Thursday, December 7, 2023

Gangguan Makan Pica

Sumber: https://res.cloudinary.com/dk0z4ums3/image/upload/v1700014416/attached_image/gangguan-makan-pica-kebiasaan-mengonsumsi-benda-benda-bukan-makanan-2.jpg

Gangguan makan adalah rangkaian dari gangguan mental yang ditandai dengan adanya pola makan yang tidak wajar. Hal tersebut dapat berdampak bagi kesehatan fisik, mental, dan emosional. Selain itu, gangguan makan juga dapat memengaruhi kemampuan tubuh seseorang untuk mendapatkan gizi. Apabila dibiarkan begitu saja, maka gangguan makan ini bisa memberikan dampak negatif bagi organ-organ tubuh lainnya bahkan memberikan risiko komplikasi yang serius sampai kematian. Manusia membutuhkan gizi yang berasal dari makanan sehat. Makanan sehat terdiri dari kumpulan macam makanan yang seimbang sehingga dapat membuat tubuh kita terpenuhi nutrisinya. Tetapi, pernahkah kalian melihat seseorang yang suka mengonsumsi hal yang tidak bisa disebut sebagai makanan? Jika pernah, hal tersebut dapat dikatakan sebagai pica eating disorder.

Pica berasal dari bahasa latin yaitu murai yang dimana adalah seekor burung yang hampir memakan apa saja dan dengan itu pica disebut sebagai hasrat seseorang untuk memakan barang yang bukan makanan. Pica eating disorder adalah kelainan makan dimana seorang individu memakan makanan yang biasanya tidak dianggap sebagai makanan dan makanan yang memiliki gizi. Selain itu, pica juga dapat diartikan sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan keinginan yang sifatnya abnormal untuk memakan sesuatu yang tidak layak untuk dikonsumsi. Pica memiliki banyak macam yang berbeda yaitu  trichophagia (memakan rambut), geophagia (memakan tanah)  atau  bahkan coprophagia (memakan  kotoran). Hal tersebut tergantung dengan apa yang dikonsumsi.

Penyebab gangguan pica masih belum diketahui lebih lanjut, tetapi ada beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan gangguan ini yaitu faktor budaya atau lingkungan dan keluarga, stres, status sosial ekonomi rendah, dan kelainan biokimia. Tetapi kebanyakan gangguan pica ini disertai oleh gangguan-gangguan lain seperti orang-orang yang mengalami obsesif kompulsif, mereka menggunakan pica sebagai coping mechanism serta orang-orang yang mempunyai gangguan skizofrenia juga mengalami delusi barang-barang itu sebagai makanan, maka dari itu mereka memakannya. 

Penderita pica juga dapat mengembangkan gejala fisik seperti sakit perut, gigi patah atau rusak, keracunan timbal, hingga tinja berdarah, selain itu beberapa penderita juga terdiagnosa mengalami kadar zat besi atau hemoglobin yang rendah.

Bagi penderita pica, dampak yang didapatkan tergantung dengan apa yang dikonsumsi oleh penderita, berikut diantaranya:

1.  Mengonsumsi tanah atau pasir akan membuat nyeri lambung dan pendarahan.

2.      Mengunyah es batu akan menimbulkan gigi yang abnormal.

3.      Memakan tanah liat dapat menimbulkan sembelit.

4.      Menelan benda-benda logam dapat menyebabkan perforasi usus.

5.      Memakan kotoran akan menimbulkan penyakit infeksi.

6. Memakan timah dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal dan mengakibatkan keterbelakangan mental.

Gejala utama dari gangguan ini adalah keinginan untuk terus-menerus memakan benda-benda yang bukan makanan. Benda-benda yang suka dimakan biasanya adalah tanah liat, kertas, kulit telur, kapur tulis, bedak bayi, abu rokok, lem, sabun mandi, koin, dan sebagainya. Adapun beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan gangguan makan ini seperti:

