Wednesday, February 7, 2024

Mengenal Gambaran Gangguan Skizofrenia

Sumber: https://depressionals.com/schizophrenia-disorder/

Perubahan yang disebabkan oleh globalisasi dan modernisasi telah mendatangkan perubahan signifikan terhadap pola hidup dan sistem nilai dalam masyarakat. Proses-proses ini telah memperkenalkan perubahan kompleks dalam struktur kehidupan sehari-hari, menimbulkan peningkatan kebutuhan hidup, dan menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif. Akibatnya, terjadi peningkatan stressor psikososial yang memerlukan adaptasi mental. Kondisi ini berpotensi mengarah pada pengembangan berbagai sindrom psikologis yang ditandai oleh distress dan menimbulkan disability yang tercermin dalam gangguan fungsi-fungsi penting, meningkatkan risiko penderitaan, kematian, dan penurunan otonomi. Salah satu gangguan mental yang sering ditemukan adalah skizofrenia.

Skizofrenia merupakan jenis psikosis yang menimbulkan gangguan dalam proses berpikir dan menyebabkan ketidakharmonisan antara kognitif, afek atau emosi, keinginan, dan gerakan (Hendarsyah, 2016). Kondisi ini sering disertai dengan distorsi kenyataan, terutama melalui delusi dan halusinasi. Penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam menghubungkan pikiran secara koheren, memperlihatkan emosi yang tidak sesuai, dan perilaku aneh, termasuk menarik diri dari interaksi sosial, ketidakpastian dalam bertindak, dan tindakan yang tidak biasa. Skizofrenia merupakan kondisi kejiwaan yang bersifat kronis dan kerap kali mengalami episode relaps dalam periode yang berkepanjangan (Hermiati & Harahap, 2018). Kesulitan dalam mengikuti program perawatan yang ditetapkan seringkali menjadi faktor utama yang memicu kekambuhan skizofrenia.

Gangguan skizofrenia adalah kondisi psikologis yang memiliki ciri khas berupa gejala positif seperti delusi dan halusinasi, gejala negatif yang meliputi apatis, perilaku menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan afeksi, serta gangguan kognitif yang melibatkan masalah pada ingatan, perhatian, kemampuan pemecahan masalah, dan interaksi sosial. Menurut WHO (dalam Zahnia & Sumekar, 2018), gangguan psikologis skizofrenia ditandai oleh berbagai gejala yang mencakup gangguan pikiran, delusi, halusinasi, afek abnormal, dan gangguan kepribadian motor. Salah satu gejala skizofrenia yang umum terjadi adalah gangguan pikiran yang ditemukan dalam bentuk abnormalitas dalam bahasa, digresi berkelanjutan saat berbicara, serta keterbatasan dalam isi bicara dan ekspresi. Selain itu, individu yang mengidap skizofrenia sering mengalami delusi, yaitu keyakinan yang salah berdasarkan pengetahuan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan realitas sosial dan budaya mereka. Halusinasi juga merupakan gejala yang sering ditemukan, di mana individu mengalami persepsi sensoris tanpa adanya stimulus eksternal.

Penyebab yang paling banyak dialami oleh penderita skizofrenia adalah karena masalah psikologis seperti kurangnya pemahaman pasien terhadap masalah yang sedang dialami, kurangnya kemampuan untuk memecahkan masalah dan sulit beradaptasi dalam hubungan interpersonal. Menurut Maramis (dalam Fatmawati, 2016) dalam proses perkembangan psikologis yang salah, dapat terjadi ketidakmatangan atau fiksasi bahwa individu gagal berkembang ke fase berikutnya dan memiliki kerentanan mental. Individu yang rentan tersebut apabila mengalami stres psikososial seperti ekonomi, gagal mencapai yang diinginkan, dan konflik yang berlarut-larut maka akan berkembang menjadi gangguan skizofrenia (Fatmawati, 2016).

Selain itu, menurut Luana (dalam Fatmawati, 2016), menjelaskan penyebab dari gangguan skizofrenia meliputi beberapa faktor-faktor, yaitu:

1.      Faktor Biologis

·      Komplikasi kelahiran

     Kelahiran pada bayi laki-laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami skizofrenia dan hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seorang individu terhadap skizofrenia.

·     Infeksi

   Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat yang diakibatkan oleh infeksi virus pernah dilaporkan pada orang dengan skizofrenia yang dimana disebutkan bahwa terpaparnya infeksi virus pada trisemester kedua kehamilan akan meningkatkan seseorang mengalami skizofrenia.

·      Hipotesis dopamine

  Dopamine adalah neurotransmitter pertama yang memiliki kontribusi terhadap gejala skizofrenia dan hampir semua obat antipsikotik baik yang tipikal maupun antipikal terdiri dari dopamine D2. Dengan adanya transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan.

·      Hipotesis serotonin

   Gaddum, Wooley, dan Show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid diethlamide atau LSD yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis reseptor 5-HT yang ternyata zat tersebut menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang yang normal.

