Tuesday, May 25, 2021

TOXIC POSITIVITY


“Semangat, pasti bisa!” 

“Tenang saja, semua pasti dapat dilewati. Masih ada orang yang lebih kurang beruntung.” 

“Bersyukur terus ya ..” 

Pernah dengar kalimat-kalimat ini ketika diberikan atau memberikan penguatan kepada orang lain karena mengalami masalah? Kita pasti pernah mendengar bahkan menyampaikan hal yang sama ketika ada orang lain yang membutuhkan penguatan. Pernahkah kamu mendengar tentang toxic positivity? Apa sih toxic positivity itu? 

Secara tidak langsung, kalimat-kalimat diatas termasuk dalam toxic positivity – sikap positif yang justru menjadi racun (Soerjoatmodjo, 2020). Toxic positivity merupakan pola pikir dimana individu selalu berusaha untuk berpikir positif serta menganggap bahwa dengan melakukan hal tersebut adalah cara yang tepat dalam menjalani hidup (Dewi, 2020). Dengan kata lain, dalam hidup ini kita hanya menerima hal-hal positif dalam dan menolak hal-hal lainnya termasuk emosi negatif yang muncul. 

Fyi, toxic positivity ini tidak hanya datang dari orang lain melainkan dapat muncul lewat percakapan kita dengan diri sendiri lewat self-talk. Misalnya pada saat kita bercakap pada diri sendiri bahwa “Hari ini aku merasa lelah” kemudian coba lanjutkan dengan kalimat, “Ya, lalu?” Dengan demikian, ungkapan negatif tetap diekspresikan, rasa lelah tetap diterima, sehingga hal ini memacu diri untuk berpikir lebih lanjut. “Ya, aku lelah, sehingga artinya aku perlu yang namanya istirahat,” inilah contoh percakapan yang bisa terjadi ketika kita bercakap dengan diri sendiri dalam rasa penuh penerimaan. 

Jika dibandingkan dengan “Aku merasa lelah hari ini.”, kemudian “Ayo, tidak baik berpikir seperti itu, kita harus kuat.” Maka penerimaan diri tidak akan tercapai, malah membuat semakin kelelahan, yang kemudian membuat kita tidak bisa berpikir alias buntu. Dari hal ini kita perlu mengambil kesimpulan bahwa istirahat teratur tidak akan berhasil kita raih. Sehingga apa yang terjadi? Tubuh serta otak akan terus merasa lelah, lelah dan lelah. 

Cara pikir atau emosi positif yang dilakukan sebenarnya hanya ingin menghindar dari perasaan tidak nyaman, sehingga muncul perasaan selalu benar dan menang. Namun ketika kita menghindari perasaan tidak nyaman itu, kita tentu akan menekan perasaan tersebut hingga dapat menimbulkan perasaan negatif lainnya. Apalagi saat perasaan itu telah kita timbun setelah sekian lama hingga akhirnya dapat meledak suatu saat seperti bom waktu. 

Mungkin masih banyak yang berpikir jika kita selalu berpikir positif, hal tersebut membuat kita selalu tidak menyerah pada keadaan yang sulit, tapi pada kenyataannya mereka belum menyadari bahwa kecemasan yang mereka tekan atau hindari tersebut sebenarnya sangat bermanfaat pada kehidupan kita. Saat kecemasan muncul, maka kita akan lebih berhati-hati dan juga mencari solusi mengenai apa yang kita cemaskan. Contohnya seperti saat sedang ujian kita cemas mengenai nilai akhir, kita tentunya akan mencari jalan keluar bagaimana caranya agar nilai kita bagus dan akhirnya kita akan mengeluarkan usaha yaitu dengan belajar. Jika kita hanya berpikir positif bahwa nilai kita akan baik-baik saja tanpa adanya usaha, maka pikiran tersebut akan membawa anda pada nilai yang buruk juga. 

Selain membuat kita menjadi berhati-hati, ketika ada masalah kita juga memainkan peran emosi kita seperti menjadi sedih, marah, atau perasaan normal lainnya. Tapi lagi-lagi ketika hal itu tidak terungkapkan atau hanya dipendam saja, maka akan membuat kita stress atau bahkan dapat memiliki penyakit mental lainnya. Sebaliknya jika kita mengeluarkan emosi negatif tersebut dengan menyalurkannya pada aktivitas maka kita juga akan merasa lebih baik, misalnya seperti bercerita, menangis, berolahraga, atau melakukan hobi lainnya. 

Dalam hidup, kita pun membutuhkan yang namanya emosi negatif. Jangan semata-mata hanya emosi positif saja yang kita terima karena anggapan agar hidup terus berjalan dengan baik. Tidak baik memiliki emosi negatif yang berlebihan, tetapi tidak baik pula memiliki emosi positif yang berlebihan. Semua yang berlebihan itu tidak baik. Sehingga apapun emosi yang muncul, kita harus melakukan penerimaan. 

Selain itu, untuk menjauhkan diri kita dari toxic positivity ada baiknya untuk memilih penggunaan kata atau kalimat yang tepat untuk memberikan penguatan kepada mereka yang membutuhkan. Seperti contohnya, daripada kita mengatakan “Masa gitu aja kamu tidak bisa” diganti dengan “Memang terkadang kita mengalami sebuah masalah, tapi kita sama-sama harus melewatinya ya”. Dari semua ini, yuk kita sama-sama berhenti menyebarkan toxic positivity!

Daftar pustaka

Dewi, Hayuning1 Purnama. 2020. “Toxic Positivity: Ucapan Positif Yang Berdampak Negatif”,   https://www.ubaya.ac.id/2018/content/news_detail/2838/Toxic-Positivity--Ucapan-Positif-yang-      Berdam pak-Negatif.html, diakses pada 5 Mei 2021 pukul 22.00

Soerjoatmodjo,    Gita              W.      Laksmini.             2020.    “Manakala           Positif            Justru Negatif”,https://www.researchgate.net/profile/Gita-Soerjoatmodjo/publication/344519335_Manakala_Positif_Justru_Negatif/links/5f7de20c92851c14bcb663ae/Manakala-Positif-Justru-Negatif.pdf?origin=publication _detail, diakses pada 5 Mei 2021 pukul 22.00.

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...