Friday, December 20, 2024

Apa itu OCD? Ayo Kita Kenali OCD Bersama-sama!

 Edisi Desember 2024

Apa itu OCD? 
Ayo Kita Kenali OCD Bersama-sama!


Penulis : Chelsea Christy Setiawan


Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar atau bahkan bisa saja merasa asing dengan kata OCD. Nah, maka dari itu disini saya mengajak kita semua untuk bersama-sama mengenal dan memahami apa sih itu OCD. 


OCD memiliki kepanjangan Obsessive Compulsive Disorder yang artinya sebuah gangguan mental yang ditandai dengan adanya obsesi atau kompulsi, atau keduanya. Obsesi adalah gambaran, pikiran, atau dorongan yang terus-menerus dan mengganggu; kompulsi adalah perilaku berulang atau tindakan mental yang membuat seseorang merasa terdorong untuk melakukannya guna mencegah atau mengurangi tekanan atau untuk mencegah suatu kejadian atau situasi yang ditakuti.


OCD merupakan gangguan mental keempat yang paling umum setelah depresi, penyalahgunaan alkohol/zat, dan fobia sosial, dengan prevalensi seumur hidup dalam survei komunitas sebesar 1,6%. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan OCD sebagai salah satu dari 10 kondisi yang paling merugikan karena hilangnya pendapatan dan menurunnya kualitas hidup.


Usia rata-rata timbulnya OCD adalah akhir masa remaja untuk pria dan awal 20-an untuk wanita. Namun, OCD juga dapat muncul pada orang yang lebih tua, baik setelah riwayat kondisi yang panjang yang sebelumnya tidak terdiagnosis atau dengan gejala yang timbul lebih baru. OCD terjadi dengan prevalensi titik sekitar 1% dari populasi. Anak-anak dan remaja juga dapat mengalami OCD, dengan prevalensi sekitar 0,25% pada anak usia 5-15 tahun. 


Tentunya ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami OCD, seperti :

  1. Biologi. OCD mungkin merupakan akibat dari perubahan kimia alami tubuh atau jamur otak.

  2. Genetika. kemungkinan OCD memiliki komponen genetik. Namun gen spesifiknya belum dapat diidentifikasi.

  3. Dipelajari. Ketakutan obsesif dan perilaku kompulsif dapat dipelajari dari pengamatan secara bertahap dan dipelajari dari waktu ke waktu. Seseorang yang OCD mungkin secara sadar mengamati dan mempelajari perilaku kompulsif dari anggota keluarganya.


Gejala gangguan OCD dapat dibagi menjadi 2, yaitu:

  1. OCD Obsesif

  • OCD dengan perilaku obsesif biasanya didorong dengan pikiran yang sebenarnya tidak diinginkan dan dapat menyebabkan penderitanya merasa cemas jika tak dilakukan. Lebih tepatnya, OCD obsesif lebih menekankan pikiran dan keinginan penderitanya. Beberapa contoh tindakan obsesif yang menjadi ciri-ciri OCD adalah sebagai berikut:

  • Merasa takut secara berlebihan terhadap kontaminasi kuman, virus, atau kotoran.

  • Kesulitan dalam menghadapi ketidakpastian. Misalnya, Anda akan merasa khawatir secara berlebihan ketika menduga-duga apakah kompor telah dimatikan atau belum.

  • Berperilaku agresif secara umum.

  • Memiliki keinginan untuk menata barang atau benda tertentu dengan tepat dan simetris.

 

  1. OCD Kompulsif

  • Sedikit berbeda dengan obsesif, tindakan kompulsif dalam OCD adalah berkaitan dengan perilaku penderitanya yang dilakukan berulang kali. Perilaku kompulsif ini biasanya bertujuan untuk mengurangi rasa cemas karena penderitanya memiliki pemikiran obsesif tersebut dan sering kali tindakan kompulsif dari OCD ini bersifat tidak masuk akal. Beberapa contoh tindakan kompulsif dari OCD adalah sebagai berikut:

  • Mencuci tangan berulang kali dan secara berlebihan.

  • Mengatur barang atau benda secara simetris.

