Terkadang banyak hal tidak berjalan dengan mulus seperti yang kita
inginkan. Banyak kejadian dalam hidup yang membuat kita merasa sedih dan
terpuruk. Kadang kita berpikir apakah ini adalah nasib kita? Kita juga
sering mengaitkan hal tersebut dengan takdir atau suratan tangan.
Kita hidup dalam masyarakat yang cenderung percaya pada nasib. Apa pun
yang kita lakukan, atau apa pun yang terjadi di lingkungan dianggap
sebagai hal yang seharusnya terjadi. Kata-kata seperti " Ini memang
sudah nasib saya","Itu memang sudah nasibnya", atau "Apa yang bisa saya
lakukan untuk mengubah keadaan?" adalah kata-kata yang biasa kita
dengar.
Kata-kata pasrah, menunjukkan adanya penyerahan diri terhadap keadaan; menerima keadaan; nrimo.
Sudut pandang tersebut menunjukkan adanya pola deterministik, bahwa
hidup saya sudah ditentukan demikian. Apa yang terjadi di sekitar saya
sudah seharusnya terjadi. Nothing I can do about it... Jadi, saya
harus pasrah menerima keadaan ini. Keadaanlah yang membuat saya
begini.... Memang sudah seharusnya begini... Seakan-akan, Tuhan telah
menentukan bagaimana perjalanan hidup kita. Kita hanya mengikutinya
saja, seperti mengikuti sebuah skenario.
Kerap kali kita juga
menyalahkan keadaan sekitar atau lingkungan. Bahwa lingkungan yang
berperan dalam menentukan nasib kita. Julian B Rotter (1954), seorang
psikolog, mengemukakan mengenai teori locus of control (pusat kendali). Rotter membagi pusat kendali menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Individu yang memiliki internal locus of control
adalah individu yang cenderung memandang bahwa apa yang terjadi pada
dirinya adalah karena faktor pribadi atau dirinya sendiri. Segala
keberhasilan, kebahagiaan, ataupun kesedihan yang dialami adalah karena
apa yang telah dilakukannya. Sedangkan, individu external locus of control
adalah individu yang cenderung menganggap bahwa situasi atau lingkungan
berperan dalam keberhasilan atau kegagalan mereka; dengan kata lain,
sering menyalahkan keadaan atas apa yang telah terjadi. Sesekali hal
tersebut mungkin wajar, tetapi bila sering terjadi maka sangat
disayangkan. Manusia yang dilahirkan dengan akal budi dan diberi
kebebasan untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya, malah menyerahkan
dirinya terhadap keadaan. Suratan tangan atau takdir kerap dijadikan
alibi. Kerap kita juga menyatakan bahwa apa yang kita alami, atau
terjadi di sekitar kita adalah kehendak Tuhan (God's will).
Apabila yang terjadi di sekitar kita adalah hal yang baik dan
menyenangkan, tentu saja kehendak Tuhan dianggap menjadi nyata. Tetapi,
ketika terjadi peristiwa yang menyedihkan atau menyengsarakan, apakah
hal tersebut masih kita anggap kehendak Tuhan? Kita akan menjawab "Ya"
ketika memang tidak ada jawaban yang tepat untuk bisa menjelaskan hal
tersebut.
Penyangkalan Takdir
Pada dasarnya, tulisan ini dibuat bukan untuk menyangkal adanya takdir,
bukan juga untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap kepasrahan,
melainkan karena keprihatinan terhadap keadaan. Keadaan, di mana orang
cenderung mempersalahkan nasib atau orang lain. Keadaan, bahwa kita
merasa dipermainkan nasib, atau malah menyalahkan takdir.
