Didorong oleh rasa kemanusiaan dan empati
terhadap RI, seorang bocah 5 SD berumum 11 Tahun, yang mengalami kekerasan
dalam kemaluannya akibat benda tumpul hingga meninggal, maka Satuan Tugas
Perlindungan Anak berkerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
menyelenggarakan Malam Solidaritas untuk Anak Korban Kejahatan Seksual di
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu 9 Januari 2013, jam 19.00 –
22.00 di dalam HALL Gedung Proklamasi.
Acara ini dihadiri berbagai kalangan mulai
masyarakat, dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Kementrian Sosial, perwakilan Komisi III dan VIII DPR RI , para praktisi hukum
dan psikologi dari Peradi, Himpunan Advokat Muda Indonesia, LBH Jakarta,
HIMPSI, Yayasan Pulih, berbagai LSM terkait issue hak asasi manusia seperti
Komnas HAM, perlindungan wanita (Komnas Perempuan) dan anak (KPAI), serta para
selebritas dan media dari MetroTV. Banyak organisasi terlibat tumpah ruah dalam
acara ini, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Jurusan Psikologi
Universitas Bunda Mulia di antara 74 organisasi yang mendukung aktif gerakan
‘Hentikan Perkosaan: Stop Kejahatan Seksual terhadap Anak.’ ini.
Acara dibuka dengan sambutan dari Satgas PA serta
disambung oleh Kak Seto yang mengharapkan adanya lembaga untuk perlindungan
korban hingga sampai ke tingkat lurah dan pemulihan psikologis yang lebih baik
bagi anak-anak korban kejahatan seksual ini. Dilanjutkan oleh testimoni dari 4
perwakilan lembaga yang biasanya memberikan pendampingan kepada anak korban
kejahatan seksual.
Dari testimoni ini, bisa diketahui beberapa fakta
yang memprihatinkan mengenai kasus kekerasan seksual kepada anak di Indonesia. Perwakilan
pertama menyatakan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual kepada anak 80%
berasal dari keluarga miskin. Perwakilan kedua, dari Yayasan Pulih mengatakan
bahwa harus memiliki upaya khusus untuk menggali lebih banyak informasi dari
korban anak yang tengah trauma. Sangat mengagetkan bahwa ada laporan yang
pernah mereka terima dari anak berusia 1 tahun 10 bulan yang diperkosa oleh 2
orang lelaki secara anal dan vaginal. Amat disayangkan bahwa kasus-kasus kekerasan
seksual kepada anak ini seringkali memiliki dukungan yang kurang kuat dari
keluarga, kebanyakan memilih untuk berpindah tempat tinggal sehingga pemulihan
psikologis yang dilakukan tidak pernah selesai. Selain itu, seringkali mereka
sangat kesulitan menemukan ruang ramah anak di sekitar pengadilan ataupun
kantor polisi yang bisa membuat si anak korban kasus kekerasan seksual nyaman
untuk menceritakan kejadian yang menimpanya.
Perwakilan dari P2TP2A DKI Depok menyatakan
keprihatinan mereka dalam aspek pendidikan untuk korban kekerasan seksual.
Sedangkan menurut Nia Syariffudin sebagai perwakilan ketiga yang turut
menyumbang testimoni, sangatlah sulit untuk menggali kasus kekerasan seksual
karena adanya pertimbangan ‘nama baik keluarga’ apalagi jika pelaku kekerasan
seksual adalah seorang tokoh yang berpengaruh di daerahnya. Beliau juga sangat
berharap agar masyarakat bisa mulai berempati dengan tidak bercanda mengenai
pemerkosaan karena hal itu bisa menyakiti perasaan korban dan keluarga korban
yang mendengarnya.
Ibu Nurher sebagai perwakilan keempat yang bicara
menjelaskan mengenai pola penanganan terhadap anak-anak korban kekerasan
seksual ini. Menurut beliau, anak-anak umur
3-5 tahun cenderung lebih berani untuk menyampaikan akan tetapi keluarga
seringkali menganggapnya sebagai bukan kekerasan seksual dan bahkan diminta
untuk berhenti bicara. Beliau juga pernah menangani kasus untuk anak di atas
umur 10 tahun yang menyampaikan kepada gurunya mengenai kekerasan seksual yang
dialaminya. Amat disayangkan bahwa guru ini tidak melibatkan anak bersangkutan
untuk mengambil keputusan bersama saat melaporkan kasus ini ke polisi. Si anak
pun akhirnya merasa malu akibat niat baik si guru yang dinyatakan dalam cara
yang kurang tepat. Untuk kasus anak – anak berumur 16 – 17 tahun, seringkali
ditemukan kasus kekerasan seksual dilakukan oleh ayahnya sendiri. Ketika si ibu
mengetahui hal ini, hal ini tentunya menjadi sebuah bencana bagi dirinya
sendiri. Anaknya diperkosa, suaminya berselingkuh. Dalam beberapa kasus seperti
ini, sebagian ibu malah menganggap anaknya sebagai saingannya sendiri.
Setelah testimoni disampaikan, acara dilanjutkan
dengan doa bersama yang dibawakan dengan sangat puitis dan hikmat oleh Kyai
Haji Hussein Muhammad dari Komnas Perempuan. Di sesi berdoa inilah lampu di
ruangan dimatikan dan setiap hadirin menyalakan lilin yang telah diberikan
sebelum memulai acara. Sembari berdoa bersama, setiap undangan yang datang
menyatakan bentuk solidaritas dan keprihatinannya terhadap banyaknya kasus
korban pemerkosaan yang tidak terungkap tuntas ini.
Acara pun dilanjutkan dengan orasi dari berbagai
organisasi yang menyatakan sikap mereka terhadap kekerasan seksual kepada anak
dan wanita. Bagaimana mereka berharap bahwa dari setiap keluarga, aparat hingga
pemerintah bisa mulai menyatakan sikap lebih tegas dan menindak keras para
pelaku kekekerasan seksual. Dari acara ini, kita semua bisa merenungkan kembali
pernyataan Ketua SATGAS Perlindungan Anak, M. Ihsan menyatakan begitu banyak
kasus korban perkosaan yang tidak terungkap tuntas, pelaku masih mendapatkan
hukuman yang tidak setimpal dan kasusnya yang terlunta-lunta. Padahal korban
selama hidupnya ‘mengalami guncangan kejiwaan dalam hidupnya dan sulit
dipulihkan’. Beberapa dari mereka memilih kematian sebagai jalan terakhir, ada
yang gila dan stress berat. Sangat diperlujan kesadaran kolektif, bahwa
perilaku perkosaan adalah kejahatan dan diderita korban seumur hidupnya. Dan
jangan lupa, kita semua, bukan sekedar akademisi, prakitisi ataupun ilmuwan
psikologi, memiliki tugas memulihkan mereka. Karena itulah, untuk menghentikan
semua kekerasan seksual kepada anak ini sangat membutuhkan dukungan semua pihak.
Sudah waktunya hukuman kebiri diberlakukan agar yg lain tdk berani melakukan hubungan badan dengan kekerasan dan pemaksaan .
ReplyDelete