1.      Tekanan

2.      Faktor budaya

3.      Epilepsi

4.      Status sosial ekonomi rendah

5.      Penelantaran anak

6.      Psikopatologi keluarga

7.      Gangguan kesehatan mental 

8.      Kekurangan nutrisi

           Jadi dapat disimpulkan bahwa pica eating disorder adalah gangguan makan yang dimana seorang individu memakan makanan yang biasanya tidak dianggap sebagai makanan dan makanan yang memiliki gizi. Pica juga mempunyai banyak jenis yaitu trichophagia (memakan rambut), geophagia (memakan tanah) atau bahkan coprophagia (memakan  kotoran). Adapun gejala fisik dari gangguan ini seperti patah gigi, sakit perut, tinja berdarah hingga keracunan timbal, tetapi gejala utama dari gangguan makan ini adalah keinginan untuk terus-menerus memakan benda-benda yang bukan makanan. Penyebab dari gangguan ini belum diketahui pastinya tetapi ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan gangguan makan ini seperti tekanan, kekurangan nutrisi, gangguan kesehatan mental, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA 

Indriyani. (2021). Gangguan Makan Pica: Penyebab, Gejala, dan Pengobatan. Retrieved November 30, 2023. https://www.idntimes.com/health/medical/indri-yani-4/gangguan-makan-pica-c1c2

Katyusha, W. (2023). Eating Disorder (Gangguan Makan). Retrieved November 30, 2023. https://hellosehat.com/mental/gangguan-makan/eating-disorder/

Mukarromah, T.T. (2021). Behavior Modification in Children with Eating Behavior Disorder (Pica Disorder): A Literature Study. VISI : Jurnal Ilmiah Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal, 16(2), 95-108.

Rada. (2022). Makan Adalah. Retrieved November 30, 2023. https://dosenpintar.com/makan-adalah/


Wednesday, November 8, 2023

Saat Obsesi Terhadap Penampilan Menjadi Gangguan: Memahami Body Dysmorphic Disorder

 

Sumber: https://149349029.v2.pressablecdn.com/wp-content/uploads/2022/10/bdd-980x551.jpg

Setiap individu mengalami obsesi pribadi mereka sendiri, dan di antara berbagai jenis obsesi tersebut, salah satunya adalah kecenderungan terobsesi dengan penampilan pribadi. Obsesi ini berkaitan dengan keinginan untuk terlihat sebaik mungkin, terlepas dari segala ketidaksempurnaan yang mungkin terlihat dalam penampilan individu atau fokus pada aspek fisik dari diri mereka. Berdasarkan data statistik terkini, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 93% wanita dan 87% pria di Amerika Serikat memiliki kepedulian terhadap penampilan diri dan berupaya untuk meningkatkannya. Hasil data ini mencerminkan tingginya tingkat ketidakpuasan terhadap body image. Ketidakpuasan terhadap penampilan secara berlebihan dapat berkembang menjadi gangguan yang dikenal sebagai body dysmorphic disorder.

Pengertian

Body dysmorphic disorder merupakan suatu kondisi yang dicirikan dengan preokupasi berlebihan terhadap ketidaksempurnaan atau kecacatan dalam penampilan fisik seseorang, yang pada akhirnya menimbulkan distress dan mengganggu fungsi sosial (Adlya & Zola, 2019). Body dysmorphic disorder didefinisikan sebagai kecenderungan pikiran negatif individu mengenai perasaan kurangnya kepuasan terhadap penampilan fisik yang berdampak pada gangguan psikologis yang menghambat kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan optimal. Ketika terdapat kekurangan kecil dalam penampilan fisik, individu yang mengalami body dysmorphic disorder cenderung mengalami kecemasan yang sangat berlebihan. Gejala ini seringkali berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang memakan banyak waktu, seperti sering menatap diri sendiri di cermin dan membandingkan penampilan mereka dengan orang lain.

Pasien yang mengalami body dysmorphic disorder cenderung memiliki risiko menjadi pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit jiwa, dengan angka mencapai 48%. Sebanyak 31% dari mereka mengalami pengangguran, sementara 22-24% menghadapi resiko bunuh diri. Body dysmorphic disorder termasuk dalam kategori gangguan mental yang cukup langka, dengan hanya sekitar 1 hingga 1,5% dari populasi yang terkena dampaknya. Prevalensi tertinggi terjadi pada pasien psikiatri dan pasien bedah rekonstruksi serta estetika (Nurlita & Lisiswanti, 2016).

