Wednesday, November 10, 2021

INSECURE

 

INSECURE

 

Duh, Acel cantik banget ya. Aku jadi minder setiap ketemu dia.”

“Aku ga ikut pergi deh, aku ga percaya diri sama penampilanku. Apalagi Acel ikut juga.”

“Muka ku kok semakin jelek ya, ga kayak Ulan

 


Hal seperti ini bukankah sudah lumrah didengar telinga? Atau bahkan tanpa disadari, kamu sering mengucapkannya? Lalu, apakah berperilaku seperti ini normal dan baik? Sebenarnya apa yang aku alami, ya?  

Tahukah kamu bahwa kalimat diatas secara tidak langsung menunjukkan perasaanmu ketika merasa tidak nyaman dengan seseorang atau dalam suatu kondisi, loh! 

Insecure itu apa sih?

Insecure merupakan sebuah keadaan atau perasaan tidak nyaman yang dialami dan dirasakan seseorang. Perasaan ini biasanya diwujudkan dengan sikap kurang percaya diri sehingga seringkali individu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang lain. Insecure atau  rasa  tidak  aman ini bisa diartikan sebagai rasa takut akan sesuatu yang dipicu oleh rasa tidak puas dan tidak yakin akan kapasitas  diri  sendiri (Wahyuni et al., 2019).

Abraham Maslow juga mengatakan insecure merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa tidak aman, menganggap dunia sebagai sebuah hutan yang mengancam dan kebanyakan manusia berbahaya dan egois. Orang yang mengalami insecure umumnya merasa ditolak dan terisolasi, cemas, pesimis, tidak bahagia, merasa bersalah, tidak percaya diri, egois, dan cenderung neurotik.

Menurut American Psychological Association dictionary of psychologyinsecure/insecurity adalah perasaan tidak mampu, kurang percaya diri, dan ketidakmampuan untuk mengatasi suatu masalah, disertai dengan ketidakpastian dan kecemasan secara umum mengenai tujuan, kemampuan, atau hubungan dengan orang lain.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Surcinelli (dalam Ma’rifah dan Budiani, 2012), insecure attachment ditandai dengan pemikiran negatif mengenai self yang diasosiasikan dengan nilai depresi dan kecemasan yang lebih tinggi. Evrika (dalam Hasmalawati & Hasanati, 2018) mengatakan seseorang yang mengembangakan kelekatan tidak aman (insecure) cenderung akan menghadapi berbagai permasalahan seperti ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugas, melakukan sesuatu dengan rasa percaya diri yang rendah, bahkan tidak jarang individu ini mengembangkan hubungan negatif yang didasarkan pada mistrust atau ketidakpercayaan.

 Menurut (Meliana et al., 2021) setiap orang pasti pernah merasa insecure, namun remaja dengan kepribadian introvert sering merasa insecure yang berlebihan. Remaja introvert akan sulit terbuka kepada orang lain mengenai masalahnya, sehingga mereka sering tenggelam dalam pikiran negatif.

Penyebab Seseorang Merasa Insecure

Menurut psikolog klinis Melanie Greenberg, Ph.D., terdapat 3 penyebab umum seseorang merasa insecure diantaranya:

1.      Insecure karena kegagalan atau penolakan yang terjadi baru-baru ini

Berdasarkan penelitian tentang kebahagiaan, peristiwa yang baru terjadi sangat mempengaruhi suasana hati dan perasaan kita tentang diri kita sendiri, karena ketidakbahagiaan berdampak pada self-esteem, kegagalan, dan penolakan juga berdampak dua kali lipat pada ketidakpercayaan diri.

2.      Insecure karena mengalami kecemasan sosial

Rasa takut dievaluasi dengan orang lain dapat menyebabkan rasa cemas yang pada akhirnya membuat mereka menghindari situasi sosial karena merasa tidak nyaman.

3.      Insecure yang didorong oleh perfeksionisme

Akan timbul perasaan tidak nyaman dan tidak layak apabila suatu hal yang ia kerjakan tidak mendapatkan hasil yang sempurna.

Insecure juga memiliki beberapa penyebab akibat dampak dari masa lalunya seperti; mengalami kegagalan atau penolakan, mendapat penilaian yang kurang menarik dari orang lain, menginginkan segala sesuatu berjalan sempurna (Tamin, 2020).

Merasa insecure sangatlah tidak bagus apalagi untuk kebahagian diri sendiri, dampak dari insecure ini dapat menggangu mental kita karena selalu berpikir berlebihan atau overthinking mengenai hal negatif tentang diri kita, berujung sedih dan bahkan bisa sampai ke titik menyakiti diri (Ismaya, 2020). 

Memang sulit untuk mengurangi rasa insecure yang ada dalam diri karena insecure berkaitan dengan perasaan kita. Tetapi meskipun sulit, menurut Ismaya (2020) ada beberapa cara dalam mengatasi insecure diantaranya:

1.      Self-love

Self-love sendiri bisa berupa apa saja, contohnya kamu bisa selalu bilang didepan kaca “kamu cantik hari ini” atau mungkin kamu bisa menulis sesuatu di kertas tentang poin plus yang ada dalam diri kamu, apa yang kamu suka dari dirimu, tentang pujian-pujian positif yang orang-orang pernah sampaikan kepada kamu, dan selalu ingat setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.