  • Memeriksa pintu yang sudah dikunci berulang kali.

  • Mengulang kata-kata tertentu saat sedang berbicara dengan pelan.

  • Menghitung suatu hal untuk memastikannya berada pada pola tertentu.


Lalu, apakah gangguan OCD ini dapat disembuhkan? Tentu saja bisa disembuhkan walau tidak hilang secara total serta membutuhkan waktu pengobatan yang cukup lama. Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa orang dapat menghabiskan 10 tahun atau lebih berjuang melawan OCD sebelum mereka mendapatkan bantuan yang tepat.


Ada beberapa terapi yang biasa dijadikan sebagai langkah penanganan pasien OCD untuk mengurangi gejalanya. Pasien OCD akan disarankan oleh dokter untuk menjalani terapi psikologis atau psikoterapi. Psikoterapi ini dilakukan oleh psikiater dengan membimbing pasien untuk mengenali perasaan, pikiran, serta kondisi yang dialaminya. Dengan begitu, pasien dapat berperilaku positif dalam menangani masalah yang dihadapi.


Salah satu psikoterapi yang biasa dilakukan untuk pengobatan OCD adalah terapi perilaku kognitif atau CBT. Selain itu, pengobatan OCD juga bisa dilakukan dengan mengonsumsi obat-obatan. Beberapa jenis obat yang biasa diresepkan untuk penderita OCD yaitu antidepresan, antipsikotik, dan sejenisnya.


Kesimpulan

OCD atau Obsessive Compulsive Disorder merupakan sebuah gangguan mental yang ditandai dengan adanya obsesi atau kompulsi, atau keduanya. OCD dapat dialami oleh berbagai kalangan usia dari anak-anak sampai orang yang lebih tua. Penyebab OCD bisa dari faktor biologis, genetika ataupun dipelajari dari lingkungan sekitarnya. Gejala gangguan OCD dapat dibagi menjadi dua yaitu OCD Obsesif dan OCD Kompulsif. Ada beberapa penanganan atau pengobatan yang dapat dilakukan seperti psikoterapi (terapi perilaku kognitif) atau mengonsumsi obat-obatan (antidepresan, antipsikotik, dan sejenisnya).



Daftar Pustaka


Attiullah, N., Eisen, J. L., & Rasmussen, S. A. (2000). Clinical features of obsessive-compulsive disorder. Psychiatric Clinics of North America, 23(3), 469-491.


Veale, D., & Roberts, A. (2014). Obsessive-compulsive disorder. Bmj, 348, g2183.


Febrina B.S. (2024). Mengenal “OCD” Obsessive Compulsive Disorder. Hermina Yogya


Lim V. (2024). Obsessive Compulsive Disorder (OCD): Penyebab & Pengobatannya. Siloam Hospitals

Sunday, November 24, 2024

Masih kurang percaya diri ? Mungkin kamu memerlukan “Self-Efficacy” nih!

 

Edisi November 2024

Masih kurang percaya diri ?
Mungkin kamu memerlukan “Self-Efficacy” nih!

Penulis : Gabriella Jocelyn & Vanessa Sharon


Dalam hidup, kita sering kali dihadapkan pada pilihan sulit dan tantangan besar. Namun, yang membedakan adalah bukan hanya kemampuan, melainkan sejauh mana kita percaya pada diri kita sendiri untuk menghadapinya. Welcome to Self-Efficacy.


Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan tertentu. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Albert Bandura dalam teori pembelajaran sosialnya, dan telah menjadi salah satu konsep utama dalam psikologi dan pengembangan diri. 


Dalam Teori Pembelajaran Sosial yang dikemukakan oleh Bandura, self-efficacy berperan penting dalam memotivasi individu untuk menghadapi tantangan. Keyakinan yang tinggi pada diri sendiri dapat meningkatkan usaha dan ketekunan, bahkan dalam menghadapi rintangan besar, sementara ketidakpercayaan pada kemampuan diri sering kali menyebabkan seseorang menghindari tantangan dan menyerah dengan cepat.