Body dysmorphic disorder cenderung muncul ketika seseorang memasuki masa remaja, khususnya sekitar usia 16-17 tahun, dengan gejala pertama yang biasanya muncul pada usia sekitar 12 atau 13 tahun. Dalam perkembangannya, perhatian berlebihan terhadap penampilan ini akan menjadi lebih menonjol hingga memenuhi kriteria diagnostik gangguan tersebut.

Kriteria

Ada beberapa gejala yang dapat diperhatikan pada body dysmorphic disorder, yang mencakup perilaku berulang pasien dalam mengkonfirmasi ketidakpuasan diri mereka, seperti melakukan pemeriksaan diri di cermin, menghindari cermin, menyisir rambut, mencabuti rambut, atau menerapkan tata rias, serta melakukan perbandingan berulang antara diri mereka dan tubuh individu lainnya. Umumnya, individu yang mengalami body dysmorphic disorder seringkali menghabiskan waktu yang cukup lama setiap harinya, yakni sekitar 1 hingga 8 jam, untuk merenungkan dan memperhatikan setiap aspek ketidaksempurnaan diri mereka. Selain itu, mereka juga cenderung sering mengunjungi klinik kecantikan guna mencoba memperbaiki segala kekurangan fisik yang mereka rasakan. Keadaan ini seringkali disertai oleh perasaan cemas, ketidaknyamanan, ketidakamanan, kurang percaya diri, serta kurangnya rasa menghargai diri sendiri. Hal-hal ini kemudian dapat menghambat perkembangan dan berdampak negatif pada kehidupan sehari-hari mereka. 

Menurut Watkins, Thompson (dalam Nourmalita, 2016) ada beberapa perilaku yang dapat mengidentifikasi body dysmorphic disorder antara lain:

1.      Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan.

2. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang.

3.      Meminta pendapat yang dapat memperkuat penampilannya.

4.      Menyamarkan kekurangan fisik yang dirasakannya.

5.      Menghindari situasi dan hubungan sosial.

6. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi penampilan fisiknya. 

7.      Berpikir untuk melakukan operasi plastik.

8.      Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.

9.  Mengubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya.

10. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.

11. Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir. 

Penyebab

Body dysmorphic disorder dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor genetik dan lingkungan. Meskipun belum ada kepastian ilmiah mengenai peran faktor genetik, riset menyatakan bahwa body dysmorphic disorder lebih sering terjadi pada individu yang memiliki riwayat keluarga dengan masalah serupa. Sementara itu, faktor lingkungan juga memiliki peran penting. Penilaian terhadap penampilan diri dalam lingkungan sosial dapat berdampak pada pola pikir seseorang, serta pengalaman traumatis atau peristiwa buruk di masa lalu individu juga dapat memengaruhi perkembangan gangguan ini.

Cara penanganan

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengatasi body dysmorphic disorder, seperti terapi non-farmakologis, yang melibatkan intervensi psikologis, seperti menggunakan pendekatan cognitive behavioral therapy. Dalam beberapa kasus, pasien juga memerlukan dukungan sosial untuk membantu mereka merasa lebih percaya diri dan mengatasi kekhawatiran mereka, seperti interaksi dengan individu yang mendukung pasien, membantu mereka meyakinkan diri bahwa persepsinya tentang kekurangan adalah tidak realistis, dan membantu mereka melihat bahwa perbedaan fisik adalah hal yang umum dalam keragaman manusia.

Gejala khusus juga mungkin memerlukan teknik tertentu, seperti pelatihan untuk mengubah kebiasaan perilaku kompulsif yang mungkin muncul. Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan yang tepat pula, individu yang mengalami body dysmorphic disorder memiliki kesempatan untuk mengelola body dysmorphic disorder dengan lebih baik.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa body dysmorphic disorder adalah suatu gangguan yang ditandai oleh preokupasi berlebihan terhadap ketidaksempurnaan fisik individu, yang dapat mengganggu fungsi sosial dan psikologis mereka. Gangguan ini umumnya muncul pada usia remaja dan berkaitan dengan perilaku kompulsif, seperti memeriksa diri di cermin, menghindari situasi sosial, dan mencari perbaikan fisik yang tidak realistis. Body dysmorphic disorder memiliki dampak serius, termasuk resiko pengangguran dan bahkan bunuh diri. Faktor genetik dan lingkungan dapat memengaruhi perkembangan gangguan ini. Pengobatan melibatkan terapi psikologis, seperti cognitive behavioral therapy dan dukungan sosial untuk membantu individu mengatasi ketidakpuasan terhadap penampilan mereka.