2.    Stop membanding-h dirimu dengan orang lain dan tetap bersyukur

Tuhan menciptakan setiap makhluknya berbeda-beda yang pastinya dengan ukuran kekurangan dan kelebihan yang berbeda-beda juga, jangan selalu berpikiran bahwa kamu tidak berharga, kamu tidak pintar ataupun memandang dirimu rendah, dan berakhir selalu membanding-bandingkan dirimu dengan dirinya. Ingat setiap orang mempunyai takarannya masing-masing jadi tetaplah bersyukur dengan apa yang sekarang kamu punya.

3.      Cari lingkungan yang positif

Di saat kamu sedang terpuruk karna rasa insecure, kamu butuh lingkungan yang menyebarkan aura positif, seperti teman, keluarga, atau support system kamu.

4.      Kurangi penggunaan media sosial

Media sosial memang suatu platform yang mengizinkan kita bebas berekspresi, serta gudangnya segala informasi. Tetapi dengan mengurangi penggunaan media sosial, kamu jadi bisa berfokus pada diri kamu dan tidak lagi membanding-bandingkan orang di media sosial dengan dirimu sendiri.

 

Sources:

Greenberg, M. (2015). The 3 Most Common Causes of Insecurity and How to Beat Them. Diakses pada 1 November 2021, dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-mindful-self-express/201512/the-3-most-common-causes-insecurity-and-how-beat-them

Hamalawati, N., Hasanati, N. (2018). Perbedaan tingkat kelekatan dan kemandirian mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin. Psikoislamedia Jurnal Psikologi, 3(1), 1-59.

Ma’rifah, N. L., Budiani, M. S. (2012). Hubungan antara attachment style dan self-esteem dengan kecemasan sosial pada remaja. Jurnal Psikologi: Teori dan Terapan, 3(1 Agustus 2012), 17-27.

Maslow, A. H. (1942). The Dynamics of Psychological Security-Insecurity. Journal of Personality, 10 (4), 331–344. doi:10.1111/j.1467-

Ismaya, L. C. (2020). Mengenali Dampak Jangka Panjang Insecure dan Cara Mengatasinya. Winnetnews. https://www.winnetnews.com/post/mengenali-dampak-jangka-panjang-insecure-dan-cara-mengatasinya

Meliana, D., Tanudjaja, B. B., & Kurniawan, D. (2021). Perancangan Komik Digital Tentang Insecurity Pada Kehidupan Sosial Kepribadian Introvert Bagi Remaja Usia 15-21 Tahun. Jurnal DKV Adiwarna, 2(17), 9.

Rahmah, R. A. (2020). Perasaan Insecure Pada Masa Covid-19 Mengakibatkan Maraknya Orang Menjual Produk Kecantikan. SocArXiv Papers, 23(99), 2. hppts./jiwaraga.com

Tamin,  dr. R. (2020). INSECURE. Alodokter. https://www.alodokter.com/insecure

Wahyuni, S., Ramdhan, S., & Aliyudin, A. (2019). Proses Komunikasi Konseling terhadap Anak Asuh yang Memiliki Kepribadian Introvert. Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, Dan Psikoterapi Islam, 7(3), 351–374. https://doi.org/10.15575/irsyad.v7i3.78

           

 

 


Sunday, October 10, 2021

Cave Syndrome

 

"CAVE SYNDROME"

Pandemi Covid-19 tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan kita, khususnya dalam hal kebiasaan. Jika sebelum pandemi kita dapat keluar rumah dengan bebas, sekarang dimasa pandemi ini kita tidak memiliki kebebasan keluar rumah seperti sebelumnya yang dikarenakan banyak hal, salah satunya adalah takut tertular virus Covid-19. Nah, ternyata ketakutan ini diprediksi akan dihadapi banyak orang, baik saat pandemi berlangsung maupun saat pandemi ini berakhir. Fenomena inilah yang disebut dengan cave syndrome.

 


Cave syndrome mungkin masih terasa asing di telinga kita, namun istilah "cave syndrome" sebenarnya sudah pernah disebutkan oleh beberapa media meskipun istilah "Cave Syndrome" sendiri bukanlah diagnosis psikologis resmi. Cave syndrome merupakan keengganan terus-menerus untuk meninggalkan keamanan rumah karena takut dengan resiko tertular Covid-19 atau infeksi lanjutan saat pandemi mereda.

