Sebagai anak muda, tentu kita tidak akan
pernah bisa lepas dari yang namanya media sosial. Jika diperhatikan atau
diingat kembali, beberapa minggu terakhir ini, media sosial kita sering
membahas mengenai eating disorder atau gangguan makan. Mungkin sebagian
dari teman-teman sudah memahami mengenai gangguan makan ini. Namun, mungkin
juga ada teman-teman yang belum memahami apa itu eating disorder. Maka
dari itu, pada hari Sabtu, 10 April 2021, Hima Prodi Psikologi Universitas
Bunda Mulia Kampus Ancol, mengadakan siaran langsung di Instagram
(@himapsiubm) bersama salah satu dosen Psikologi, yaitu Ibu Nindya Putri
Aphrodita, S.Psi., M.Psi., Psikolog, untuk membahas mengenai gangguan makan
ini. Dan tulisan ini dibuat berdasarkan rangkuman dari siaran langsung
tersebut.
Gangguan makan atau eating disorder
merupakan salah satu gangguan mental yang bersifat persistent atau
berkelanjutan. Dilihat dari namanya saja, kita dapat mengetahui bahwa gangguan
ini berhubungan dengan pola makan seseorang. Biasanya, orang yang didiagnosa
dengan gangguan ini, akan mempengaruhi kesehatan fisiknya. Mereka juga mungkin
memiliki rasa cemas atau takut ketika mereka akan menyantap makanan mereka.
Dalam DSM V, umumnya terdapat 3 jenis
gangguan makan, yaitu Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, dan Binge
Eating Disorder. Secara sederhana, gangguan Anorexia Nervosa,
biasanya orang tersebut akan sangat membatasi makanannya, dan secara fisik,
orang dengan gangguan ini akan terlihat sangat kurus, atau memiliki berat badan
di bawah rata-rata. Sedangkan orang dengan gangguan Bulimia Nervosa
biasanya akan makan banyak dalam rentang waktu yang sempit, kemudian akan
melakukan tindakan compensatory. Perilaku compensatory ini
biasanya dilakukan dengan memuntahkan makanannya, berolahraga dengan keras atau
meminum obat pencahar. Secara fisik, orang dengan gangguan Bulimia Nervosa
cenderung memiliki berat badan yang normal atau rata-rata.
Sedangkan gangguan yang ketiga, yaitu Binge
Eating Disorder adalah gangguan dimana seseorang memakan makanan dengan
porsi banyak tanpa adanya perilaku compensatory. Dan orang dengan
gangguan ini cenderung memiliki berat badan yang lebih (overweight) dan
mulai menuju kepada obesitas.
Penyebab dari munculnya gangguan makan ini
tentu berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain. Namun secara umum,
terdapat dua penyebab, yaitu penyebab biologis dan penyebab psikologis. Secara
biologis, terdapat ketidak sesuaian antara hipotalamus, neurotransmitter dan hormon
dalam tubuh. Jadi, ketika tubuh kita sudah lapar, sinyal lapar tersebut tidak
sampai kepada otak, sehingga kita merasa tidak lapar dan akhirnya memutuskan
untuk tidak makan.
Secara psikologis, salah satu penyebabnya
adalah rendahnya self esteem seseorang dikarenakan standard kecantikan
yang berada di lingkungan. Misalnya, “kurus itu cantik” atau standard-standard
yang lain. Dengan berkembangnya standard ini di lingkungan, hal tersebut
menyebabkan orang merasa bahwa ia harus menurunkan berat badannya agar dianggap
cantik oleh lingkungannya.
Sama halnya dengan gangguan kesehatan
mental lainnya, gangguan makan ini memiliki beberapa stigma yang berkembang di
Indonesia. Pertama, karena gangguan makan ini dapat dilihat secara fisik,
biasanya orang jarang ada yang langsung berkonsultasi dengan psikolog atau
psikiater. Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak ada yang salah
dengan dirinya secara psikologis, maka ia memeriksakan dirinya ke dokter, bukan
ke psikolog atau psikiater.
Stigma lainnya yang berkembang adalah
orang-orang yang kurang paham mengenai gangguan mental atau gangguan makan,
cenderung merendahkan. Misalnya dengan mengucapkan “lebay. Gitu aja takut
gendut” dan sebagainya. Kalimat-kalimat ini cenderung membuat orang yang
memiliki diagnosa gangguan makan menjadi takut untuk bercerita (speak up)
dan berakhir berdiam diri dengan gangguan yang ia miliki tersebut.
Kemudian, apa yang dapat kita lakukan jika
teman atau saudara kita yang memiliki symptom atau gejala dari gangguan
makan ini? Yang pertama, kita harus peka dengan perilakunya. Misalnya, ketika
ada teman yang sehabis makan banyak langsung pergi ke kamar mandi dan
menghabiskan waktu yang lama. Atau misalnya ada teman kita yang selalu menolak
ketika diajak makan bersama. Hal-hal kecil seperti itu harus kita berikan
perhatian khusus, karena bisa saja hal tersebut merupakan tanda orang tersebut
memiliki gangguan makan.
Hal kedua yang bisa kita lakukan
adalah coba untuk berbicara dengan teman kita tersebut. Tentu teman kita belum tentu
akan langsung bercerita mengenai masalahnya, dan kita tidak bisa memaksakan hal
tersebut. Yang bisa kita lakukan adalah kita sabar menunggunya siap untuk
bercerita dan menegaskan kepada dia bahwa kita akan selalu ada untuknya. Dan
hal ketiga yang bisa kita lakukan adalah mendorongnya untuk pergi ke
professional (psikolog/psikiater) supaya teman kita bisa mendapatkan diagnosa
yang tepat dan pengobatan terbaik.
Tulisan ini dibuat bukan semata-mata agar
teman-teman melakukan self diagnose. Tulisan ini dibuat untuk memberikan
pemahaman lebih mengenai eating disorder dan juga gangguan kesehatan
mental dan membuktikan bahwa gangguan ini nyata. Siapapun bisa memiliki
gangguan kesehatan mental, termasuk gangguan ini. Bisa kita sendiri ataupun
orang terdekat kita. Maka dari itu, bersikaplah peka terhadap diri sendiri
ataupun orang lain.
Jika kalian merasa tidak nyaman dengan
diri sendiri, cobalah untuk pergi ke psikolog atau psikiater terpercaya
(tersertifikasi dan terdaftar di HIMPSI untuk psikolog). Jangan pernah mencoba
untuk melakukan self diagnose. Dengan pergi ke professional, kita
mungkin dapat menemukan jawaban dari ketidaknyamanan diri kita sendiri. Stay
healthy!!