DAFTAR PUSTAKA


Adlya, S. I., & Zola, N. (2019). Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja. Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy. 4(2), h59-62.


Nurlita, D., Lisiswanti, R. (2016). Body Dysmorphic Disorder. Jurnal Majority. 5(5), h80-85.

Saturday, October 7, 2023

Gangguan yang Terobsesi dengan Makanan Sehat

Sumber: https://mentalandbodycare.com/wp-content/uploads/2016/11/ortorexia-grande.jpg
 

Tubuh membutuhkan asupan nutrisi dari berbagai jenis makanan sehat dan tidak terbatas pada satu jenis saja. Mengonsumsi berbagai jenis makanan dapat memberikan nutrisi yang berbeda karena mengonsumsi makanan sehat sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk menjaga fungsi organ dan memastikan kinerja tubuh. Pada umumnya, jenis makanan sehat tergolong dalam 4 sehat 5 sempurna yaitu bersih dan memiliki gizi yang seimbang. Keseimbangan dalam makanan sehat adalah makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Tetapi, ketika individu terobsesi dengan makanan sehat itu akan menimbulkan sebuah gangguan yang disebut dengan orthorexia nervosa. Yuk, kita kenali apa itu orthorexia nervosa.

Orthorexia nervosa adalah gangguan psikologis dimana penderita memiliki perasaan obsesi yang berlebihan terhadap pola makan yang sehat dan tidak memikirkan berat badan. Tetapi obsesi ini bisa merusak secara fisik, psikologis, dan sosial. Banyak gangguan makan yang memiliki fokus untuk menurunkan berat badannya dengan cara memaksakan diri untuk tidak makan atau memuntahkan kembali makanan yang telah disantap. Tetapi berbeda dengan orthorexia nervosa yang memiliki obsesi terhadap kualitas makanan yang akan dikonsumsi bukan dari banyaknya makanan yang dikonsumsi. 

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan munculnya gangguan orthorexia nervosa terhadap individu, yaitu: 

1.  Individu yang berasal dari keluarga tingkat penghasilan tinggi dan memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi.

2.      Memiliki kepribadian narsisme, perfeksionisme dan kompulsif.

3.  Memiliki riwayat gangguan makan dan gangguan psikologis seperti depresi, anxiety, obsesif-kompulsif dan afek negatif. 

4.      Individu yang menganut pola makan vegetarian.

5.      Individu yang sedang atau pernah menjalani diet khusus.

6.      Individu dengan pekerjaan sebagai artis, atlet atau petugas kesehatan.

Tanda-tanda Orthorexia Nervosa

Berbeda dengan gangguan makan (eating disorder) lainnya, orthorexia nervosa lebih mengacu kepada kondisi psikologis sehingga tidak ada definisi diagnosis secara klinis. American Psychiatric Association maupun DSM-5 sendiri belum secara resmi mengidentifikasi karakteristik gejala dari orthorexia nervosa. Walaupun begitu, ada beberapa ciri-ciri atau tanda-tanda yang dapat menunjukkan bahwa seseorang menderita orthorexia nervosa yaitu sebagai berikut:

1.  Obsesi yang berlebihan pada makan makanan yang sehat. Biasanya penderita orthorexia nervosa memiliki daftar jenis makanan yang menurut mereka boleh dikonsumsi tetapi sangat terbatas dan hanya beberapa jenis saja. Bahkan pada keadaan ekstrim, seseorang hanya akan makan makanan yang menurutnya adalah makanan yang sehat.

2.  Terdapat aturan pola makan sehat yang terlalu ketat tanpa adanya alasan atau saran medis yang jelas.

3. Pengidapnya memiliki pemikiran obsesif, perilaku kompulsif, sikap menghukum diri sendiri, dan sangat menentukan pantangan-pantangan dalam hal memilih makanan.

4.  Sangat menolak untuk mengonsumsi makanan yang mengandung residu pestisida, makanan genetically modified organism (GMO), makanan dengan lemak tidak sehat, dan makanan yang mengandung terlalu banyak garam atau gula.