·      Struktur otak

     Pada penderita skizofrenia, terlihat adanya perbedaan otak pada orang normal seperti ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu dan di beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktivitas metabolik. 

2.      Faktor Genetik

     Skizofrenia adalah gangguan yang dapat diturunkan oleh anggota keluarga maupun keluarga lainnya seperti paman, bibi, kakek atau nenek. Besar kemungkinan peluang yang terjadi adalah 1% populasi umum tetapi 10% pada individu yang memiliki hubungan pertama seperti orang tua, kakak laki-laki maupun perempuan dengan skizofrenia. Peluang lainnya sebesar 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia terhadap anak yang kembar identik.

Bagi para pasien yang didiagnosa menderita gangguan skizofrenia sebagian besar tidak memiliki pemikiran yang luas sehingga ketika dihadapkan dengan masalah, penderita skizofrenia cenderung hanya menjadikannya sebagai stres dan kemudian sifat pasien yang pendiam juga dapat menambah beban stres karena beban yang dimiliki hanya disimpan sendiri dan akan semakin menekan para penderitanya (Fatmawati, 2016).

Pengobatan bagi para penderita skizofrenia dapat dilakukan dengan beberapa cara penyembuhan, yaitu: 

1.      Cognitive behavioral therapy (CBT)

       Pada psikoterapi ini, keterampilan yang dikembangkan adalah fokus pada manajemen gejala bukan hanya penyembuhan dan mencoba untuk menargetkan pemikiran, emosi, dan perilaku. Perubahan perilaku bisa sangat berguna untuk mengubah sikap dan respon penderita dalam menghadapi gejala yang dialami.

2.      Assertive community treatment (ACT)

   ACT adalah model yang berbasis komunitas yang dapat memungkinkan penderita skizofrenia mendapatkan bantuan secara penuh yang diperlukan. Pada pusat ACT, penderita skizofrenia biasanya akan menemui psikiater, praktisi perawat, pekerja sosial, dan terapis hampir setiap minggu dengan tujuan untuk membantu pasien berintegrasi dalam masyarakat dengan bantuan ekstra dalam mencari pekerjaan, mengelola pengobatan agar lebih efisien, dan memiliki jaringan dukungan yang stabil di luar perawatan di rumah sakit.

3.      Illness management and recovery

    Terapi psikoedukasi bagi para penderita skizofrenia yang ingin mempelajari lebih lanjut terkait dengan sakitnya. Hal ini mampu mengubah perspektif penderita tentang sakitnya dan membantu untuk menerima dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupannya.

4.      Family psychoeducation

   Dukungan sosial merupakan hal yang penting dalam proses pemulihan penderita skizofrenia, termasuk peran keluarga dalam mendukung kesembuhan penderita. Pada terapi ini, anggota keluarga diminta untuk berkontribusi dalam mendukung dan memperbaiki kehidupan secara umum.

5.      Internal family systems therapy and mindfulness-based strategies

     Pada terapi ini, para penderita skizofrenia diminta untuk menjadi kontributor bagi kehidupan mereka sendiri dan terapi-terapi ini tidak secara spesifik dikategorikan ke dalam kategori skizofrenia, tetapi dapat membantu para penderita untuk mengelola gejala dan menyadari kondisinya.

Dengan demikian, skizofrenia dapat dilihat melalui timbulnya gejala seperti delusi, halusinasi, sikap apatis, menarik diri, penurunan kemampuan seperti daya pikir dan pemecahan masalah, serta masalah pada ingatan. Skizofrenia sendiri dapat diartikan sebagai gangguan dimana penderitanya sulit untuk menghubungkan pemikirannya secara koheren, memperlihatkan emosi yang tidak sesuai dan menarik diri dari lingkungannya. Gangguan skizofrenia sendiri adalah gangguan yang sifatnya kronis dan dapat mengalami relaps dalam periode yang panjang. Penyebab terjadinya skizofrenia lebih umum ditemukan karena faktor psikologis dan diikuti oleh faktor biologis serta genetik. Pengobatan yang serius dilakukan bagi para penderita skizofrenia juga menjadi salah satu pendukung kesembuhan para penderitanya dan membutuhkan dukungan sosial juga bagi para penderita skizofrenia untuk bangkit dari situasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati, I.N.A. (2016). Faktor-faktor penyebab skizofrenia (studi kasus di rumah sakit jiwa daerah Surakarta). Skripsi.

Hendarsyah, F. (2016). Diagnosis of the paranoid schizophrenia with positive and negative symptoms. Jurnal Medula Unila, 4(3), 57-62.

Hermiati, D., & Harahap, R. M. (2018). Faktor yang berhubungan dengan kasus skizofrenia. Jurnal Keperawatan Silampari, 1(2), 78-92. https://doi.org/10.31539/jks.v1i2.6

Myers, S.A. (2022). Treatments Beyond Medication For Schizophrenia. Retrieved February 01, 2024.

Zahnia, S., & Sumekar, D. W. (2016). Kajian epidemiologis skizofrenia. MAJORITY, 5(5), 160-166.


No comments:

Post a Comment

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...