Bandura mengidentifikasi empat sumber utama yang mempengaruhi pembentukan self-efficacy seseorang, yaitu:

  • Pengalaman Mastery (pengalaman langsung): Keberhasilan yang diperoleh dari pengalaman, meningkatkan keyakinan diri, disertai dengan pembelajaran atau pemahaman yang tepat.

  • Pengalaman Vikarius (modeling atau pembelajaran melalui observasi): Kita dapat belajar melalui orang lain yang berhasil (atau gagal) dalam melakukan sesuatu yang serupa. Hal dapat mempengaruhi keyakinan kita terhadap kemampuan kita sendiri.

  • Verbal Persuasion (persuasi verbal): Dukungan dan dorongan positif dari orang lain, seperti guru, teman, atau mentor, bisa memperkuat keyakinan kita bahwa kita mampu mengatasi tantangan.

  • Keadaan Fisiologis & Emosional: Perasaan stres, kecemasan, atau bahkan perasaan tenang dan percaya diri dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menilai kemampuannya untuk menyelesaikan tugas atau menghadapi situasi.


Self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengatur dan menjalankan tindakan yang diperlukan guna mencapai tujuan tertentu. Jika seseorang tidak memiliki self-efficacy, hal ini dapat berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, seperti:

  • Kurang Motivasi: Orang dengan self-efficacy rendah sering merasa tidak mampu menghadapi tantangan. Hal ini dapat mengurangi motivasi untuk mencoba hal-hal baru atau menyelesaikan tugas, karena mereka cenderung percaya bahwa usaha mereka akan sia-sia.

  • Mudah Menyerah: Ketika menghadapi hambatan, mereka lebih cenderung menyerah lebih awal dibandingkan orang dengan self-efficacy tinggi. Hambatan kecil pun dapat terasa seperti rintangan besar yang tidak dapat diatasi.

  • Kinerja Rendah: Self-efficacy rendah dapat memengaruhi cara seseorang menghadapi tugas-tugas sulit, yang pada akhirnya memengaruhi hasil kinerja. Mereka mungkin mengalami kesulitan mengambil keputusan atau berusaha secara maksimal.

  • Kesejahteraan Mental Menurun: Self-efficacy rendah sering dikaitkan dengan emosi negatif, seperti kecemasan, stres, atau depresi. Orang mungkin merasa tidak berdaya atau terjebak dalam situasi yang tidak bisa mereka kendalikan.

  • Kurang Resiliensi: Mereka mungkin merasa tidak percaya diri dalam hubungan sosial, menghindari interaksi, atau merasa cemas terhadap penilaian orang lain, yang dapat menghambat pembangunan relasi yang sehat.

  • Gangguan Hubungan Sosial: Mereka mungkin merasa tidak percaya diri dalam hubungan sosial, menghindari interaksi, atau merasa cemas terhadap penilaian orang lain, yang dapat menghambat pembangunan relasi yang sehat.


Percaya pada diri sendiri adalah langkah pertama menuju keberhasilan. Dengan keyakinan bahwa kita mampu menghadapi tantangan, mengatasi rintangan, dan mencapai tujuan terbaik dalam diri kita. Berikut adalah hal-halyang dapat dilakukan untuk membangun self-efficacy:

  • Yang pertama, Tetapkan Tujuan Kecil dan Realistis

  • Mulai dengan langkah kecil yang dapat dicapai untuk membangun rasa percaya diri. 

  • Rayakan pencapaian kecil meskipun tampak sederhana.

  • Refleksi Diri

  • Ingat kembali keberhasilan masa lalu untuk menumbuhkan keyakinan bahwa Anda mampu mencapai tujuan.

  • Cari Dukungan Sosial

  • Berbagi tantangan Anda dengan orang-orang terpercaya yang dapat memberikan dorongan dan motivasi.

  • Terlibat dalam lingkungan positif yang mendukung pertumbuhan diri.

  • Belajar dari Role Model

  • Perhatikan orang lain yang berhasil dalam situasi serupa. Amati bagaimana mereka mengatasi tantangan dan gunakan itu sebagai inspirasi.

  • Latihan dan Pengembangan Keterampilan

  • Tingkatkan kemampuan melalui pembelajaran dan praktik terus-menerus.

