Saturday, September 10, 2022

STOCKHOLM SYNDROME

Pada 23 Agustus 1973, 4 pegawai bank Normalmstorg di Stockholm, Swedia disandera saat perampokan yang dilakukan oleh Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson di bank tersebut. Penyanderaan yang terjadi selama 6 hari (23 Agustus 1973 - 28 Agustus 1973) ini ternyata membuahkan hasil yang tidak terduga. Setelah dibebaskan, para korban justru mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan para penyandera hingga membela mereka dalam pengadilan dengan menyiapkan dana daripada melawannya. Para korban juga melaporkan bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para penyandera. Selain itu, salah satu dari korban juga diketahui bertunangan dengan salah satu penyandera mereka.

Akibat kasus ini, terciptalah istilah “Stockholm Syndrome” oleh seorang psikiater dan kriminolog asal Swedia yang bernama Nils Bejerot (Eske, 2020; Rahme et al., 2020). Namun, terdapat satu kasus yang terjadi jauh sebelum kasus perampokan Bank Normalmstorg terjadi yang juga diidentifikasi sebagai salah satu kasus stockholm syndrome, yaitu kasus yang terjadi pada bulan Mei 1933 dimana seorang wanita bernama Mary McElroy diculik oleh 4 pria dengan jumlah uang yang besar sebagai tebusan. Setelah Mary dibebaskan, seperti kasus sebelumnya, Mary tampak bersimpati pada penculiknya ketika penculiknya harus dihukum gantung akibat perbuatannya. Mary juga dikatakan sering mengunjungi penculiknya dan melaporkan bahwa keempat penculik tersebut memperlakukannya dengan baik meskipun nyatanya ia diculik saat sedang mandi, diancam akan ditembak, dibawa ke bangunan yang terbengkalai, dan dirantai di ruang bawah tanah.

Berdasarkan kedua kasus di atas, mungkin kita sudah memiliki sedikit tebakan mengenai stockholm syndrome. Namun, apa sebenarnya stockholm syndrome itu?

Stockholm Syndrome

Stockholm syndrome atau sindrom stockholm didefinisikan sebagai suatu respon psikologis yang dialami korban sandera atau korban kekerasan yang terjadi ketika para korban memiliki ikatan dengan penculiknya (Holland, 2019). Fadli (2022) juga menyatakan bahwa keadaan dimana korban menjadi simpati terhadap pelaku akibat ikatan emosional yang terbentuk di antara keduanya termasuk sebagai suatu kondisi yang langka. Terbentuknya ikatan ini dapat membuat korban tidak melarikan diri ketika diberi kesempatan dan bahkan mungkin mencoba mencegah penculiknya dalam menghadapi konsekuensi atau hukuman atas tindakannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa syndrome ini merupakan kondisi dimana korban penculikan merasa simpati bahkan jatuh cinta dengan penculiknya.

Walaupun kondisi ini merupakan kondisi yang langka, kondisi ini masih harus tetap diperhatikan. Maka dari itu, berikut adalah beberapa gejala dari stockholm syndrome menurut Nair (2015), yaitu seperti mudah marah, sering mengalami mimpi buruk, sering mengalami kesulitan untuk tidur atau insomnia, mudah untuk terkejut, mengalami ketidakpercayaan, mengalami kilas balik atau flashback, ketidakmampuan dalam menikmati pengalaman yang sebelumnya menyenangkan, dan sulit untuk berkonsentrasi. Namun ada juga ciri-ciri lainnya seperti munculnya perasaan positif terhadap pelaku, mendukung perilaku dari pelaku, munculnya perasaan negatif terhadap teman, keluarga, dan pihak yang berusaha untuk membantu mereka, dan ketidakmauan untuk terlibat dalam perilaku yang dapat membantu pembebasan mereka.

Nah setelah kita mengetahui apa itu stockholm syndrome beserta gejalanya, pertanyaan selanjutnya adalah apa sih yang sebenarnya menjadi penyebab terjadinya stockholm syndrome?

Sayangnya, sampai saat ini, penyebab stockholm syndrome masih belum diketahui secara jelas (Eske, 2020). Namun, menurut Graham, Rawlings, dan Rigsby (1994), stockholm syndrome tidak akan berkembang dan bertahan tanpa adanya kesalahan atribusi yaitu distorsi kognitif, dimana distorsi kognitif yang dimiliki korban dapat menimbulkan keyakinan untuk mencintai pelaku kekerasan dan menyalahkan diri sendiri atas kekerasan yang dialami. Menurut seorang ahli psikolog klinis, Carver (2014), terdapat 4 faktor yang menjadi dasar berkembangnya stockholm syndrome, diantaranya:

1. Terdapat ancaman yang dirasakan oleh korban terhadap kelangsungan hidup, baik dari fisik maupun psikologis, dimana korban merasa yakin bahwa ancaman tersebut akan dilakukan oleh pelaku.

2. Korban merasakan adanya kebaikan kecil yang diberikan oleh pelaku. Dengan kebaikan yang dirasakan oleh korban tersebutlah yang akhirnya mengembangkan rasa belas kasih kepada pelaku.