 


Mungkin kita bertanya-tanya, apa yang menyebabkan seseorang mengalami cave syndrome ini sedangkan mungkin sebagian dari kita malah ingin keluar rumah sesegera mungkin. Nyatanya, melangkah keluar setelah setahun di rumah terbukti sebagai suatu transisi yang sulit bagi sebagian orang. Survei terbaru APA (American Psychological Association) melaporkan bahwa 49% orang dewasa yang disurvei mengantisipasi perasaan tidak nyaman untuk kembali berinteraksi secara langsung ketika pandemi berakhir dan ditemukan bahwa 48% dari mereka yang telah menerima vaksin Covid-19 mengatakan mereka merasakan hal yang sama. Seorang profesor psikologi UC Berkeley, Robert Levenson, juga mengatakan bahwa ini bukan hanya tinggal di rumah saat akhir pekan. Ini sudah hampir dua tahun dan sekarang kita sudah menyesuaikan diri dengan ini dan ini sudah menjadi baseline kita. Jadi sekarang kita harus keluar dari gelembung kita dan explore. Kita harus menemukan kembali cara bekerja diantara orang lain lagi, cara bermain, cara memulai suatu hubungan dan mengakhiri yang lain. Kemudian, seorang  professor of psychiatry and behavioral sciences di Northwestern University, Jacqueline Gollan, juga mengatakan bahwa meskipun seseorang mungkin sudah divaksin, mereka mungkin masih merasa sulit untuk melepaskan rasa takut itu karena mereka melebih-lebihkan resiko dan kemungkinannya.

 

Ilustrasi :  Alan R. Teo,M.D.,M.S.

Alan Teo, seorang profesor psikiatri di Oregon Health and Science University, mengatribusikan cave syndrome ke dalam tiga faktor, yaitu habit (kebiasaan), risk perception (persepsi risiko), dan social connections (hubungan sosial). Secara singkat, habit berarti kita harus mempelajari kebiasaan untuk memakai masker, physical distancing atau social distancing, serta tidak mengundang orang dan sulit untuk menghentikan kebiasaan begitu kita membentuknya. Risk perception berarti ada keterputusan antara jumlah risiko yang sebenarnya dan apa yang orang anggap sebagai risiko mereka. Kemudian, social connections berarti kita cenderung fokus pada "risiko infeksi dan kematian daripada risiko kematian karena kesepian dan terputus."

 

Ilustrasi : Dr. Arthur Bregman, MD

Lalu apa yang harus kita lakukan jika kita mengalami cave syndrome? Seorang psikiater, Dr. Arthur Bregman, mengajarkan sistem MAV (Mindfulness, Attitude, and Vision) pada pasiennya yang ketakutan untuk meninggalkan rumah. Tahap pertama adalah mindfulness, yang berarti kita harus sadar tentang apa yang mengganggu kita dan fokus untuk mempersempit hal tersebut. Kemudian tahap kedua adalah attitude, yang berarti setelah kita mengetahui apa yang membuat kita gelisah, mulailah untuk membangun sikap yang positif. Cara yang baik untuk membangun sikap yang positif adalah dengan membayangkan aktivitas menarik yang kita lakukan sebelum pandemi, seperti makan bersama teman atau menghadiri konser. Tahap ketiga dan terakhir adalah vision, yang berarti memvisualisasikan tujuan kita dan apa yang dapat kita capai ketika kita keluar rumah.

 

Namun, kita tetap perlu berhati-hati dalam menggunakan istilah ini karena suatu sindrom tidak dapat didiagnosis begitu saja. Alan Teo mengatakan bahwa dia berhati-hati dalam menerapkan istilah "cave syndrome" untuk apa yang bagi banyak orang adalah rentang pengalaman yang normal. Apa yang mungkin dialami banyak orang setelah hidup dalam pandemi selama setahun adalah kecemasan, yang merupakan emosi yang normal dan pantas dialami ketika menghadapi peristiwa traumatis seperti itu. Menurutnya, mengalami kecemasan bukan berarti kita memiliki kelainan atau sindrom. Ada kasus dimana hal tersebut menjadi parah secara klinis. Jika kita tidak dapat meninggalkan rumah dan melanjutkan kehidupan biasa, Bregman merekomendasikan untuk mencari bantuan profesional.

 

"The longer people are in their cave, the harder it is to get out." - Dr. Arthur Bregman


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Y. (2021). Overcoming pandemic cave syndrome: why is it so complicated?. Diakses dari  https://news.berkeley.edu/2021/08/03/overcoming-pandemic-cave-syndrome-why-is-it-so-complicated
Fernstorm, M. (2021). What is covid 'cave syndrome' and how to fix it. Diakses dari
Marples, M. (2021). If 'cave syndrome' is keeping you from going in public, here's how to combat it.
Newsome, M. (2021). 'Cave syndrome' keeps the vaccinated in social isolation. Diakses dari https://www.scientificamerican.com/article/cave-syndrome-keeps-the-vaccinated-in-social-isolation1.



Wednesday, September 8, 2021

Cyberbullying

Maraknya perkembangan teknologi informasi sekarang ini dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat seperti mudahnya mengakses informasi dan menjalin hubungan sosial dengan sesama. Selain itu, kemudahan dalam mengakses teknologi informasi juga dapat membawa dampak negatif kepada masyarakat khususnya jika kurangnya pengawasan dan bimbingan orang dewasa kepada anak-anak atau remaja terhadap penggunaan teknologi. Salah satu dampak yang dapat ditimbulkan dari kemajuan teknologi adalah perilaku cyberbullying

Cyberbullying adalah bentuk intimidasi yang terjadi di media sosial dalam bentuk hinaan, ancaman, ejekan yang bertujuan untuk merugikan, mempermalukan atau melukai orang lain. Tindakan cyberbullying ini sering terjadi di kalangan remaja yang dimana dapat mengakibatkan depresi, merasa tidak diinginkan, dan akibat terburuknya adalah tindakan bunuh diri. 
Cyberbullying TIDAK SAMA dengan lelucon. Lelucon adalah candaan yang tidak membuat seseorang tersinggung ataupun sakit hati bahkan orang itu dapat ikut tertawa dalam lelucon yang sedang orang lain lontarkan. Sedangkan cyberbullying membuat seseorang merasa direndahkan bahkan merasa dirinya diasingkan dari masyarakat.


