup dalam pandemi selama setahun adalah kecemasan, yang merupakan emosi yang normal dan pantas dialami ketika menghadapi peristiwa traumatis seperti itu. Menurutnya, mengalami kecemasan bukan berarti kita memiliki kelainan atau sindrom. Ada kasus dimana hal tersebut menjadi parah secara klinis. Jika kita tidak dapat meninggalkan rumah dan melanjutkan kehidupan biasa, Bregman merekomendasikan untuk mencari bantuan profesional.

 

"The longer people are in their cave, the harder it is to get out." - Dr. Arthur Bregman


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Y. (2021). Overcoming pandemic cave syndrome: why is it so complicated?. Diakses dari  https://news.berkeley.edu/2021/08/03/overcoming-pandemic-cave-syndrome-why-is-it-so-complicated
Fernstorm, M. (2021). What is covid 'cave syndrome' and how to fix it. Diakses dari
Marples, M. (2021). If 'cave syndrome' is keeping you from going in public, here's how to combat it.
Newsome, M. (2021). 'Cave syndrome' keeps the vaccinated in social isolation. Diakses dari https://www.scientificamerican.com/article/cave-syndrome-keeps-the-vaccinated-in-social-isolation1.



No comments:

Post a Comment

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...