Saturday, February 7, 2015

Dissociative Disorders

Dissociative Disorders

       Secara umum, gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan sebagai adanya kehilangan, baik sebagian atau seluruh, di bawah kendali sadar yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan penginderaanan segera (awareness of identity and immediate sensations), serta kontrol terhadap gerak tubuh. Semua gangguan disosiatif diduga disebabkan oleh mekanisme umum (disosiasi), yang menghasilkan beberapa aspek kognisi atau pengalaman yang tidak dapat diakses secara sadar.
       Ada dua hal utama pada dissociative disorders, yaitu missing time (tidak tahu waktu dan tidak tahu apa yang sedang terjadi) dan tidak tahu siapa dirinya (hilang ingatan, split personality, dan merasa menjadi orang lain). Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu mengingat berbagai peristiwa pribadi penting, selama beberapa saat lupa akan identitasnya, atau bahkan membentuk identitas baru. Hal itu tentu dapat menganggu aktivitas sehari-hari bahkan terkadang dapat menimbulkan kekacauan dan kebingungan bagi lingkungan sekitar.
      Berdasarkan DSM-IV-TR, dissociative disorders terdiri atas empat jenis. Yang pertama adalah dissociative amnesia, yaitu hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres (tidak bisa menoleransi banyak stres). Seseorang yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang penting. Informasi tersebut tidak hilang secara permanen, hanya tidak dapat diingat selama episode amnesia yang berlangsung untuk jangka waktu yang singkat atau lama.
       Yang kedua adalah dissociative fugue. Pada gangguan ini, ingatan yang hilang lebih luas dibandingkan dengan dissociative amnesia. Individu tidak hanya amnesia, tetapi bisa tiba-tiba meninggalkan rumah dan pekerjaan, bahkan membentuk identitas baru tanpa disadari. Gangguan ini terjadi setelah seseorang mengalami pengalaman stres yang berat, seperti perselingkuhan, penolakkan, kesulitan ekonomi dan pekerjaan, peperangan, atau bencana alam.
       Selanjutnya depersonalization disorder, yaitu perasaan keterpisahan dengan diri. Gangguan ini biasa dipicu oleh stres. Hal tersebut melibatkan pengalaman sensoris yang tidak biasa, misalnya ukuran anggota badan mereka tampak berubah drastis atau suara mereka terdengar asing bagi diri mereka sendiri. Mereka mungkin memiliki kesan bahwa mereka berada di luar tubuh mereka, melihat dari kejauhan. Dan kadang-kadang juga merasa diri mereka dan orang lain seperti robot. Depersonalization disorder biasanya mulai muncul di masa remaja.

       Terakhir adalah dissociative identity disorder (split personality), yaitu gangguan di mana seorang individu memiliki dua atau lebih kepribadian tanpa disadari. Individu ini tidak dapat mengingat apa yang telah dilakukan oleh kepribadiannya yang lain. Secara singkat, kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif adalah keberadaan dua atau lebih kepribadian atau identitas, sekurang-kurangnya dua kepribadian mengendalikan perilaku secara berulang, dan ketidakmampuan untuk mengingat informasi pribadi yang penting.

Oleh: Maria Devina (Mahasiswa S1 Psikologi)

Somatoform Disorders

Somatoform Disorders

       Kata somatoform berasal dari bahasa Yunani, yaitu soma yang berarti tubuh. Gangguan somatoform bukanlah sesuatu yang dibuat-buat atau pura-pura, melainkan suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (nyeri, mual, pusing, dsb) di mana penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara medis serta dapat menganggu aktivitas sehari-hari. Orang-orang dengan gangguan ini biasanya tertekan dan bingung ketika dokter tidak dapat memberikan penjelasan psikologis bagi keluhan-keluhan mereka.
       Gangguan somatoform terdiri atas beberapa jenis. Yang pertama adalah pain disorder. Individu yang mengalami pain disorer akan merasakan gejala sakit atau nyeri yang tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan medis maupun neurologis. Intensitas keluhan yang dirasakan berfluktuasi dan dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis. Rasa sakit yang dirasakan dapat menyebabkan kesulitan atau gangguan yang signifikan, misalnya tidak dapat bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda sakit.
       Yang kedua adalah body dysmorphic disorder. Orang-orang dengan gangguan ini memiliki “keasyikan” tersendiri dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang ringan. Beberapa pasien dengan gangguan ini menghabiskan berjam-jam setiap hari secara kompulsif di depan cermin untuk memperhatikan kekurangan tubuhnya. Contoh dari gangguan ini adalah memakai pakaian yang sangat longgar untuk menutupi imajinasi kecacatan mereka atau mengurung diri di rumah agar imajinasi kecacatan mereka tidak dilihat oleh orang lain. Treatment bisa dilakukan dengan menggunakan cara medis atau behavioral therapy yang dikombinasikan dengan cognitive therapy.
       Kemudian hypochondriasis, yaitu ketakutan bahwa dirinya memiliki penyakit yang serius, meskipun pemeriksaan medis menyatakan hal sebaliknya. Biasanya dimulai pada masa dewasa awal dan cenderung menjadi kronis. Individu yang mengalami hal ini biasanya sering menjalani peran sebagai orang sakit atau merupakan konsumen yang sering menggunakan pelayanan kesehatan. Satu contoh dari gangguan ini adalah menganggap batuk yang diderita merupakan penyakit TBC.
       Yang keempat adalah somatization disorder (Briquet’s syndrome), yaitu beberapa keluhan somatik berulang yang tidak memiliki penjelasan fisik tapi menyebabkan seseorang untuk mencari pengobatan. Orang dengan gangguan ini cenderung sering berkunjung ke dokter dan mencoba banyak obat yang berbeda. Somatization disorder biasanya dimulai pada masa dewasa awal.

       Terakhir adalah conversion disorder, yaitu munculnya gejala sensorik atau motorik secara tiba-tiba. Orang dengan gangguan ini mungkin mengalami kelumpuhan sebagian atau keseluruhan; kejang dan gangguan koordinasi; sensasi seperti ditusuk-tusuk; kesemutan; ketidakpekaan terhadap nyeri; anestesi (kehilangan sensasi); hilangnya penglihatan; atau hilangnya penciuman (anosmia). Gangguan ini mungkin bisa dihilangkan dengan menggunakan hipnosis.

Oleh: Maria Devina (Mahasiswa S1 Psikologi) 

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...