Willard menyebutkan macam-macam jenis cyberbullying sebagai berikut :
1. Flaming, yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal.
2. Harassment, yaitu pesan-pesan yang berisi gangguan yang menggunakan email, SMS, maupun pesan teks di jejaring sosial yang dilakukan secara terus menerus.
3. Denigration, yaitu proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut.


1. Impersonation, yaitu berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status tidak baik.
2. Outing, yaitu menyebarkan rahasia orang lain atau foto-foto pribadi orang lain.
3. Trickery, yaitu membujuk seseorang agar mendapatkan rahasia atau foto-foto pribadi orang tersebut.
4. Exclusion, yaitu secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari grup online.
5.  Cyberstalking, yaitu mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara intens sehingga menyebabkan ketakutan besar pada orang tersebut.

Dilihat dari banyaknya jenis cyberbullying, dapat dikatakan bahwa manusia dapat menjatuhkan orang dengan berbagai cara melalui media online. Hasil penelitian kasus cyberbullying di luar negeri menurut Zalaquett & Chatters (2014) menunjukkan dari 613 responden, 19% dilaporkan menjadi korban cyberbullying di perguruan tinggi dan 35% dari sub sampel ini dilaporkan mengalami cyberbullying ketika di Sekolah Menengah Atas.


Banyaknya kasus ini juga disebabkan oleh tontonan kekerasan, penghakiman media sosial, dan juga tidak ada nya batasan untuk anak usia dini dalam mengakses informasi. Namun, kondisi tersebut juga sulit untuk dicegah dari pihak keluarga, sekolah, maupun lingkungan. 

Perilaku cyberbullying dapat memberikan dampak negatif bagi korban yang mengalaminya seperti depresi, memiliki kepercayaan diri yang rendah, menutup diri dari lingkungan sosial, dilanda rasa khawatir, dan selalu merasa bersalah dan gagal. Cyberbullying yang dialami secara berkepanjangan akan menimbulkan stres berat bagi korban dan dampak yang paling menakutkan adalah korban memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya (bunuh diri) karena merasa tidak mampu menghadapi masalah yang tengah dihadapinya.

Cara mencegah tindakan cyberbullying di media sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu seperti :
1. Memaksimalkan sikap etika berinternet.
Etika komunikasi di internet memiliki istilah Netiquette. Netiquette adalah kode etik yang mengatur cara para pengguna internet dalam beraktivitas di internet agar apa yang dilakukan tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku sehingga fasilitas internet dapat digunakan sebagaimana mestinya tanpa ada pihak yang dirugikan karenanya. 

2. Peran orang tua
Orang tua merupakan tokoh penting bagi anak untuk memberikan pendidikan pertama. Orang tua juga memiliki peran penting untuk mengawasi/mengontrol anak dalam menggunakan media sosial. Langkah yang dapat orang tua lakukan untuk mengawasi anak dalam menggunakan media sosial adalah seperti mengajarkan anak tentang etika bermain media sosial yang baik, memberikan batasan waktu dalam menggunakan media komunikasi dan waktu belajar, mengontrol siapa teman pergaulan di media sosial anak, memiliki akun media sosial anak untuk memudahkan dalam mengontrol dan memiliki sikap kritis terhadap akun-akun yang berindikasi ada pesan menghinaan, pengancaman, ujaran kebencian ataupun cyberbullying.

3. Peran pemerintah
Pemerintah dapat memberikan edukasi dini tentang cyberbullying dengan cara melakukan penyuluhan/seminar tentang cyberbullying ini yang dapat dibantu oleh aparat sipil kepolisian, akademisi, guru/dosen ataupun pelajar. Kegiatan ini dapat dilaksanakan di lingkungan sekolah, kampus, instansi, balai desa, ataupun seminar online yang dilaksanakan secara gratis.

Dengan cara ini diharapkan kasus cyberbullying dapat dicegah dan dihentikan. Untuk itu diharapkan juga kerja sama dari semua pihak untuk mengatasi dan memberikan edukasi agar tindak cyberbullying dapat dihindari.

Selain pencegahan, peraturan di Indonesia juga memiliki hukum yang dapat menjerat pelaku cyberbullying. Diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Undang – undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Nah teman-teman, sudah dapat dipahami kan kalau cyberbullying itu sangat berbahaya dan memiliki hukum yang berat. Marilah kita bersama-sama bijak dalam menggunakan media sosial sebagai sarana untuk membantu sesama dan menyebarkan hal positif !