  • Dengan kompetensi yang lebih baik, rasa percaya diri pun akan meningkat.

  • Ubah Pola Pikir

  • Fokus pada proses belajar daripada hasil akhir. Lihat kegagalan sebagai peluang untuk tumbuh, bukan akhir dari segalanya.

  • Kelola Pikiran Negatif

  • Tantang pikiran negatif seperti "saya tidak bisa melakukannya" dengan menggantinya menjadi "saya akan mencobanya."

  • Gunakan afirmasi positif untuk meningkatkan kepercayaan diri.

  • Ciptakan Lingkungan yang Mendukung

  • Kurangi pengaruh dari orang atau situasi yang membuat Anda merasa tidak mampu.

  • Ciptakan lingkungan yang memungkinkan Anda berkembang tanpa tekanan berlebihan.

  • Ikuti Pelatihan atau Terapi

  • Ikut program pengembangan diri atau terapi kognitif untuk membantu mengubah cara pandang Anda terhadap kemampuan diri.


KESIMPULAN

Keyakinan pada kemampuan diri memainkan peran penting dalam menentukan keberhasilan seseorang. Dengan self-efficacy yang tinggi, individu lebih cenderung menetapkan tujuan, bertahan menghadapi tantangan, dan mengelola stres secara efektif. Self-efficacy tidak hanya memengaruhi cara seseorang berpikir dan bertindak, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan. Penting untuk terus membangun self-efficacy melalui pengalaman, belajar dari keberhasilan, dan mendapatkan dukungan dari lingkungan yang positif.


DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. Prentice-Hall. 

            Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control.

Maddux, J. E. (2005). Self-efficacy: The power of believing you can. In Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (Eds.), Handbook of Positive Psychology (pp. 277–287). Oxford University Press.

Schunk, D. H., & Pajares, F. (2001). The development of academic self-efficacy. In A. Wigfield & J. Eccles (Eds.), Development of achievement motivation (pp. 15–31). San Diego: Academic Press.

Wood, R., & Bandura, A. (1989). Impact of conceptions of ability on self-regulatory mechanisms and complex decision-making. Journal of Personality and Social Psychology, 56(3), 407–415.

Zimmerman, B. J. (2000). Self-efficacy: An essential motive to learn. Contemporary Educational Psychology, 25(1), 82–91.


Friday, October 18, 2024

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024 

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental? 

Penulis : Gabriella Jocelyn & Vanessa Sharon

        Pernahkah Anda merasa begitu penuh dengan emosi hingga seolah-olah ingin meledak? Menangis tanpa alasan yang jelas atau merasa marah dengan intensitas yang sulit dikendalikan? Mungkin yang Anda alami itu merupakan kebutuhan akan katarsis, sebuah proses emosional yang sering kali menjadi jalan keluar dari ketegangan yang kita alami dalam hidup sehari-hari.
    
        Dalam dunia yang penuh tekanan, katarsis menjadi salah satu cara bagi tubuh dan pikiran untuk membersihkan diri dari emosi yang menumpuk. Namun, bagaimana sebenarnya katarsis bekerja? Apakah setiap ledakan emosi itu sehat, atau ada cara yang lebih baik untuk mengatasi tekanan? Yuk, kita mulai dengan memahami apa itu katarsis dan mengapa penting bagi kesehatan mental kita! 


Pengertian Katarsis 

        Katarsis adalah proses pelepasan emosi yang intens, seringkali berupa perasaan negatif yang telah terpendam, seperti kesedihan, kemarahan, atau rasa frustrasi. Dalam konteks psikologi, katarsis dianggap sebagai cara untuk melepaskan tekanan emosional atau ketegangan, yang dapat memberikan perasaan lega setelah emosi tersebut diekspresikan. Konsep ini awalnya berasal dari filsafat Yunani, dimana Aristoteles menggambarkannya sebagai pemurnian emosi melalui pengalaman menonton drama tragedi. 

