Friday, November 23, 2012

Teori cinta: I love You just the way you are by Clara Moningka

I Love You Just The Way You Are 



Saya sangat terharu ketika datang menghadiri perayaan hari ulang tahun pernikahan ke-60 seorang kenalan. Betapa bahagianya pasangan yang merayakan. Mereka duduk berdampingan sambil bergandengan tangan. Senyum menghiasi wajah keduanya. Seorang rekan yang hadir bertanya "Apakah kita bisa seperti mereka, punya cinta yang tak tergerus waktu?"

Seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan sebagai suatu ikatan sakral antarmanusia mulai dipertanyakan. Perselingkuhan menjadi hal yang biasa dilakukan. Perceraian pun lazim kita dengar dan kita tanggapi secara biasa pula. Kesetiaan menjadi kata yang sulit dilaksanakan. Sampai di manakah batas kesetiaan manusia? Akankah cinta yang tadinya ada menjadi tiada? Apakah benar kita dapat mencintai seseorang untuk selama-lamanya? Di saat susah, di kala senang, sampai ajal memisahkan? Bagaimana mewujudkan cinta seperti itu?

Saat saya berkumpul dengan beberapa orang teman, kami berbincang-bincang mengenai makna kesetiaan dan hakikat pernikahan. Maklum, beberapa di antara kita akan melangkah ke jenjang pernikahan. Pernikahan menjadi topik seru yang diperbincangkan mulai dari persiapan, pesta, hingga calon pasangan. Soal pasangan masing-masing adalah hal paling menarik dibahas. Sampai di mana kita merasa cocok dengan pasangan kita? Seorang teman mengisahkan pengalaman rekan di kantornya yang membatalkan pernikahan meskipun waktu tinggal sebulan lagi. Kami semua terkaget-kaget karena persiapan sudah sedemikian mantap. Gedung tempat pesta sudah dibayar, foto prewedding sudah kelar, undangan hampir disebar. Apa yang terjadi? Ternyata sang pria merasa tidak siap untuk menikah dan merasa tidak cocok dengan sang wanita. Padahal pasangan itu berpacaran lebih dari lima tahun.

Menyatukan dua orang dengan latar belakang yang berbeda, bahkan sangat berbeda, bukanlah hal yang mudah. Budaya, pola asuh, pendidikan, dan lingkungan keluarga serta pergaulan sangat mempengaruhi perilaku seseorang dan kecocokannya dengan orang lain. Terkadang yang kita anggap cocok saat ini, belum tentu cocok nanti. Seiring dengan perjalanan waktu, kita tidak hanya melihat persamaan, namun juga melihat perbedaan. Kemudian sampai di mana kita mampu mengelola perbedaan tersebut menjadi sesuatu yang indah, di mana yang satu dapat melengkapi yang lain? Bila kedua belah pihak tidak dapat menerima perbedaan yang ada, atau malah hanya berdiam diri dan menyimpan dalam hati tanpa membicarakannya, akan muncul masalah dalam hubungan tanpa mereka sendiri.

Seringkali orang mencari pasangan berdasarkan penampilan fisik atau materi semata. Padahal standar fisik (cantik, langsing, ganteng, kekar) atau materi bersifat subjektif. Memang kadang hal tersebut dapat membuat kita bahagia namun di mana esensi cinta?

Robert Sternberg, seorang psikolog mengemukakan konsepsi mengenai cinta. Ia mengilustrasikan cinta dalam bentuk segitiga.

Cinta yang penuh atau lengkap adalah cinta yang disebut consummate love, yakni kombinasi dari adanya keintiman (intimacy), hasrat (passion), dan komitmen (commitment) . Cinta tanpa komitmen tidak menunjukkan adanya kesetiaan dan saling mengasihi yang mendalam. Cinta tersebut hanya karena nafsu, membara namun pada akhirnya berpaling ketika ada objek cinta yang lain. Komitmen menandakan adanya penerimaan antara yang satu dengan yang lain dan menjadikan cinta sebagai sesuatu yang suci di antara mereka.

Di lain pihak, cinta tanpa hasrat merupakan cinta yang hampa. Komitmen saja, misalnya karena terpaksa menikah karena pilihan orang tua atau karena berhutang budi tanpa memiliki hasrat, menyebabkan ikatan karena keharusan, bukan karena kerelaan. Baik, bila pada akhirnya cinta dapat tercipta. Bila tidak, hubungan terasa hampa. Cinta yang timbul karena komitmen dan hasrat semata, tanpa mau mengenal pasangan lebih dalam dan berusaha memahami serta membangun keintiman yang lebih dalam adalah cinta yang kekanak-kanakan. Seperti cinta monyet. Esensi cinta juga sulit ditemukan dalam cinta semacam ini.

Masalah dapat timbul dan cinta dapat hilang begitu saja. Bila kita mampu membangun komitmen, mengenal pasangan kita lebih jauh, memahami dirinya sebagai pribadi yang unik dan kita cintai, memiliki hasrat untuk bersamanya, maka kita akan mendapatkan cinta seutuhnya. Tidak mudah memang. Namun, belajar untuk menerima, saling membangun satu sama lain, dan menyadari bahwa cinta saya adalah pada pribadi ini dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah cinta yang sebenarnya. Pada dasarnya, mewujudkan hal tersebut tidak semudah ketika saya menuliskannya. Seperti telah diungkapkan di atas, menyatukan segala perbedaan bukan hal yang mudah. Berusaha untuk menerima dengan lapang dada, tidaklah mudah. Tetapi pasangan seperti apakah yang kita cari? Sampai kapan kita akan menemukan pasangan yang sempurna? Jawabannya tidak akan pernah ada kecuali kita sendiri yang menciptakan kesempurnaan itu. Cinta yang timbul dari hati, dari kejujuran dan ketulusan, love actually alias I love you just the way you are. Hal tersebut pada akhirnya akan membantu kedua belah pihak menyelesaikan masalah yang ada.

Toh kita tidak akan tetap muda dan terus mencari dan mencari. Suatu hari kita akan merasakan kerinduan untuk berbagi dengan orang yang penting dalam hidup kita, ingin menggenapkan tugas perkembangan kita yaitu membangun keluarga. Pada saatnya nanti, pernikahan bukanlah permainan, bukan hanya sekadar pesta, namun merupakan janji suci dua insan. Apakah akan berakhir dengan kesedihan karena sikap egois dan seenaknya sendiri atau berakhir bahagia hingga akhir waktu kita sendiri yang dapat menentukan.
Sumber: "I Love You Just The Way You Are" oleh Clara Moningka, Dosen Prodi Psikologi UBM (Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan)

No comments:

Post a Comment

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...