Wednesday, November 8, 2023

Saat Obsesi Terhadap Penampilan Menjadi Gangguan: Memahami Body Dysmorphic Disorder

 

Sumber: https://149349029.v2.pressablecdn.com/wp-content/uploads/2022/10/bdd-980x551.jpg

Setiap individu mengalami obsesi pribadi mereka sendiri, dan di antara berbagai jenis obsesi tersebut, salah satunya adalah kecenderungan terobsesi dengan penampilan pribadi. Obsesi ini berkaitan dengan keinginan untuk terlihat sebaik mungkin, terlepas dari segala ketidaksempurnaan yang mungkin terlihat dalam penampilan individu atau fokus pada aspek fisik dari diri mereka. Berdasarkan data statistik terkini, dapat disimpulkan bahwa sebanyak 93% wanita dan 87% pria di Amerika Serikat memiliki kepedulian terhadap penampilan diri dan berupaya untuk meningkatkannya. Hasil data ini mencerminkan tingginya tingkat ketidakpuasan terhadap body image. Ketidakpuasan terhadap penampilan secara berlebihan dapat berkembang menjadi gangguan yang dikenal sebagai body dysmorphic disorder.

Pengertian

Body dysmorphic disorder merupakan suatu kondisi yang dicirikan dengan preokupasi berlebihan terhadap ketidaksempurnaan atau kecacatan dalam penampilan fisik seseorang, yang pada akhirnya menimbulkan distress dan mengganggu fungsi sosial (Adlya & Zola, 2019). Body dysmorphic disorder didefinisikan sebagai kecenderungan pikiran negatif individu mengenai perasaan kurangnya kepuasan terhadap penampilan fisik yang berdampak pada gangguan psikologis yang menghambat kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan optimal. Ketika terdapat kekurangan kecil dalam penampilan fisik, individu yang mengalami body dysmorphic disorder cenderung mengalami kecemasan yang sangat berlebihan. Gejala ini seringkali berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang memakan banyak waktu, seperti sering menatap diri sendiri di cermin dan membandingkan penampilan mereka dengan orang lain.

Pasien yang mengalami body dysmorphic disorder cenderung memiliki risiko menjadi pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit jiwa, dengan angka mencapai 48%. Sebanyak 31% dari mereka mengalami pengangguran, sementara 22-24% menghadapi resiko bunuh diri. Body dysmorphic disorder termasuk dalam kategori gangguan mental yang cukup langka, dengan hanya sekitar 1 hingga 1,5% dari populasi yang terkena dampaknya. Prevalensi tertinggi terjadi pada pasien psikiatri dan pasien bedah rekonstruksi serta estetika (Nurlita & Lisiswanti, 2016).

Body dysmorphic disorder cenderung muncul ketika seseorang memasuki masa remaja, khususnya sekitar usia 16-17 tahun, dengan gejala pertama yang biasanya muncul pada usia sekitar 12 atau 13 tahun. Dalam perkembangannya, perhatian berlebihan terhadap penampilan ini akan menjadi lebih menonjol hingga memenuhi kriteria diagnostik gangguan tersebut.

Kriteria

Ada beberapa gejala yang dapat diperhatikan pada body dysmorphic disorder, yang mencakup perilaku berulang pasien dalam mengkonfirmasi ketidakpuasan diri mereka, seperti melakukan pemeriksaan diri di cermin, menghindari cermin, menyisir rambut, mencabuti rambut, atau menerapkan tata rias, serta melakukan perbandingan berulang antara diri mereka dan tubuh individu lainnya. Umumnya, individu yang mengalami body dysmorphic disorder seringkali menghabiskan waktu yang cukup lama setiap harinya, yakni sekitar 1 hingga 8 jam, untuk merenungkan dan memperhatikan setiap aspek ketidaksempurnaan diri mereka. Selain itu, mereka juga cenderung sering mengunjungi klinik kecantikan guna mencoba memperbaiki segala kekurangan fisik yang mereka rasakan. Keadaan ini seringkali disertai oleh perasaan cemas, ketidaknyamanan, ketidakamanan, kurang percaya diri, serta kurangnya rasa menghargai diri sendiri. Hal-hal ini kemudian dapat menghambat perkembangan dan berdampak negatif pada kehidupan sehari-hari mereka. 

Menurut Watkins, Thompson (dalam Nourmalita, 2016) ada beberapa perilaku yang dapat mengidentifikasi body dysmorphic disorder antara lain:

1.      Secara berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan.

2. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang.

3.      Meminta pendapat yang dapat memperkuat penampilannya.

4.      Menyamarkan kekurangan fisik yang dirasakannya.

5.      Menghindari situasi dan hubungan sosial.

6. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi penampilan fisiknya. 

7.      Berpikir untuk melakukan operasi plastik.

8.      Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.

9.  Mengubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya.

10. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.

11. Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir. 

Penyebab

Body dysmorphic disorder dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk faktor genetik dan lingkungan. Meskipun belum ada kepastian ilmiah mengenai peran faktor genetik, riset menyatakan bahwa body dysmorphic disorder lebih sering terjadi pada individu yang memiliki riwayat keluarga dengan masalah serupa. Sementara itu, faktor lingkungan juga memiliki peran penting. Penilaian terhadap penampilan diri dalam lingkungan sosial dapat berdampak pada pola pikir seseorang, serta pengalaman traumatis atau peristiwa buruk di masa lalu individu juga dapat memengaruhi perkembangan gangguan ini.

Cara penanganan

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengatasi body dysmorphic disorder, seperti terapi non-farmakologis, yang melibatkan intervensi psikologis, seperti menggunakan pendekatan cognitive behavioral therapy. Dalam beberapa kasus, pasien juga memerlukan dukungan sosial untuk membantu mereka merasa lebih percaya diri dan mengatasi kekhawatiran mereka, seperti interaksi dengan individu yang mendukung pasien, membantu mereka meyakinkan diri bahwa persepsinya tentang kekurangan adalah tidak realistis, dan membantu mereka melihat bahwa perbedaan fisik adalah hal yang umum dalam keragaman manusia.

Gejala khusus juga mungkin memerlukan teknik tertentu, seperti pelatihan untuk mengubah kebiasaan perilaku kompulsif yang mungkin muncul. Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan yang tepat pula, individu yang mengalami body dysmorphic disorder memiliki kesempatan untuk mengelola body dysmorphic disorder dengan lebih baik.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa body dysmorphic disorder adalah suatu gangguan yang ditandai oleh preokupasi berlebihan terhadap ketidaksempurnaan fisik individu, yang dapat mengganggu fungsi sosial dan psikologis mereka. Gangguan ini umumnya muncul pada usia remaja dan berkaitan dengan perilaku kompulsif, seperti memeriksa diri di cermin, menghindari situasi sosial, dan mencari perbaikan fisik yang tidak realistis. Body dysmorphic disorder memiliki dampak serius, termasuk resiko pengangguran dan bahkan bunuh diri. Faktor genetik dan lingkungan dapat memengaruhi perkembangan gangguan ini. Pengobatan melibatkan terapi psikologis, seperti cognitive behavioral therapy dan dukungan sosial untuk membantu individu mengatasi ketidakpuasan terhadap penampilan mereka.


DAFTAR PUSTAKA


Adlya, S. I., & Zola, N. (2019). Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja. Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy. 4(2), h59-62.


Nurlita, D., Lisiswanti, R. (2016). Body Dysmorphic Disorder. Jurnal Majority. 5(5), h80-85.

No comments:

Post a Comment

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...