Friday, November 21, 2025

Albert Bandura: The Bobo Doll Experiment

 Edisi November 2025

The Bobo Doll Experiment

Sumber : https://techofcomm.wordpress.com/2019/07/18/observational-learning-the-bobo-doll-experience-or-experiment/

Penulis : Jovanka Nartawijaya & Chelsea Christy Setiawan

PENJELASAN TOKOH

Albert Bandura lahir pada tanggal (4 Desember 1925 - 26 Juli 2021) di Mundare, sebuah kota kecil di dataran utara Alberta. Bandura memulai pendidikannya di sekolah dasar dan menengah yang sederhana dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas. Namun Bandura yang terlahir jenius berhasil menyelesaikan sekolahnya dengan nilai rata-rata yang sangat memuaskan. Pada tahun 1949 Bandura memperoleh gelar sarjana psikologi dari University of British of Colombia. Setelah itu, pendidikannya dilanjutkan di University of Iowa. Di sana, ia meraih gelar Ph.D. pada tahun 1952. Ia kemudian muncul sebagai tokoh sentral dalam behaviorisme masa kini dengan teori-teori pembelajaran yang berhasil ia rumuskan. 



EKSPERIMEN

Albert Bandura adalah seorang psikolog yang percaya bahwa manusia bisa belajar hanya dengan mengamati orang lain, bukan hanya lewat hadiah atau hukuman.

Pada tahun 1960-an, banyak psikolog berpikir bahwa perilaku hanya bisa dipelajari lewat pengalaman langsung. Bandura tidak setuju. Ia mengatakan bahwa kita juga bisa belajar dengan menonton orang lain, terutama orang yang dianggap sebagai panutan—seperti orang tua, guru, atau tokoh di TV.

Untuk membuktikan teorinya, Bandura membuat eksperimen dengan boneka Bobo. Ia ingin tahu apakah anak-anak bisa belajar bersikap agresif hanya dengan melihat orang dewasa bersikap agresif?

Eksperimen ini jadi penting karena saat itu banyak orang mulai khawatir tentang dampak acara TV yang penuh kekerasan terhadap anak-anak.


PROSES EKSPERIMEN

1. Partisipan

  • Terdiri dari 72 anak (36 laki-laki dan 36 perempuan), berusia 3 hingga 6 tahun.
  • Dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing berisi 24 anak.

2. Pembagian Kelompok

    • Kelompok 1: Melihat orang dewasa bersikap agresif terhadap boneka Bobo.

    • Kelompok 2: Melihat orang dewasa bermain dengan tenang dan tidak agresif.
    • Kelompok 3: Tidak melihat model sama sekali (kelompok kontrol).

    Setiap kelompok juga dibagi dua: separuh melihat model laki-laki, separuh melihat model perempuan.

    3. Tahap Pemodelan

    • Anak-anak dibawa satu per satu ke ruangan untuk menyaksikan model dewasa bermain.
    • Dalam kondisi agresif, model memukul, menendang, dan berteriak pada boneka Bobo (contoh: “Hajar hidungnya!”).
    • Dalam kondisi tidak agresif, model bermain tenang dengan mainan lain dan4mengabaikan boneka Bobo.

    4. Tahap Frustasi

        • Setelah mengamati model, anak-anak dibawa ke ruangan lain dengan mainan menarik.
        • Mereka diberi tahu bahwa mereka hanya bisa bermain sebentar—tujuannya untuk memunculkan sedikit rasa frustrasi.

        5. Tes Peniruan

        • Anak-anak kemudian ditempatkan di ruangan dengan boneka Bobo dan mainan lainnya.
        • Pengamat mencatat perilaku anak selama 20 menit, termasuk:

          • Agresi fisik (memukul, menendang)

          • Agresi verbal (berteriak dengan kata-kata mirip model)

          • Perilaku tidak agresif



        HASIL EKSPERIMEN

        • Anak-anak yang melihat model agresif menunjukkan perilaku agresif yang jauh lebih tinggi.

        • Anak laki-laki lebih sering meniru model laki-laki; anak perempuan lebih banyak menunjukkan agresi verbal saat melihat model perempuan.

        • Anak-anak di kelompok tidak agresif dan kontrol menunjukkan sedikit agresi.