5.  Khawatir berlebihan tanpa alasan yang jelas tentang penyajian, cara membersihkan, dan mengolah makanan.

Cara pengobatan/pencegahan Orthorexia Nervosa

Apabila sudah ada beberapa tanda-tanda seseorang mengalami orthorexia nervosa seperti yang telah dipaparkan di atas maka orang tersebut perlu diperlukan penanganan yang tepat dan segera. Berikut ini beberapa cara menangani orthorexia nervosa:

1.   Penanganan orthorexia nervosa memerlukan dukungan dari lingkungan di sekitar penderitanya. Lingkungan yang mendukung membantu seseorang dengan orthorexia nervosa mendapatkan dukungan positif dari orang-orang di sekitarnya sehingga dapat sembuh secara tepat.

2.  Penanganan lain yang bisa diberikan kepada orthorexia nervosa umumnya adalah dengan memberikan psikoterapi, terapi perilaku, atau pengobatan.

3.  Pada tahap awal, seorang dengan orthorexia nervosa dapat diberikan terapi kognitif. Terapi ini biasanya diberikan pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif dengan harapan dapat mengubah dan mengarahkan cara pandang seseorang yang tadinya kurang tepat terkait dengan pola makan yang sehat.

4.  Pemberian obat-obatan juga dapat diberikan untuk membantu mengurangi gejala dari orthorexia. Golongan obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi munculnya gejala orthorexia nervosa biasanya adalah antiansietas dan antidepresan.

5. Seseorang yang mengalami orthorexia nervosa disarankan untuk mengikuti kegiatan edukasi yang menambah informasi, memperluas wawasan, dan mengarahkan persepsi mereka tentang healthy eating yang benar.

6.  Mereka juga bisa mengakses laman yang berkaitan dengan kesehatan dan memperbanyak literasi mengenai informasi pedoman asupan gizi yang baik atau gaya hidup sehat untuk memperbaiki pola pikir yang sebelumnya kurang tepat mengenai gaya hidup sehat.

Kesimpulan

            Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orthorexia nervosa merupakan salah satu gangguan makan yang terobsesi dengan makanan sehat. Pada dasarnya, menerapkan pola makan sehat merupakan hal yang baik untuk mencegah berbagai macam penyakit. Namun, pada kasus tertentu pola makan sehat ini justru bisa menjadi gangguan patologis. Jika seseorang mulai menunjukkan obsesi terhadap pola makan sehat sehingga mengganggu kehidupan sosial dan keberlangsungan hidupnya maka bisa jadi orang tersebut mengalami orthorexia nervosa. Kecenderungan orthorexia nervosa yang ekstrem dan berkelanjutan akan berbahaya bagi penderitanya. Orthorexia nervosa juga memiliki beberapa kesamaan dengan anorexia nervosa dan bulimia nervosa, serta gangguan obsesif-kompulsif. Perbedaan mendasar untuk dapat membedakan orthorexia dengan gangguan makan lainnya adalah seseorang dengan orthorexia nervosa justru tidak memiliki masalah terhadap body image tetapi sangat terobsesi dengan makanan sehat.

Daftar Pustaka

Chairunnisa, Q. (2020). Mengenal Orthorexia Nervosa: Ketika Obsesi Makan Sehat jadi Berbahaya. Rukita.com. Retrieved September 27, 2023. Kenali Orthorexia: Ketika Obsesi Pola Makan Sehat jadi Berbahaya (rukita.co)

Costa, B.C., Khalil, H.K., & Gibss, K.  (2017). Orthorexia nervosa : A review of the literature. Issues in Mental Health Nursing. 12(38), h980-988.  https://doi.org/10.1080/01612840.2017.1371816

Fadli, R. (2022). Makanan Sehat. (n.d.) Retrieved September 28, 2023. https://www.halodoc.com/kesehatan/makanan-sehat

McComb, S.E., & Mills, J.S.(2019). Orthorexia nervosa: A review of psychosocial risk factors. Appetite.140, h50–75.