         Dalam terapi modern, katarsis sering digunakan sebagai bagian dari proses penyembuhan emosional, di mana individu diajak untuk mengekspresikan perasaan yang sulit atau menyakitkan sebagai cara untuk memulihkan keseimbangan mental. 


Penyebab Katarsis 

        Berikut ada beberapa faktor umum yang dapat memicu terjadinya katarsis :
  1. Tekanan Emosional: Individu yang mengalami stres, trauma, atau emosi yang intens cenderung mencari cara untuk melepaskan emosi tersebut melalui katarsis. 
  2. Lingkungan Sosial: Dukungan dari orang lain, seperti teman atau terapis, bisa memfasilitasi katarsis, terutama dalam lingkungan yang aman untuk mengekspresikan emosi. 
  3. Pengalaman Hidup: Pengalaman traumatis atau peristiwa yang menyebabkan ketegangan psikologis besar (misalnya kehilangan, kegagalan, atau kekecewaan) sering memicu kebutuhan akan katarsis. 
  4. Cara Mengatasi Stres (Coping Mechanism): Setiap individu memiliki cara berbeda dalam menghadapi stres. Orang yang cenderung menekan atau menyimpan emosi mungkin lebih rentan mengalami ledakan emosional yang lebih intens saat proses katarsis terjadi. 
  5. Budaya: Beberapa budaya lebih menerima atau mendukung ekspresi emosi secara terbuka, sementara budaya lain mungkin mendorong penekanan emosi. Ini dapat mempengaruhi bagaimana dan kapan individu mengalami katarsis. 
  6. Kepribadian: Orang yang lebih emosional, sensitif, atau rentan terhadap stres mungkin lebih sering mencari pelepasan emosional melalui katarsis. 
  7. Terapi atau Konseling: Dalam konteks terapi psikologis, teknik-teknik tertentu, seperti terapi bicara atau terapi seni, dapat memfasilitasi proses katarsis untuk membantu individu melepaskan emosi yang tertahan. 

Gejala Katarsis 

        Lalu bagaimana cara kita mengetahui bahwa kita atau orang sekitar kita mengalami kartasis? Kamu bisa kenali tanda-tandanya di bawah ini, bahwa seseorang sedang mengalami atau membutuhkan katarsis dapat bervariasi, tetapi beberapa di antaranya meliputi: 
  1.  Ledakan Emosional: Ekspresi emosi yang intens, seperti menangis, marah, atau tertawa secara tiba-tiba, bisa menjadi tanda bahwa individu sedang mengalami katarsis. 
  2.  Perasaan Lega: Setelah mengekspresikan emosi yang terpendam, orang sering merasa lebih ringan atau lega, meskipun sebelumnya mungkin merasa sangat tertekan atau tertekan. 
  3. Ketegangan Fisik: Orang yang menahan emosi sering mengalami ketegangan fisik seperti sakit kepala, otot tegang, atau masalah pencernaan. Setelah katarsis, ketegangan ini biasanya berkurang. 
  4. Perubahan Suasana Hati yang Cepat: Individu mungkin mengalami perubahan suasana hati yang mendadak, seperti dari perasaan sedih atau marah menjadi tenang dan lebih stabil setelah melepas emosi. 
  5. Kesulitan Menahan Emosi: Orang yang membutuhkan katarsis mungkin merasa sulit menahan emosi mereka, sering kali mereka merasa ingin menangis atau marah tanpa alasan yang jelas. 
  6. Keinginan untuk Mengungkapkan Diri: Dorongan kuat untuk berbicara tentang masalah pribadi atau pengalaman emosional adalah tanda lain bahwa katarsis mungkin diperlukan. 
  7. Mimpi atau Kilas Balik Emosional: Seseorang yang membutuhkan katarsis mungkin mengalami mimpi yang berulang atau kilas balik ke peristiwa traumatis atau emosional yang belum terselesaikan. 
  8. Perasaan Tertekan atau Terjebak: Jika emosi tidak diekspresikan, individu mungkin merasa terjebak secara emosional, tidak mampu bergerak maju dalam kehidupan atau merasa tertahan oleh pengalaman masa lalu. 