        Referensi

        Bandura, A. (n.d.). Influence of models” reinforcement contingencies on the acquisition of imitative responses. Journal of personality and social psychology, 1(6), 589.

        Shalma, N. A. (2023). Implementation of Albert Bandura's modeling learning theory in  Sholat Khusyu Ikhlas learning at MI Mumtaza Islamic School Pamulang. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

        Saturday, November 8, 2025

        Martin Seligman: Learned Helplessness


        Penulis: Gabriel Tiara Chandra Kusuma & Yonatan Stevano Tedjolaksono

        Latar Belakang 
            Teori Learned Helplessness dikembangkan oleh Martin E.P. Seligman dan rekan-rekannya melalui serangkaian eksperimen psikologis yang dimulai pada akhir 1960-an. Latar belakang teoritisnya dapat dibagi menjadi dua fase utama: 1) Model Awal yang Berbasis Behaviorisme, dan 2) Reformulasi Kognitif yang menghubungkannya dengan depresi pada manusia.

            A. Pondasi Awal : Eksperimen dan Model Behaviorisme
            Eksperimen Paradigma Triadik: Seligman & Maier (1967) merancang eksperimen dengan 3 kelompok anjing. Eksperimen ini dilakukan untuk mencari tahu tentang bagaimana hewan, terutama anjing, merespons stres yang tidak dapat dikendalikan dan apakah respons tersebut bisa diterapkan pada situasi lain. Penelitian ini berlangsung di Universitas Pennsylvania oleh Martin Seligman dan Steven Maier pada tahun 1967. Subjek penelitian yang digunakan adalah anjing dewasa yang dipilih berdasarkan kemampuan mereka dilatih dan kesesuaian untuk eksperimen perilaku. Anjing-anjing tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 
        a. Escapable Shock Group: Anjing ini menerima kejutan listrik yang dapat mereka hentikan dengan menekan panel dengan hidung mereka.
        b. Unescapable Shock/Yoked Group: Anjing dalam grup ini menerima kejutan yang sama persis dengan Grup Escape, tetapi mereka tidak memiliki kendali untuk menghentikannya. Kejutan akan berhenti hanya jika anjing di Grup Escape menekan panel.
        c. Control Group: Anjing yang tidak menerima kejutan sama sekali. Kemudian, semua anjing ditempatkan dalam sebuah kandang baru dengan pembatas rendah yang dapat mereka lompati untuk menghindari kejutan. Hasilnya mengejutkan (Seligman & Maier, 1967):

            • Prosedur  
            Pada tahap pertama, anjing dari kelompok pertama diberikan kejutan listrik yang dapat dihentikan dengan cara menekan panel menggunakan hidung (escapable shock group). Anjing di kelompok kedua juga menerima kejutan dengan durasi dan intensitas yang sama, namun tidak memiliki kendali apa pun untuk menghentikannya, karena sistem kejutan mereka dihubungkan secara langsung dengan anjing dari kelompok pertama (inescapable shock/yoked group). Sementara itu, kelompok ketiga hanya ditempatkan dalam harness tanpa menerima kejutan listrik (control group).
            Setelah sesi perlakuan selesai, semua anjing dipindahkan ke alat uji berupa kotak dua ruang (shuttle box) yang dipisahkan oleh penghalang rendah. Pada tahap ini, anjing diberikan kesempatan untuk menghindari kejutan listrik dengan melompati penghalang ke sisi lain setelah mendengar atau melihat sinyal peringatan yang menandakan kejutan akan diberikan.
            Hasil pengujian menunjukkan bahwa anjing dari kelompok pertama dan kelompok kontrol mampu belajar untuk melarikan diri atau menghindari kejutan, sedangkan anjing dari kelompok kedua tidak berusaha melakukan apapun, meskipun sebenarnya mereka dapat melompat untuk menghindar. Mereka cenderung diam dan pasif, seolah telah menerima bahwa upaya mereka tidak akan menghasilkan perubahan. Temuan ini menjadi dasar munculnya konsep learned helplessness, yaitu kondisi ketika individu belajar untuk tidak berdaya karena pengalaman sebelumnya yang membuat mereka meyakini bahwa tindakan mereka tidak memiliki pengaruh terhadap hasil yang diperoleh.