Nantikan materi menarik lainnya yang akan kami update setiap bulan!


DAFTAR PUSTAKA
Rahayu, Flourensia Sapty. (2012). Cyberbullying sebagai dampak negatif penggunaan teknologi informasi. Journal Of Information Systems, 8(1). 

Rifauddin, Machsun. (2016). Fenomena cyberbullying pada remaja. Khizanah Al-Hikmah, 4(1). 

Sakban, Abdul., et al. (2018). Tindakan bullying di media sosial dan pencegahannya. JISIP, 2(3). 

Selular. (2016). Pelaku cyberbullying Bisa Dijerat Hukum Pidana.  Diakses dari 
https://selular.id/2016/03/pelaku-cyber-bullying-bisa-dijerat-hukum-pidana/#:~:text= 2.%20Undang%2DUndang%20Nomor%2011,000.000%20(satu%20milyar%20rupiah). 

Tim KPAI. (2020). Sejumlah Kasus Bullying Sudah Warnai Catatan Masalah Anak di Awal 2020, Begini Kata Komisioner KPAI. Diakses dari https://www.kpai.go.id/publikasi/sejumlah-kasus-bullying-sudah-warnai-catatan-masa lah-anak-di-awal-2020-begini-kata-komisioner-kpai

Zalaquett, C. P., & Chatters, S. P. (2014). Cyberbullying in College:Frequency, Characteristics, and Practical Implications. Sage Open Journal, 1-8. DOI: 10.1177/2158244014526721. 

download-fullpapers-kmnts73d7a00d3dfull.pdf (unair.ac.id)

Tuesday, May 25, 2021

TOXIC POSITIVITY


“Semangat, pasti bisa!” 

“Tenang saja, semua pasti dapat dilewati. Masih ada orang yang lebih kurang beruntung.” 

“Bersyukur terus ya ..” 

Pernah dengar kalimat-kalimat ini ketika diberikan atau memberikan penguatan kepada orang lain karena mengalami masalah? Kita pasti pernah mendengar bahkan menyampaikan hal yang sama ketika ada orang lain yang membutuhkan penguatan. Pernahkah kamu mendengar tentang toxic positivity? Apa sih toxic positivity itu? 

Secara tidak langsung, kalimat-kalimat diatas termasuk dalam toxic positivity – sikap positif yang justru menjadi racun (Soerjoatmodjo, 2020). Toxic positivity merupakan pola pikir dimana individu selalu berusaha untuk berpikir positif serta menganggap bahwa dengan melakukan hal tersebut adalah cara yang tepat dalam menjalani hidup (Dewi, 2020). Dengan kata lain, dalam hidup ini kita hanya menerima hal-hal positif dalam dan menolak hal-hal lainnya termasuk emosi negatif yang muncul. 

Fyi, toxic positivity ini tidak hanya datang dari orang lain melainkan dapat muncul lewat percakapan kita dengan diri sendiri lewat self-talk. Misalnya pada saat kita bercakap pada diri sendiri bahwa “Hari ini aku merasa lelah” kemudian coba lanjutkan dengan kalimat, “Ya, lalu?” Dengan demikian, ungkapan negatif tetap diekspresikan, rasa lelah tetap diterima, sehingga hal ini memacu diri untuk berpikir lebih lanjut. “Ya, aku lelah, sehingga artinya aku perlu yang namanya istirahat,” inilah contoh percakapan yang bisa terjadi ketika kita bercakap dengan diri sendiri dalam rasa penuh penerimaan. 

Jika dibandingkan dengan “Aku merasa lelah hari ini.”, kemudian “Ayo, tidak baik berpikir seperti itu, kita harus kuat.” Maka penerimaan diri tidak akan tercapai, malah membuat semakin kelelahan, yang kemudian membuat kita tidak bisa berpikir alias buntu. Dari hal ini kita perlu mengambil kesimpulan bahwa istirahat teratur tidak akan berhasil kita raih. Sehingga apa yang terjadi? Tubuh serta otak akan terus merasa lelah, lelah dan lelah. 

Cara pikir atau emosi positif yang dilakukan sebenarnya hanya ingin menghindar dari perasaan tidak nyaman, sehingga muncul perasaan selalu benar dan menang. Namun ketika kita menghindari perasaan tidak nyaman itu, kita tentu akan menekan perasaan tersebut hingga dapat menimbulkan perasaan negatif lainnya. Apalagi saat perasaan itu telah kita timbun setelah sekian lama hingga akhirnya dapat meledak suatu saat seperti bom waktu. 

Mungkin masih banyak yang berpikir jika kita selalu berpikir positif, hal tersebut membuat kita selalu tidak menyerah pada keadaan yang sulit, tapi pada kenyataannya mereka belum menyadari bahwa kecemasan yang mereka tekan atau hindari tersebut sebenarnya sangat bermanfaat pada kehidupan kita. Saat kecemasan muncul, maka kita akan lebih berhati-hati dan juga mencari solusi mengenai apa yang kita cemaskan. Contohnya seperti saat sedang ujian kita cemas mengenai nilai akhir, kita tentunya akan mencari jalan keluar bagaimana caranya agar nilai kita bagus dan akhirnya kita akan mengeluarkan usaha yaitu dengan belajar. Jika kita hanya berpikir positif bahwa nilai kita akan baik-baik saja tanpa adanya usaha, maka pikiran tersebut akan membawa anda pada nilai yang buruk juga. 