Nurulia. (2022). Mengenal Orthorexia Nervosa, Terlalu Terobsesi Dengan Makanan Sehat. Retrieved September 28, 2023. https://www.idntimes.com/health/medical/nena-zakiah-1/orthorexia-nervosa?page=all

Wahjoepramono, G.N.T. (n.d.).Orthorexia Nervosa: Diet Sehat Justru Menjadi Gangguan Makan. Alomedika. Retrieved September 27, 2023. https://www.alomedika.com/orthorexia-nervosa-diet-sehat-justru-menjadi-gangguan-makan

Zahra, A.M., Supriyanto, I., & Warsini, S. (2021). Gambaran kecenderungan orthorexia nervosa pada mahasiswa program studi kedokteran FK-KMK UGM. Jurnal Keperawatan Klinis dan Komunitas. 5(2), h102-114.

Saturday, September 9, 2023

Tidak Hanya Picky Eating Biasa: Ayo Kenali Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder!

 

Sumber: https://images.ctfassets.net/zkw0qlnf0vqv/psycom_page_fid29771_asset_29479/0c0a00e8125ce3d60385c283f110315a/child-refusing-food-47721328_L-1280x429?fm=webp&q=50&w=1200&h=600&fit=thumb


Makanan merupakan komponen penting bagi tubuh. Tanpa adanya asupan makanan, individu tidak dapat melakukan aktivitas. Akan tetapi dalam beberapa kasus, ada beberapa individu yang memiliki ketakutan maupun tantangan yang kompleks dan memiliki preferensi terhadap makanan yang  ekstrem. 

Hal tersebut dapat menyebabkan munculnya gangguan makan yang disebut sebagai avoidant/restrictive food intake disorder atau sebelumnya dikenal sebagai selective eating disorder. Gangguan ini seringkali dialami pada masa kanak-kanak sehingga sering disalahpahami sebagai sekadar pilih-pilih makanan (picky eating) karena masih dalam masa pertumbuhan.

APA ITU AVOIDANT/RESTRICTIVE FOOD INTAKE DISORDER? 

Avoidant/restrictive food intake disorder merupakan gangguan makan yang mengakibatkan kegagalan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dan makan secara ekstrem yang disebabkan karena penghindaran makanan atau pilihan makanan yang terbatas seperti memiliki ketakutan terhadap makanan tertentu, memiliki keengganan sensorik terhadap rasa, tekstur, dan aroma tertentu, hingga kecemasan atau keengganan untuk menelan—takut tersedak.

Seseorang dengan penderita ARFID tidak mengkonsumsi cukup kalori untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada anak-anak, hal ini menyebabkan terhambatnya kenaikan berat badan dan pertumbuhan vertikal; pada orang dewasa, hal ini menyebabkan penurunan berat badan.

PERBEDAAN PICKY EATING DAN AVOIDANT/RESTRICTIVE FOOD INTAKE DISORDER 

        Individu yang picky terhadap makanan, pada umumnya masih memiliki pola makan yang seimbang dan tidak mengalami kesulitan saat menghadapi makanan yang tidak dikenal dan yang tidak mereka sukai. Sedangkan, individu penderita ARFID memiliki keengganan yang ekstrem terhadap tekstur, warna, bau, atau rasa makanan tertentu yang menyebabkan mereka menghindari makanan tertentu.

KRITERIA DIAGNOSIS DAN GEJALA AVOIDANT/RESTRICTIVE FOOD INTAKE DISORDER ?

Individu dengan ARFID tidak mengkonsumsi cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi atau energi mereka. Kondisi ini diklasifikasikan sebagai gangguan makan dalam DSM-5, dan gejalanya antara lain: 

1.    Kesulitan untuk makan, seperti tampak tidak tertarik pada makanan, menghindari makanan tertentu berdasarkan tekstur, bau, dan rasanya, atau khawatir akan hasil negatif dari makan. Hal ini dapat menyebabkan tidak tercukupinya nutrisi dan energi yang sesuai dengan salah satu (atau lebih) hal berikut ini:

a.  Penurunan berat badan yang terus-menerus (atau berat badan tidak bertambah seperti yang diharapkan, atau pertumbuhan yang lambat pada anak-anak).

b.     Kekurangan nutrisi yang signifikan.

c.     Ketergantungan pada selang makanan atau suplemen nutrisi oral. 

d.   Gangguan pada fungsi psikososial seperti kesulitan makan dengan orang lain dan perlu waktu yang lama untuk makan.

2.   Diagnosis diberikan jika pola makan orang tersebut bukan disebabkan oleh kurangnya makanan yang tersedia, tahap perkembangan, praktik budaya, kondisi kesehatan mental lain, atau masalah medis.