Takdir adalah sesuatu yang tidak dapat kita ubah. Zia Jaycee May Trent, seorang penyair memberikan istilah cyclic destiny,
yaitu 3 fase, yang harus dilalui oleh semua manusia. Saya lahir, saya
hidup, kemudian mati adalah takdir manusia. Selanjutnya, bagaimana kita
menjalani takdir tersebut adalah free will. Tuhan memberi akal
budi agar kita berpikir. Dengan akal budi, kita bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang tidak tepat untuk diri kita. Kita dapat memilih
untuk berbuat baik ataupun jahat. Hidup yang kita jalani adalah pilihan
kita sendiri. Kitalah yang dapat mengubah nasib kita. Kita pula berperan
dalam menentukan nasib lingkungan atau orang di sekitar kita. Kita bisa
memilih untuk diam, memilih untuk membantu, memilih untuk menyalahkan
orang lain atau keadaan, atau berpikir mengapa kejadian tersebut dapat
terjadi, dan apa andil atau peran saya di dalamnya.
Dalam film Three Kingdoms
yang digarap Daniel Lee, dikisahkan seorang biasa yang bernama Zilong
yang kemudian menjadi jenderal yang ternama dan disegani oleh anak buah
dan lawannya. Zilong pantang menyerah dalam setiap peperangan untuk
mempersatukan 3 kerajaan. Dia mengerahkan segala upaya untuk dapat
menang. Dia percaya, bahwa nasibnya ada di tangannya sendiri. Apa daya,
pada akhirnya Zilong dijebak oleh orang yang dianggap sebagai kakaknya
sendiri, Pingan. Pingan iri karena kejayaan Zilong, dan merasa tersisih.
Ambisi Pingan untuk menjadi pahlawan pupus karena Zilong dianggap lebih
andal berperang. Seiring dengan waktu, Pingan terlupakan. Di satu sisi,
karena kesibukannya berperang, Zilong juga melupakan keberadaan
kakaknya. Akhir cerita, dalam keadaan sekarat Zilong mengetahui
pengkhianatan tersebut. Tetapi Zilong tidak pernah menyalahkan Pingan
atas pengkhianatan yang terjadi. Dia bahkan tetap menganggap Pingan
sebagai kakaknya yang baik. Orang boleh menganggap Zilong bodoh, atau
naif, atau pasrah karena sudah dekat dengan ajalnya. Tetapi, penulis
menginterpretasikan bahwa Zilong sudah menentukan nasibnya sendiri. Dia
berjuang keras untuk mendapatkan jabatan yang tinggi, dia juga yang pada
akhirnya melupakan kakaknya dan melupakan impian mereka untuk berperang
bersama. Zilong sibuk dengan berbagai peperangan yang ingin
dimenangkannya. Zilong telah memilih. Hasil dari pilihannya tersebut
adalah kejayaan, disegani bawahan dan lawan, namun juga rasa iri dari
Pingan. Pingan juga telah membuat pilihan... diam saja dan tidak
berusaha meningkatkan kariernya, dan mendapatkan jabatan dengan
mengkhianati Zilong. Tragis... menyedihkan... namun pilihan telah
dibuat.
Entah apakah hal ini dapat membuka mata Anda, namun
paling tidak berusahalah menjadi manusia yang berakal budi. Menentukan
pilihan kita dengan baik dan bijak dan berusaha mencapainya. Nasib kita
ada di tangan kita. Jangan sampai pilihan kita membuat diri sendiri dan
orang lain menjadi sengsara. Jangan pula ada kata putus asa. Hidup tanpa
perjuangan adalah seperti partitur kosong. Hidup tanpa risiko adalah
seperti memainkan biola tanpa senar. Dengan menentukan pilihan dalam
hidup kita; mengubah nasib kita (bahkan mungkin ikut andil dalam
perubahan nasib orang lain). Memang walaupun kita telah berusaha dengan
berbagai cara, tetap saja ada kendala atau halangan. Entah rahasia alam,
entah kehendak Tuhan, entah adanya persilangan antarberbagai nasib.
Tetapi jangan sampai kalah dengan keadaan. Teruslah berusaha dan
melakukan yang terbaik. Kita dapat menjadi pribadi yang semakin matang;
manusia seutuhnya. Ingat: There's always a choice to make.
(saat ini penulis adalah dosen tetap di Program Studi Psikologi Universitas Bunda Mulia; tulisan ini pernah dimuat sebelumnya dalam harian Suara Pembaruan)
No comments:
Post a Comment