Selain membuat kita menjadi berhati-hati, ketika ada masalah kita juga memainkan peran emosi kita seperti menjadi sedih, marah, atau perasaan normal lainnya. Tapi lagi-lagi ketika hal itu tidak terungkapkan atau hanya dipendam saja, maka akan membuat kita stress atau bahkan dapat memiliki penyakit mental lainnya. Sebaliknya jika kita mengeluarkan emosi negatif tersebut dengan menyalurkannya pada aktivitas maka kita juga akan merasa lebih baik, misalnya seperti bercerita, menangis, berolahraga, atau melakukan hobi lainnya. 

Dalam hidup, kita pun membutuhkan yang namanya emosi negatif. Jangan semata-mata hanya emosi positif saja yang kita terima karena anggapan agar hidup terus berjalan dengan baik. Tidak baik memiliki emosi negatif yang berlebihan, tetapi tidak baik pula memiliki emosi positif yang berlebihan. Semua yang berlebihan itu tidak baik. Sehingga apapun emosi yang muncul, kita harus melakukan penerimaan. 

Selain itu, untuk menjauhkan diri kita dari toxic positivity ada baiknya untuk memilih penggunaan kata atau kalimat yang tepat untuk memberikan penguatan kepada mereka yang membutuhkan. Seperti contohnya, daripada kita mengatakan “Masa gitu aja kamu tidak bisa” diganti dengan “Memang terkadang kita mengalami sebuah masalah, tapi kita sama-sama harus melewatinya ya”. Dari semua ini, yuk kita sama-sama berhenti menyebarkan toxic positivity!

Daftar pustaka

Dewi, Hayuning1 Purnama. 2020. “Toxic Positivity: Ucapan Positif Yang Berdampak Negatif”,   https://www.ubaya.ac.id/2018/content/news_detail/2838/Toxic-Positivity--Ucapan-Positif-yang-      Berdam pak-Negatif.html, diakses pada 5 Mei 2021 pukul 22.00

Soerjoatmodjo,    Gita              W.      Laksmini.             2020.    “Manakala           Positif            Justru Negatif”,https://www.researchgate.net/profile/Gita-Soerjoatmodjo/publication/344519335_Manakala_Positif_Justru_Negatif/links/5f7de20c92851c14bcb663ae/Manakala-Positif-Justru-Negatif.pdf?origin=publication _detail, diakses pada 5 Mei 2021 pukul 22.00.

Wednesday, April 14, 2021

EATING DISORDER : MORE THAN WEIGHT GAIN

 

   Sebagai anak muda, tentu kita tidak akan pernah bisa lepas dari yang namanya media sosial. Jika diperhatikan atau diingat kembali, beberapa minggu terakhir ini, media sosial kita sering membahas mengenai eating disorder atau gangguan makan. Mungkin sebagian dari teman-teman sudah memahami mengenai gangguan makan ini. Namun, mungkin juga ada teman-teman yang belum memahami apa itu eating disorder. Maka dari itu, pada hari Sabtu, 10 April 2021, Hima Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia Kampus Ancol, mengadakan siaran langsung di Instagram (@himapsiubm) bersama salah satu dosen Psikologi, yaitu Ibu Nindya Putri Aphrodita, S.Psi., M.Psi., Psikolog, untuk membahas mengenai gangguan makan ini. Dan tulisan ini dibuat berdasarkan rangkuman dari siaran langsung tersebut.

  Gangguan makan atau eating disorder merupakan salah satu gangguan mental yang bersifat persistent atau berkelanjutan. Dilihat dari namanya saja, kita dapat mengetahui bahwa gangguan ini berhubungan dengan pola makan seseorang. Biasanya, orang yang didiagnosa dengan gangguan ini, akan mempengaruhi kesehatan fisiknya. Mereka juga mungkin memiliki rasa cemas atau takut ketika mereka akan menyantap makanan mereka.

      Dalam DSM V, umumnya terdapat 3 jenis gangguan makan, yaitu Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, dan Binge Eating Disorder. Secara sederhana, gangguan Anorexia Nervosa, biasanya orang tersebut akan sangat membatasi makanannya, dan secara fisik, orang dengan gangguan ini akan terlihat sangat kurus, atau memiliki berat badan di bawah rata-rata. Sedangkan orang dengan gangguan Bulimia Nervosa biasanya akan makan banyak dalam rentang waktu yang sempit, kemudian akan melakukan tindakan compensatory. Perilaku compensatory ini biasanya dilakukan dengan memuntahkan makanannya, berolahraga dengan keras atau meminum obat pencahar. Secara fisik, orang dengan gangguan Bulimia Nervosa cenderung memiliki berat badan yang normal atau rata-rata.