        Kesimpulan
            Seligman menyimpulkan bahwa anjing tersebut telah belajar bahwa hasil dari suatu situasi tidak bergantung pada respons mereka. Mereka membentuk harapan bahwa "tindakan apa pun yang saya lakukan adalah sia-sia." Harapan yang dipelajari inilah yang kemudian digeneralisasikan ke situasi baru, bahkan yang sebenarnya dapat dikendalikan, sehingga menghasilkan tiga defisit utama:
        Defisit Motivasi :Keengganan untuk memulai tindakan baru.
        Defisit Kognitif :Kesulitan untuk mempelajari bahwa tindakan mereka dapat efektif di kemudian hari.
        Defisit Emosional :Gejala mirip depresi (seperti kepasifan dan afek negatif).

             B. Reformulasi Kognitif : Teori Atribusi dan Gaya Penjelasan
            Teori awal dikritik karena dianggap terlalu mekanistik untuk menjelaskan kompleksitas manusia. Oleh karena itu, Abramson, Seligman, dan Teasdale (1978) melakukan reformulasi kognitif terhadap teori ini, yang menjadi landasan teoritis utama hingga kini. Latar belakang reformulasi ini adalah untuk menjawab pertanyaan: "Mengapa orang bereaksi berbeda terhadap peristiwa yang tidak terkendali? Mengapa ada yang menjadi putus asa, sementara yang lain tidak?" Jawabannya terletak pada gaya penjelasan (explanatory style) cara seseorang menjelaskan penyebab suatu peristiwa.
            Teori yang direformulasi menyatakan bahwa ketika seseorang menghadapi peristiwa negatif yang tidak terkendali, mereka akan membuat atribusi kausal. Konsekuensi dari ketidakberdayaan (seperti depresi) ditentukan oleh sifat dari atribusi-atribusi ini, yang terbagi dalam tiga dimensi:
        a. Internal vs. Eksternal:
        Internal: Menyalahkan diri sendiri. "Ini terjadi karena saya tidak mampu."
        Eksternal: Menyalahkan faktor luar. "Ini terjadi karena situasinya memang sulit."
        b. Stabil vs. Tidak Stabil:
        Stabil: Percaya penyebabnya bersifat permanen. "Penyebab ini akan selalu hadir."
        Tidak Stabil: Percaya penyebabnya bersifat sementara. "Penyebab ini hanya untuk kali ini saja."
        c. Global vs. Spesifik:
        Global: Percaya penyebabnya mempengaruhi banyak area kehidupan. "Ini akan merusak segala hal yang saya lakukan."
        Spesifik: Percaya penyebabnya terbatas pada situasi tertentu. "Ini hanya berlaku untuk situasi ini saja."

            • Kaitan dengan depresi
            Menurut teori ini, individu yang memiliki gaya penjelasan pesimistis yaitu, mereka yang cenderung menjelaskan peristiwa negatif dengan atribusi yang Internal, Stabil, dan Global (misal: "Saya gagal karena saya bodoh [internal] dan kebodohan saya ini permanen [stabil], serta akan merusak semua yang saya kerjakan [global]") akan paling rentan mengalami learned helplessness dan depresi klinis. Atribusi semacam ini menyebabkan seseorang merasa:
        - Tidak berharga (karena internal),
        - Putus asa (karena stabil),
        - Tidak berdaya secara menyeluruh (karena global).


        REFERENSI

        Seligman, M. E. P., & Maier, S. F. (1967). Failure to escape traumatic shock. Journal of Experimental Psychology, 74(1), 1–9.
        Maier, S. F., & Seligman, M. E. P. (1976). Learned helplessness: Theory and evidence. Journal of Experimental Psychology: General, 105(1), 3–46.
        Zimbardo, P. G. (n.d.). The Seligman's learned helplessness experiment: Setup, results, and psychological insights. Diakses pada 6 November, 2025 dari https://www.zimbardo.com/the-seligmans-learned-helplessness-experiment-setup-results-and-psychological-insights  


        Hermann Ebbinghaus: The Forgetting Curve and Its Intervention

        Edisi Desember 2025 Hermann Ebbinghaus: The Forgetting Curve and Its Intervention Sumber :  https://www.growthengineering.co.uk/wp-content/u...