Penanganan dan Manfaat Katarsis 

        Terdapat berbagai cara untuk melepaskan emosi dan vibrasi negatif dalam diri dan salah satunya adalah katarsis. Untuk melepaskan emosi negatif tersebut kita dapat melakukan beberapa kegiatan, seperti: 
  1.  Shaking: menggetarkan seluruh anggota tubuh baik lengan, tangan, jari, kaki, punggung, dan kepala. 
  2. Tremor: gerakan gemetar pada satu atau beberapa bagian tubuh. 
  3. Berteriak 
  4.  Menangis 
        Selain itu, katarsis juga memberikan beberapa manfaat, yaitu: 
  1.  Membantu pelepasan stress 
  2. Melepaskan trauma 
  3. Membuat diri menjadi semakin baik, karena energi negatif dalam diri perlahan-lahan dibersihkan dengan cara aman dan positif
  4. Mengatasi gangguan penyakit yang diakibatkan oleh pikiran negatif seperti, mudah marah, kecemasan, kesedihan, sering merasa tertekan dan yang lainnya. 

KESIMPULAN

        Katarsis merupakan proses pelepasan emosi yang intens. Hal ini baik untuk dilakukan agar individu tidak merasa cemas, mudah marah, ataupun tertekan. Akan tetapi untuk melakukan katarsis individu juga perlu melihat seberapa sering dirinya merasakan hal-hal negatif. Agar saat melakukan pelepasan emosi negatif, emosi yang dikeluarkan sesuai dengan yang diharapkan. 


 DAFTAR PUSTAKA 

    Dzikria A. Primala (2023). https://pijarpsikologi.org/blog/katarsis-cara-mengungkap-emosi 

    Fitri Chaeroni (2021). Apa itu Katarsis ? Pelepasan Emosi Negatif pada Tubuh. https://www.gooddoctor.co.id/hidup-sehat/mental/apa-itu-katarsis/ 

    Gross, James J. (2002) - Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences.

    Kihlstrom, J. F. (2008). The Psychological Unconscious. https://psycnet.apa.org/record/2008-11667-023 

     Lazarus, Richard S. (1991) - Emotion and Adaptation https://www.researchgate.net/publication/232438867_Emotion_and_Adaptation 

    Mulianingsih, B. P. N. (2023). Catharsis Senin Penyembuhan Mengatasi Stress dan Gangguan Emosi dalam Masa Adaptasi di Era Transisi Pandemi Menuju Endemi Covid-19. Retrieved October 9, 2024.

Friday, June 7, 2024

Histrionic Personality Disorder: Mengungkap Drama di Balik Kepribadian

Source: https://www.healthyplace.com/sites/default/files/images/stories/seroquel/1-what-is-histionic-personality-disorder.jpg

PENGERTIAN HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Histrionic Personality Disorder (HPD) merupakan kondisi di mana seseorang menunjukkan perilaku berlebihan dalam mencari perhatian dan bereaksi secara emosional. Biasanya, gejala ini muncul pada awal masa dewasa dan terlihat dalam berbagai situasi. HPD juga dikenal sebagai gangguan kepribadian dramatis. 

Individu dengan HPD sering kali mencoba menarik perhatian orang lain dengan cara yang berlebihan. Mereka cenderung menunjukkan perilaku menggoda, memikat, dan terkadang memanipulasi orang lain. Ketika tidak mendapatkan perhatian yang diinginkan, mereka dapat merasa sangat terganggu.

PENYEBAB HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Penyebab pasti HPD tidak sepenuhnya diketahui, tetapi beberapa faktor diyakini berkontribusi pada perkembangannya:

1.      Faktor Genetik.
Ada bukti yang menunjukkan terdapat komponen keturunan, seperti sifat-sifat kepribadian yang diturunkan dari orang tua ke anak.

2.      Faktor Lingkungan
Pengalaman masa kecil seperti perhatian berlebihan dari orang tua, pola asuh yang tidak konsisten, dan penguatan perilaku mencari perhatian dapat berkontribusi.

3.      Pengaruh Budaya dan Sosial
Norma budaya dan harapan masyarakat tentang peran gender dan perilaku juga dapat berperan. HPD lebih sering didiagnosis dalam budaya yang mendorong perilaku ekspresif dan emosional.