   Sedangkan gangguan yang ketiga, yaitu Binge Eating Disorder adalah gangguan dimana seseorang memakan makanan dengan porsi banyak tanpa adanya perilaku compensatory. Dan orang dengan gangguan ini cenderung memiliki berat badan yang lebih (overweight) dan mulai menuju kepada obesitas.

 Penyebab dari munculnya gangguan makan ini tentu berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain. Namun secara umum, terdapat dua penyebab, yaitu penyebab biologis dan penyebab psikologis. Secara biologis, terdapat ketidak sesuaian antara hipotalamus, neurotransmitter dan hormon dalam tubuh. Jadi, ketika tubuh kita sudah lapar, sinyal lapar tersebut tidak sampai kepada otak, sehingga kita merasa tidak lapar dan akhirnya memutuskan untuk tidak makan.

     Secara psikologis, salah satu penyebabnya adalah rendahnya self esteem seseorang dikarenakan standard kecantikan yang berada di lingkungan. Misalnya, “kurus itu cantik” atau standard-standard yang lain. Dengan berkembangnya standard ini di lingkungan, hal tersebut menyebabkan orang merasa bahwa ia harus menurunkan berat badannya agar dianggap cantik oleh lingkungannya.

     Sama halnya dengan gangguan kesehatan mental lainnya, gangguan makan ini memiliki beberapa stigma yang berkembang di Indonesia. Pertama, karena gangguan makan ini dapat dilihat secara fisik, biasanya orang jarang ada yang langsung berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak ada yang salah dengan dirinya secara psikologis, maka ia memeriksakan dirinya ke dokter, bukan ke psikolog atau psikiater.

     Stigma lainnya yang berkembang adalah orang-orang yang kurang paham mengenai gangguan mental atau gangguan makan, cenderung merendahkan. Misalnya dengan mengucapkan “lebay. Gitu aja takut gendut” dan sebagainya. Kalimat-kalimat ini cenderung membuat orang yang memiliki diagnosa gangguan makan menjadi takut untuk bercerita (speak up) dan berakhir berdiam diri dengan gangguan yang ia miliki tersebut.

      Kemudian, apa yang dapat kita lakukan jika teman atau saudara kita yang memiliki symptom atau gejala dari gangguan makan ini? Yang pertama, kita harus peka dengan perilakunya. Misalnya, ketika ada teman yang sehabis makan banyak langsung pergi ke kamar mandi dan menghabiskan waktu yang lama. Atau misalnya ada teman kita yang selalu menolak ketika diajak makan bersama. Hal-hal kecil seperti itu harus kita berikan perhatian khusus, karena bisa saja hal tersebut merupakan tanda orang tersebut memiliki gangguan makan.

           Hal kedua yang bisa kita lakukan adalah coba untuk berbicara dengan teman kita tersebut. Tentu teman kita belum tentu akan langsung bercerita mengenai masalahnya, dan kita tidak bisa memaksakan hal tersebut. Yang bisa kita lakukan adalah kita sabar menunggunya siap untuk bercerita dan menegaskan kepada dia bahwa kita akan selalu ada untuknya. Dan hal ketiga yang bisa kita lakukan adalah mendorongnya untuk pergi ke professional (psikolog/psikiater) supaya teman kita bisa mendapatkan diagnosa yang tepat dan pengobatan terbaik.

     Tulisan ini dibuat bukan semata-mata agar teman-teman melakukan self diagnose. Tulisan ini dibuat untuk memberikan pemahaman lebih mengenai eating disorder dan juga gangguan kesehatan mental dan membuktikan bahwa gangguan ini nyata. Siapapun bisa memiliki gangguan kesehatan mental, termasuk gangguan ini. Bisa kita sendiri ataupun orang terdekat kita. Maka dari itu, bersikaplah peka terhadap diri sendiri ataupun orang lain.

         Jika kalian merasa tidak nyaman dengan diri sendiri, cobalah untuk pergi ke psikolog atau psikiater terpercaya (tersertifikasi dan terdaftar di HIMPSI untuk psikolog). Jangan pernah mencoba untuk melakukan self diagnose. Dengan pergi ke professional, kita mungkin dapat menemukan jawaban dari ketidaknyamanan diri kita sendiri. Stay healthy!!

Wednesday, March 10, 2021

What your Love Language??

 

           Seperti yang sudah dibahas dalam blog bulan lalu, manusia adalah mahluk sosial, Dimana itu berarti setiap manusia membutuhkan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya interaksi dan kerja sama antar individu sebagai upaya untuk mempertahankan hidupnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada keterikatan antar manusia, keterikatan ini diterapkan/ditunjukkan dalam sebuah hubungan (relationship). Hubungan ini tidak hanya merujuk kepada hubungan kekasih/hubungan pernikahan, tetapi bisa merujuk kepada hubungan pertemanan juga.

           Dalam sebuah hubungan, penting untuk memiliki love di dalamnya. Apa sih love itu sendiri? Biasanya, orang mengatakan bahwa love itu adalah cinta, namun daripada cinta, saya lebih menyukai kata kasih. Ketika berada dalam hubungan, baik hubungan pertemanan atau percintaan, tentu kita harus bisa mengasihi partner kita. Psikolog bahkan mengatakan bahwa perasaan dikasihi/dicintai adalah kebutuhan emosional utama dari manusia. Maka dari itu, muncul sebuah istilah ‘Love Language’ atau Bahasa Kasih. Apa sih bahasa kasih itu?

