Friday, December 21, 2012

Kepedulian untuk jiwa yang terluka by Benny Prawira



“Ih, ngapain coba bunuh diri?”
“Kayak orang gak punya otak yah, masa putus asa sih hadapin masalah!”
“Orang bunuh diri itu gak ingat sama Tuhan!”
“Bunuh diri itu bener-bener perbuatan bodoh.”

Ini semua hanyalah segelintir pernyataan negatif yang biasa kita dengar saat sebuah berita bunuh diri dipublikasikan. Masih banyak komentar negatif lainnya terhadap bunuh diri, tapi pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana caranya untuk mencegah peristiwa buruk ini menimpa lebih banyak orang lagi?
Bunuh diri merupakan salah satu fenomena yang sama tuanya dengan umur ras manusia di bumi (Perlin, 1975). Salah satu fakta pahit mengenai bunuh diri adalah tingkat percobaan bunuh diri justru malah banyak ditemukan pada umur remaja, masa dimana seorang individu seharusnya lebih banyak menjelajahi dunia dan mendalami dirinya lebih jauh lagi. Kebanyakan kasus diawali pada umur 12 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 16 tahun meskipun kasus bunuh diri ini bisa juga ditemui di masa perkembangan yang lebih lanjut (Nicolson & Ayers, 2004). Bahkan di Amerika Serikat, bunuh diri telah menjadi penyebab kematian terbanyak nomor dua bagi orang berusia 14 sampai 25 tahun (Dasey-Morales, 2011).
Pertanyaannya adalah mengapa remaja yang masih memiliki masa depan yang panjang malah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Alasan spesifik biasanya hanya bisa ditemukan di dalam alur kehidupan korban bunuh diri itu sendiri. Secara umum, bagi kebanyakan remaja, tahun-tahun perkembangan mereka bisa menjadi dipenuhi oleh guncangan dan stress. Remaja mengalami tekanan untuk bisa beradaptasi dan mencari jati diri di masyarakat. Masa remaja sendiri masih harus berjuang dengan masalah berkaitan dengan harga diri, kebimbangan dan perasaan terasing. Semua hal yang harus dialami remaja ini akhirnya bisa mengarah kepada depresi. Depresi inilah yang memang banyak dialami oleh korban bunuh diri sebelum melakukan aksinya (Efendi, 2009).
Di Indonesia sendiri, sepanjang Januari hingga November 2012 ini, saya menemukan setidaknya 22 berita dari berbagai website mengenai aksi bunuh diri yang dilakukan remaja dengan rentang usia 12 – 23 tahun. Perlu diingat juga bahwa 22 berita ini hanya sekedar angka yang diekspos oleh media di internet, belum termasuk peristiwa bunuh diri yang dilakukan bukan oleh remaja dan tidak diketahui karena berada di luar jangkauan. Jumlah yang lebih mengejutkan bisa dilihat berdasarkan data dari World Health Organization yang dihimpun tahun 2005-2007, tercatat 50.000 orang Indonesia telah melakukan aksi bunuh diri sepanjang tahun dengan berbagai macam alasan dan metode. Dari angka ini, bisa dibayangkan berapa banyak jumlah remaja yang termasuk di dalamnya.
Bunuh diri juga bukan hanya berdampak pada kehidupan korban yang berakhir di tangannya sendiri. Dalam beberapa kasus, orang yang ditinggalkan oleh korban bunuh diri bisa saja mengalami ‘survivor’s guilt’ yaitu sebuah rasa bersalah yang sangat besar karena menganggap dirinya gagal menjaga orang yang dicintainya, tidak menemani dan mencegahnya sebelum kejadian (Lickerman, 2010). Kegagalan dalam menerima kenyataan pahit seperti ini, bisa saja menyebabkan orang yang ditinggalkan berpikir hendak menyusul orang yang bunuh diri dengan melakukan hal yang sama.
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita bersama lakukan untuk mencegah angka bunuh diri ini meningkat di generasi muda. Meski kehidupan orang lain bukanlah tanggung jawabmu, tapi kepedulianmu bisa mengubah kehidupan seseorang. Orang yang berpikir hendak bunuh diri, bisa saja mengakhiri keinginannya sebelum dilakukan, selama ada orang lain yang memberikan perhatian lebih kepada hidupnya.
Nah, mungkin sekarang kamu jadi bertanya-tanya: gimana caranya bisa tahu orang itu mau bunuh diri kalau dia sendiri belum melakukannya?
Suicidal person’ atau orang yang berkeinginan melakukan bunuh diri biasanya menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang bisa kamu amati, di antaranya adalah:
1.      Menarik diri dari pergaulan dengan teman-teman dan kegiatan yang biasa dinikmati
2.      Kesulitan untuk konsentrasi, mudah bosan dan penurunan performa dalam melaksanakan tugas
3.      Mengekspresikan perasaan ingin mati, melarikan diri, dan ingin berpisah dari orang di sekitarnya
4.      Suasana hati yang berubah drastis, cenderung merasa tidak berdaya, tidak berguna, tidak berarti dan terjebak
5.      Merencanakan untuk menyakiti diri sendiri, menjadi lebih kasar, sembrono, mudah tersakiti dan lebih memberontak
6.      Tidak tertarik oleh hadiah ataupun pujian
7.      Perubahan pola makan dan tidur
8.      Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan
Menurut U.S. Department of Health and Human Services, ada beberapa faktor resiko yang bisa meningkatkan kemungkinan remaja melakukan bunuh diri, di antaranya adalah :
   1.      Masa depresi
   2.      Pelecehan dan penganiayaan di masa kanak-kanak
   3.      Peristiwa traumatis
   4.      Kurangnya orang yang mendukung dirinya
   5.      Lingkungan yang keras di sekolah (bullying, padatnya jadwal belajar, dll) ataupun di dalam keluarga (KDRT, broken home, dll)
   6.      Pemaparan yang jelas dan mendetail terhadap kasus bunuh diri remaja lainnya