3.   ARFID berbeda dengan anoreksia nervosa dan bulimia nervosa, karena ARFID tidak melibatkan gangguan mengenai bentuk atau ukuran tubuh, atau ketakutan akan kegemukan.

Tanda-tanda lainnya bahwa seseorang mungkin menderita ARFID meliputi penurunan berat badan yang substansial, kelelahan, kekurangan energi yang konsisten, selalu merasa kedinginan, sakit perut yang konsisten, pembatasan makanan secara tiba-tiba, ketergantungan pada suplemen, ketakutan akan tersedak, muntah, atau sakit perut, preferensi yang kuat terhadap tekstur makanan, rambut yang tipis, kuku yang rapuh, dan pada wanita, hilangnya siklus menstruasi.

APA SAJA FAKTOR PENYEBAB AVOIDANT/RESTRICTIVE FOOD INTAKE DISORDER?

Meskipun penyebab pasti ARFID tidak sepenuhnya dipahami, kombinasi faktor genetik, psikologis, sensorik, dan lingkungan kemungkinan besar berperan. Berikut ini adalah beberapa faktor penyebab ARFID:

1.  Individu dengan kondisi spektrum autisme, ADHD dan cacat intelektual lebih mungkin untuk mengalami ARFID.

2.     Pola asuh orang tua yang cemas atau orang tua yang memiliki gangguan makan.

3.  Banyak anak dengan ARFID juga memiliki gangguan kecemasan yang terjadi bersamaan, dan mereka memiliki risiko tinggi untuk mengalami gangguan kejiwaan lainnya.

4.  Anak dengan ARFID memiliki penyakit refluks gastroesofagus (GERD), esofagitis eosinofilik, alergi, atau kondisi medis lain yang dapat menyebabkan gangguan makan.\


BAGAIMANA MENANGANI AVOIDANT/RESTRICTIVE FOOD INTAKE 

DISORDER ?  

Penanganan untuk ARFID biasanya melibatkan dokter, ahli gizi dan terapis yang terspesialisasi dalam gangguan makan atau pemberian makan. Perawatannya terdiri dari konseling nutrisi, perawatan medis dan terapi pemberian makan. 

Tujuan utama perawatan ARFID adalah untuk:

1.     Mencapai dan mempertahankan berat badan dan pola makan yang sehat 

2.     Meningkatkan variasi makanan yang dimakan.

3.     Mempelajari cara-cara untuk makan tanpa takut akan rasa sakit atau tersedak.

Sebagian besar individu penderita ARFID dapat dirawat di rumah, dengan beberapa membutuhkan program yang lebih ketat di rumah sakit. Seseorang yang mengalami penurunan berat badan secara drastis dan kekurangan gizi atau masalah kesehatan yang serius akan memerlukan perawatan di rumah sakit. Beberapa individu dengan ARFID mungkin memerlukan makanan melalui selang atau formula nutrisi untuk mendapatkan kalori dan vitamin yang diperlukan.

Meningkatkan kesadaran akan gejala dan kriteria ARFID sangat penting untuk memastikan bahwa mereka yang sedang berjuang mendapatkan dukungan dan pemahaman yang mereka butuhkan dari keluarga hingga teman. 

KESIMPULAN

    Avoidant/restrictive food intake disorder (ARFID) merupakan gangguan makan yang jauh lebih kompleks daripada pilih-pilih makanan, dengan konsekuensi yang berpotensi serius bagi kesehatan fisik dan kesejahteraan emosional. Dengan mengenali karakteristik ARFID dan memahami penyebab serta penanganannya, kita dapat secara kolektif lebih berempati dan mendukung individu yang mengalami ARFID.

DAFTAR PUSTAKA

National Eating Disorders Association. (n.d.). ARFID (Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder). Retrieved August 28,2023. https://www.nationaleatingdisorders.org/learn/by-eating-disorder/arfid

 

Psychology Today. (2021). ARFID (Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder). Retrieved August 28, 2023. https://www.psychologytoday.com/intl/conditions/arfid-avoidant-restrictive-food-intake-disorder#causes

 

Zimmerman, J., & Fisher, M. (2017) Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID). Current Problems in Pediatric and Adolescent Health Care, 47(4), h95-103. https://doi.org/10.1016/j.cppeds.2017.02.005


Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...