DIAGNOSIS HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Histrionic Personality Disorder (HPD), menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi Kelima), dikenali melalui ciri-ciri berikut:

1.      Pencarian perhatian yang terus-menerus.

Individu dengan HPD selalu ingin menjadi pusat perhatian. Mereka merasa tidak nyaman jika tidak menjadi fokus perhatian orang lain.

2.      Perilaku yang menggoda atau provokatif

Individu dengan HPD sering menunjukkan perilaku yang menggoda atau provokatif secara seksual yang tidak sesuai dengan situasi. Mereka menggunakan penampilan fisik untuk menarik perhatian.

3.      Ekspresi emosi yang berlebihan

Individu dengan HPD sering menunjukkan emosi dengan cara yang dramatis dan berlebihan. Misalnya, mereka mungkin menangis atau tertawa dengan sangat keras yang terjadi secara tiba-tiba. 

4.      Emosi yang dangkal

Emosi yang ditunjukkan oleh individu dengan HPD sering kali tidak mendalam atau tulus. Emosi mereka cenderung berubah-ubah dengan cepat dan sering tampak dangkal.

5.      Tampilan emosi yang impulsive

Individu dengan HPD seringkali bertindak berdasarkan dorongan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Mereka bisa tiba-tiba berubah suasana hati atau perilaku secara impulsif.

PENANGANAN HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER

Beberapa pendekatan terapi yang telah terbukti efektif dalam mengatasi Histrionic Personality Disorder.

1.      Cognitive Analytic Therapy (CAT) atau Terapi Analisis Kognitif.

Terapi ini fokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku yang menyebabkan masalah. Terapi ini membantu individu memahami bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain dan memperbaiki hubungan interpersonal mereka.

2.      Psikoterapi.

Terapi yang umum, terutama yang fokus pada peningkatan harga diri dan hubungan interpersonal, terapi ini efektif dalam mengobati HPD. Terapi ini membantu individu mengenali dan memahami perasaan mereka yang sebenarnya dan mengembangkan hubungan emosional yang lebih dalam dan bermakna.

3.      Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau Terapi Perilaku Kognitif 

CBT membantu individu dengan HPD mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang tidak sehat dan perilaku yang tidak produktif. Terapi ini mengajarkan cara-cara yang lebih sehat untuk merespons stres dan tantangan dalam hubungan interpersonal. 

KESIMPULAN

Histrionic Personality Disorder (HPD) ditandai oleh perilaku mencari perhatian yang berlebihan dan reaksi emosional, sering dimulai pada awal dewasa. Faktor genetik, lingkungan, dan sosial berkontribusi pada perkembangannya. Diagnosis melibatkan pencarian perhatian yang terus-menerus, perilaku provokatif, emosi yang dibesar-besarkan, dan tindakan impulsif. Pendekatan terapi seperti Cognitive Analytic Therapy (CAT), psikoterapi, dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) telah terbukti efektif dalam mengelola HPD dengan mengatasi pola pikir dan meningkatkan hubungan interpersonal. 

REFERENSI

Dawood, S., Wu, L. Z., Bliton, C. F., & Pincus, A. L. (2020). 12 Narcissistic and Histrionic Personality Disorders.

Köse, S. S., & Erbaş, O. (2020). Personality disorders diagnosis, causes, and treatments. Demiroglu Science University Florence Nightingale Journal of Transplantation, 5(2), 022-031.

Novais, F., Araújo, A., & Godinho, P. (2015). Historical roots of histrionic personality disorder. Frontiers in psychology, 6, 1463.

Savci, M., Turan, M. E., Griffiths, M. D., & Ercengiz, M. (2021). Histrionic personality, narcissistic personality, and problematic social media use: Testing of a new hypothetical model. International Journal of Mental Health and Addiction, 19, 986-1004.

Monophobia: Takut Sendirian?

  Edisi Februari 2025 Monophobia? Takut Sendirian? Penulis : Uday Fauzan           Pernahkah kamu merasa cemas atau panik saat harus berada ...