           Bahasa kasih atau love language adalah bagaimana cara kita menerima afeksi atau menerima love. Love language ini sendiri terdiri dari 5, yaitu Words of Affirmation, Quality Time, Receiving Gift, Acts of Service dan Physical Touch. Kita akan bahas kelima tipe dari love language ini supaya kita bisa lebih paham bagaimana kita memperlakukan orang lain dan menebar kasih dengan lingkungan kita.

           Pertama, ada Words of Affirmation. Orang dengan bahasa kasih ini cenderung lebih senang ketika ia mendengarkan kalimat-kalimat yang baik. Kalimat baik yang dimaksud dalam hal ini adalah misalnya kita memuji penampilan fisik dia. “Oh, kamu terlihat cantik hari ini” atau “wah kamu tuh pinter banget loh.” Tidak hanya kalimat pujian, kita bisa mengatakan “kamu sudah melakukan hal yang terbaik” atau misalnya dengan kalimat “jangan pernah merasa sendirian, karena aku hadir untukmu.” Dengan kalimat-kalimat ini, orang dengan tipe bahasa kasih words of affirmation akan merasa dicintai dan merasa dikasihi.

           Kedua, ada tipe quality time. Orang dengan bahasa kasih ini akan merasa senang dan dicintai ketika teman atau pasangannya bisa menyediakan waktu untuknya. Misalnya, pergi jalan-jalan bersama atau makan bersama. Orang dengan tipe ini biasanya sangat menghargai ketika teman, keluarga atau pasangannya bisa meluangkan waktu untuk deep talk bersama, atau misalnya bersih-bersih rumah bersama. Intinya, dia sangat menghargai ketika ada orang yang mau meluangkan waktu bersamanya.

           Ketiga, ada tipe Receiving Gift atau menerima hadiah. Orang dengan tipe bahasa kasih ini sangat menghargai hadiah, sekecil apapun hadiah tersebut. Karena menurutnya, hadiah adalah simbol nyata dari sebuah kasih. Contohnya adalah dalam pernikahan, ada sesi pemasangan cincin oleh pasangan. Dalam hal ini, cincin adalah simbol dari kasih. Sama seperti hadiah. Jadi, orang ini akan senang ketika diberikan makanan, atau misalnya surat sebagai bentuk pengungkapan kasih sayang. Bisa juga kita memberikan dia hadiah yang hidup, seperti misalnya tumbuhan. Orang ini biasanya akan mengingat siapa saja yang pernah memberikannya hadiah dan hadiah tersebut akan dihargai dengan baik.

           Keempat, ada tipe acts of service. Orang dengan tipe bahasa kasih ini akan sangat senang ketika seseorang melakukan sesuatu untuknya. Misalnya seorang ibu dengan tipe bahasa kasih ini akan senang ketika ia pulang kerja, ia mendapati rumahnya sudah dibersihkan oleh anaknya dan makanan yang sudah disiapkan oleh pasangannya. Atau kita bisa bertanya seperti “jika aku bisa melakukan satu pekerjaan spesial minggu ini, pekerjaan apa yang kamu mau request?”

           Kelima dan yang terakhir adalah physical touch. Orang dengan tipe bahasa kasih ini akan merasa dicintai ketika ia mendapatkan sentuhan secara fisik. Sentuhan secara fisik ini misalnya berpegangan tangan, berpelukan, merangkul dan lain-lain. Misalnya, teman kita sedang sedih, dan kita tahu bahwa bahasa kasihnya adalah physical touch, maka kita bisa menghiburnya dengan memeluknya atau menepuk-nepuk bahunya.

         Bagaimana cara mengetahui bahasa kasih kita atau bagaimana cara mengetahui bahasa kasih teman kita? Pertama, kita bisa mengobservasi. Kita bisa melihat dari cara teman kita menerima hadiah, atau tanggapannya terhadap encouraging words. Cara lainnya yang bisa dilakukan adalah mengikuti love language test di Internet.

           Penting bagi kita untuk mengetahui bahasa kasih satu sama lain. Karena, ketika kita mengetahui bahasa kasih antara kita dan teman, kita mampu untuk mengasihinya dengan maksimal. Ketika kita bisa mengasihi dengan maksimal, disitu kita akan memahami teman kita dan mampu mempertahankan hubungan kita. Sama halnya dengan hubungan pertemanan, dengan bahasa kasih, kita mampu mempertahankan hubungan dengan keluarga ataupun hubungan dengan pasangan kita.

 

 

Sumber :

    Chapman, Gary. (2005). The 5 Love Languages : The Secret to Love That Lasts. Diambil dari https://books.google.co.id/books

Ivan Pavlov : Dog Experiment

Edisi September 2025 Ivan Pavlov : Dog Experiment Sumber :  https://www.communicationtheory.org/wp-content/uploads/2022/09/ivan-pavlovs-dog-...