Monday, June 17, 2013

STOP KEKERASAN

Didorong oleh rasa kemanusiaan dan empati terhadap RI, seorang bocah 5 SD berumum 11 Tahun, yang mengalami kekerasan dalam kemaluannya akibat benda tumpul hingga meninggal, maka Satuan Tugas Perlindungan Anak berkerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyelenggarakan Malam Solidaritas untuk Anak Korban Kejahatan Seksual di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu 9 Januari 2013, jam 19.00 – 22.00 di dalam HALL Gedung Proklamasi.
Acara ini dihadiri berbagai kalangan mulai masyarakat, dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementrian Sosial, perwakilan Komisi III dan VIII DPR RI , para praktisi hukum dan psikologi dari Peradi, Himpunan Advokat Muda Indonesia, LBH Jakarta, HIMPSI, Yayasan Pulih, berbagai LSM terkait issue hak asasi manusia seperti Komnas HAM, perlindungan wanita (Komnas Perempuan) dan anak (KPAI), serta para selebritas dan media dari MetroTV. Banyak organisasi terlibat tumpah ruah dalam acara ini, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bunda Mulia di antara 74 organisasi yang mendukung aktif gerakan ‘Hentikan Perkosaan: Stop Kejahatan Seksual terhadap Anak.’ ini.
Acara dibuka dengan sambutan dari Satgas PA serta disambung oleh Kak Seto yang mengharapkan adanya lembaga untuk perlindungan korban hingga sampai ke tingkat lurah dan pemulihan psikologis yang lebih baik bagi anak-anak korban kejahatan seksual ini. Dilanjutkan oleh testimoni dari 4 perwakilan lembaga yang biasanya memberikan pendampingan kepada anak korban kejahatan seksual.
Dari testimoni ini, bisa diketahui beberapa fakta yang memprihatinkan mengenai kasus kekerasan seksual kepada anak di Indonesia. Perwakilan pertama menyatakan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual kepada anak 80% berasal dari keluarga miskin. Perwakilan kedua, dari Yayasan Pulih mengatakan bahwa harus memiliki upaya khusus untuk menggali lebih banyak informasi dari korban anak yang tengah trauma. Sangat mengagetkan bahwa ada laporan yang pernah mereka terima dari anak berusia 1 tahun 10 bulan yang diperkosa oleh 2 orang lelaki secara anal dan vaginal. Amat disayangkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual kepada anak ini seringkali memiliki dukungan yang kurang kuat dari keluarga, kebanyakan memilih untuk berpindah tempat tinggal sehingga pemulihan psikologis yang dilakukan tidak pernah selesai. Selain itu, seringkali mereka sangat kesulitan menemukan ruang ramah anak di sekitar pengadilan ataupun kantor polisi yang bisa membuat si anak korban kasus kekerasan seksual nyaman untuk menceritakan kejadian yang menimpanya.
Perwakilan dari P2TP2A DKI Depok menyatakan keprihatinan mereka dalam aspek pendidikan untuk korban kekerasan seksual. Sedangkan menurut Nia Syariffudin sebagai perwakilan ketiga yang turut menyumbang testimoni, sangatlah sulit untuk menggali kasus kekerasan seksual karena adanya pertimbangan ‘nama baik keluarga’ apalagi jika pelaku kekerasan seksual adalah seorang tokoh yang berpengaruh di daerahnya. Beliau juga sangat berharap agar masyarakat bisa mulai berempati dengan tidak bercanda mengenai pemerkosaan karena hal itu bisa menyakiti perasaan korban dan keluarga korban yang mendengarnya.
Ibu Nurher sebagai perwakilan keempat yang bicara menjelaskan mengenai pola penanganan terhadap anak-anak korban kekerasan seksual ini. Menurut beliau, anak-anak umur  3-5 tahun cenderung lebih berani untuk menyampaikan akan tetapi keluarga seringkali menganggapnya sebagai bukan kekerasan seksual dan bahkan diminta untuk berhenti bicara. Beliau juga pernah menangani kasus untuk anak di atas umur 10 tahun yang menyampaikan kepada gurunya mengenai kekerasan seksual yang dialaminya. Amat disayangkan bahwa guru ini tidak melibatkan anak bersangkutan untuk mengambil keputusan bersama saat melaporkan kasus ini ke polisi. Si anak pun akhirnya merasa malu akibat niat baik si guru yang dinyatakan dalam cara yang kurang tepat. Untuk kasus anak – anak berumur 16 – 17 tahun, seringkali ditemukan kasus kekerasan seksual dilakukan oleh ayahnya sendiri. Ketika si ibu mengetahui hal ini, hal ini tentunya menjadi sebuah bencana bagi dirinya sendiri. Anaknya diperkosa, suaminya berselingkuh. Dalam beberapa kasus seperti ini, sebagian ibu malah menganggap anaknya sebagai saingannya sendiri.
Setelah testimoni disampaikan, acara dilanjutkan dengan doa bersama yang dibawakan dengan sangat puitis dan hikmat oleh Kyai Haji Hussein Muhammad dari Komnas Perempuan. Di sesi berdoa inilah lampu di ruangan dimatikan dan setiap hadirin menyalakan lilin yang telah diberikan sebelum memulai acara. Sembari berdoa bersama, setiap undangan yang datang menyatakan bentuk solidaritas dan keprihatinannya terhadap banyaknya kasus korban pemerkosaan yang tidak terungkap tuntas ini.
Acara pun dilanjutkan dengan orasi dari berbagai organisasi yang menyatakan sikap mereka terhadap kekerasan seksual kepada anak dan wanita. Bagaimana mereka berharap bahwa dari setiap keluarga, aparat hingga pemerintah bisa mulai menyatakan sikap lebih tegas dan menindak keras para pelaku kekekerasan seksual. Dari acara ini, kita semua bisa merenungkan kembali pernyataan Ketua SATGAS Perlindungan Anak, M. Ihsan menyatakan begitu banyak kasus korban perkosaan yang tidak terungkap tuntas, pelaku masih mendapatkan hukuman yang tidak setimpal dan kasusnya yang terlunta-lunta. Padahal korban selama hidupnya ‘mengalami guncangan kejiwaan dalam hidupnya dan sulit dipulihkan’. Beberapa dari mereka memilih kematian sebagai jalan terakhir, ada yang gila dan stress berat. Sangat diperlujan kesadaran kolektif, bahwa perilaku perkosaan adalah kejahatan dan diderita korban seumur hidupnya. Dan jangan lupa, kita semua, bukan sekedar akademisi, prakitisi ataupun ilmuwan psikologi, memiliki tugas memulihkan mereka. Karena itulah, untuk menghentikan semua kekerasan seksual kepada anak ini sangat membutuhkan dukungan semua pihak.


 By Benny Prawira (Penulis adalah mahasiswa Psikologi Universitas Bunda Mulia angkatan 2011)

1 comment:

  1. Sudah waktunya hukuman kebiri diberlakukan agar yg lain tdk berani melakukan hubungan badan dengan kekerasan dan pemaksaan .

    ReplyDelete

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...