3. Korban menutup perspektif/sudut pandang lain, selain dari pelaku. Pada kasus perampokan bank di Stockholm, para sandera menolak untuk bersaksi di pengadilan dan memilih untuk membela pelaku karena mereka melihat hanya dari sudut pandang pelaku saja.

4. Korban merasa tidak memiliki kemampuan untuk melarikan diri dari situasi. Stockholm syndrome juga bisa disebut sebagai strategi bertahan hidup yang delusif yang tercipta dengan menaruh belas kasih dengan harapan dapat terbebas dari perlakuan buruk pelaku yang dapat mengancam nyawa.

Fenomena stockholm syndrome ternyata juga memberikan inspirasi bagi dunia perfilman. Salah satu film yang berjudul "The Factory" memberikan gambaran mengenai stockholm syndrome (Julian, 2020) dimana para wanita korban penculikan yang dikurung di ruangan bawah tanah merasa nyaman dengan pelaku dan bahkan memanggil sang pelaku dengan panggilan "Ayah". Atas dasar ini, korban memperlakukan pelaku layaknya ayah sendiri dan melupakan fakta bahwa mereka sebenarnya merupakan korban penculikan. Namun, mereka juga mendapat ancaman bahwa apabila mereka gagal untuk mengandung anak, mereka akan dilemparkan kedalam sumur.

            Secara garis besar, stockholm syndrome, dimana seseorang yang menjadi korban penculikan memiliki ikatan emosional dengan orang yang menculiknya, merupakan kondisi yang jarang ditemui dan belum diketahui dengan jelas penyebabnya hingga saat ini. Meski begitu, hal ini bukan berarti tidak mungkin terjadi. Nyatanya, Nils Bejerot, yang adalah seorang psikiater dan kriminolog, menciptakan istilah stockholm syndrome ini berdasarkan kasus penculikan yang terjadi di Stockholm, Swedia pada Agustus 1973.

            Seseorang dengan stockholm syndrome akan merasakan keterikatan terhadap orang yang menculiknya. Ikatan antara keduanya dapat muncul karena adanya perasaan simpati atau bahkan cinta. Hal ini bisa terjadi karena korban penculikan merasakan kebaikan kecil dari pelaku atau korban bersimpati setelah menempatkan diri dari sudut pandang pelaku. stockholm syndrome juga mungkin terjadi atas dasar pertahanan diri demi keberlangsungan hidup korban itu sendiri.

Namun, perlu diingat kembali bahwa stockholm syndrome merupakan reaksi psikologis terhadap penculikan dan bukan gangguan psikologis.

 

DAFTAR PUSTAKA

Bovsun, M. (2009). The Lady and Her Kidnappers. Retrieved July 21, 2022. https://www.nydailynews.com/news/crime/lady-kidnappers-article-1.396520

Burton, N. (2018). What Underlies Stockholm Syndrome?. Retrieved July 21, 2022. https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/201203/what-underlies-stockholm-syndrome

Carver, J. M. (2014). Love and Stockholm Syndrome: The Mystery of Loving an Abuser. Retrieved July 28, 2022.  https://counsellingresource.com/therapy/self-help/stockholm

Eske, J. (2020). What Is Stockholm Syndrome?. Retrieved July 21, 2022. https://www.medicalnewstoday.com/articles/stockholm-syndrome#origins

Fadli, R. (2022). Ketahui 4 Fakta Menarik Tentang Stockholm Syndrome. Retrieved July 30, 2022. https://www.halodoc.com/artikel/ketahui-4-fakta-menarik-tentang-stockholm-syndrome

Graham, D. L. R., Rawlings, E. I., & Rigsby, R. K. (1994). Loving to survive: Sexual terror, men’s violence, and women’s lives. New York: New York University Press.

Holland, K. (2019). What is Stockholm Syndrome and Who Does it Affect?. Retrieved August 1, 2022. https://www.healthline.com/health/mental-health/stockholm-syndrome

Julian. (2020). Sinopsis Film The Factory: Kisah 2 Wanita Pengidap Sindrom Stockholm, Tayang di Trans TV. Retrieved July 28, 2022. https://zonabanten.pikiran-rakyat.com/entertainment/pr-23905293/sinopsis-film-the-factory-kisah-2-wanita-pengidap-sindrom-stockholm-tayang-di-trans-tv

Logan, M. H. (2018). Stockholm syndrome: Held hostage by the one you love. Violence and Gender, 5(2), 67–69. http://dx.doi.org/10.1089/vio.2017.0076

Nair, M. S. (2015). Stockholm syndrome -A self delusive survival strategy. IJAR: International Journal of Advanced Research, 3(11), 385-388.

Rahme, C., Haddad, C., Akel, M., Khoury, C., Obeid, H., Obeid, S., & Hallit, S. (2020). Does stockholm syndrome exist in Lebanon? Results of a cross-sectional study considering the factors associated with violence against women in a lebanese representative sample. Journal of Interpersonal Violence, 1-23.

 

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...