Setelah kamu memperhatikan ciri-ciri tersebut ada di dalam perilaku orang yang bersangkutan dan mempertimbangkan faktor resiko bunuh diri pernah terjadi di dalam hidupnya, maka kamu bisa mencoba untuk mendekatinya perlahan-lahan. Dengan kehadiranmu yang mau mendengarkan si suicidal person ini, kamu akan memberikannya sebuah tempat untuk meluapkan semua perasaan negatifnya. Minimal, dia tahu bahwa dirinya tidak kesepian dan ada orang yang mau berusaha mengertinya. Hal ini bisa mengurangi kemungkinannya untuk melakukan bunuh diri. Namun, dikarenakan mereka sedang berada di dalam tahap kritis hidup mereka, kamu juga perlu memperhatikan apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan saat hendak membantu mereka agar tidak memperburuk keadaan mereka sendiri.
Saat memulai percakapan dengan ‘suicidal person’ ini, sangat disarankan untuk menggunakan empatimu dan menunjukkan perhatianmu apa adanya. Katakanlah bahwa selama ini kamu memperhatikannya dan melihatnya berubah. Tanyakanlah apakah ada sesuatu yang mengganggunya dan ada yang ia ingin ceritakan. Jika ia menolak untuk bicara, cukup katakanlah bahwa ia tidak sendirian dan kamu akan bersedia untuk mendengarkan di saat ia mau membicarakannya.
Begitu si ‘suicidal person’ ini mulai membicarakan masalahnya hingga ke titik keinginannnya untuk bunuh diri, sebisa mungkin, hindari memberikan nasihat ataupun berdebat mengenai keinginannya untuk bunuh diri (misalnya: “Hidupmu masih panjang lho”, “Lihat deh sisi positifnya) dan kurangi sikap yang menghakimi ataupun memojokkan pemikirannya tak peduli seberapa buruk pun pemikirannya untuk bunuh diri di matamu (seperti: “Bego banget sih mau bunuh diri”, “Lo mikirin keluarga lo gak sih gimana perasaan mereka kalo lo mati bunuh diri?”) karena semua hal itu tidak akan membantu sama sekali.
Pada tahun 1993, Shneidman, seorang suicidologist, menciptakan sebuah istilah bernama "psychache" yaitu luka psikologi dan emosional yang sangat mendalam hingga tidak bisa ditahan lagi dan tidak bisa mereda dengan cara apapun juga sebagai penyebab utama bunuh diri. Dengan demikian, seseorang pastinya telah memiliki psychache-nya tersendiri, sebuah luka yang cukup berat baginya, jika ia telah berpikir ingin bunuh diri. Meski bagimu masalah yang menyebabkan luka tersebut bisa kamu atasi dengan mudah, tapi cobalah untuk bersabar mendengarkan lebih lanjut mengenai apa yang berada di dalam hatinya. Dengarkan dan berikan ia kesempatan lebih banyak untuk mengungkapkan ekspresi emosi negatifnya. Tetaplah berpikir dengan tenang apapun yang hendak diucapkan olehnya nanti. Jangan sampai terlihat kaget sehingga si ‘suicidal person’ ini tidak menganggap kisahnya menjadi sebuah hal yang bisa mengejutkanmu ataupun membebanimu.
Tawarkanlah harapan kepada ‘suicidal person’ ini dengan menunjukkan bahwa dirinya penting bagimu dan kamu bersedia untuk mendengarkannya, tapi lebih baik untuk tidak memberikannya sebuah solusi atas masalah yang sedang dihadapi olehnya. Masalah sesungguhnya bukanlah hal yang dianggap masalah itu sendiri, masalah sesungguhnya yang memicu seseorang hendak bunuh diri adalah rasa sakit psychache yang disebabkan oleh masalah itu kepada dirinya. ‘Suicidal person’ tidak ingin mati, mereka hanya ingin mencari cara agar bisa lolos dari rasa sakit yang teramat sangat menjepit mereka. Jadi akan lebih baik lagi, jika kamu bisa mendorongnya secara halus untuk menemui seorang konselor, psikolog ataupun psikiater untuk bisa membantunya membimbingnya keluar dari masa-masa suramnya. Hati-hati di saat merekomendasikannya ke ahli kesehatan mental, karena bisa saja dia tersinggung mengingat stigma negatif orang gila yang masih menempel terhadap klient psikolog/pasien psikiater.
Jika kamu sudah melakukan ini semua, satu hal yang perlu kamu ingat adalah kewajibanmu sebagai sesama manusia adalah sebatas menunjukkan kepedulianmu untuk ‘suicidal person’ ini. Kamu harus mempersiapkan dirimu sebaik mungkin untuk mencegahnya bunuh diri, tapi kebahagiaan orang lain tetap berada di tangannya sendiri. YOU’VE DONE YOUR BEST, SO LET GOD TAKE CARE OF THE REST.
Penulis adalah mahasiswa semester 3 Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia (Tulisan ini pernah dimuat di : http://guetau.com/gaul/kepedulianmu-untuk-jiwa-yang-terluka.html)

No comments:

Post a Comment

Monophobia: Takut Sendirian?

  Edisi Februari 2025 Monophobia? Takut Sendirian? Penulis : Uday Fauzan           Pernahkah kamu merasa cemas atau panik saat harus berada ...