Sumber: https://depressionals.com/schizophrenia-disorder/ Perubahan yang disebabkan oleh globalisasi dan
modernisasi telah mendatangkan perubahan signifikan terhadap pola hidup dan
sistem nilai dalam masyarakat. Proses-proses ini telah memperkenalkan perubahan
kompleks dalam struktur kehidupan sehari-hari, menimbulkan peningkatan
kebutuhan hidup, dan menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif. Akibatnya,
terjadi peningkatan stressor psikososial yang memerlukan adaptasi mental.
Kondisi ini berpotensi mengarah pada pengembangan berbagai sindrom psikologis
yang ditandai oleh distress dan menimbulkan disability yang
tercermin dalam gangguan fungsi-fungsi penting, meningkatkan risiko
penderitaan, kematian, dan penurunan otonomi. Salah satu gangguan mental yang
sering ditemukan adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan jenis psikosis yang
menimbulkan gangguan dalam proses berpikir dan menyebabkan ketidakharmonisan
antara kognitif, afek atau emosi, keinginan, dan gerakan (Hendarsyah, 2016).
Kondisi ini sering disertai dengan distorsi kenyataan, terutama melalui delusi dan
halusinasi. Penderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam menghubungkan
pikiran secara koheren, memperlihatkan emosi yang tidak sesuai, dan perilaku
aneh, termasuk menarik diri dari interaksi sosial, ketidakpastian dalam
bertindak, dan tindakan yang tidak biasa. Skizofrenia merupakan kondisi
kejiwaan yang bersifat kronis dan kerap kali mengalami episode relaps dalam
periode yang berkepanjangan (Hermiati & Harahap, 2018). Kesulitan dalam
mengikuti program perawatan yang ditetapkan seringkali menjadi faktor utama
yang memicu kekambuhan skizofrenia. Gangguan skizofrenia adalah kondisi psikologis
yang memiliki ciri khas berupa gejala positif seperti delusi dan halusinasi,
gejala negatif yang meliputi apatis, perilaku menarik diri, penurunan daya
pikir, dan penurunan afeksi, serta gangguan kognitif yang melibatkan masalah
pada ingatan, perhatian, kemampuan pemecahan masalah, dan interaksi sosial.
Menurut WHO (dalam Zahnia & Sumekar, 2018), gangguan psikologis skizofrenia
ditandai oleh berbagai gejala yang mencakup gangguan pikiran, delusi,
halusinasi, afek abnormal, dan gangguan kepribadian motor. Salah satu gejala
skizofrenia yang umum terjadi adalah gangguan pikiran yang ditemukan dalam
bentuk abnormalitas dalam bahasa, digresi berkelanjutan saat berbicara, serta
keterbatasan dalam isi bicara dan ekspresi. Selain itu, individu yang mengidap
skizofrenia sering mengalami delusi, yaitu keyakinan yang salah berdasarkan
pengetahuan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan realitas sosial dan budaya
mereka. Halusinasi juga merupakan gejala yang sering ditemukan, di mana
individu mengalami persepsi sensoris tanpa adanya stimulus eksternal. Penyebab yang paling banyak dialami oleh
penderita skizofrenia adalah karena masalah psikologis seperti kurangnya
pemahaman pasien terhadap masalah yang sedang dialami, kurangnya kemampuan
untuk memecahkan masalah dan sulit beradaptasi dalam hubungan interpersonal.
Menurut Maramis (dalam Fatmawati, 2016) dalam proses perkembangan psikologis
yang salah, dapat terjadi ketidakmatangan atau fiksasi bahwa individu gagal
berkembang ke fase berikutnya dan memiliki kerentanan mental. Individu yang
rentan tersebut apabila mengalami stres psikososial seperti ekonomi, gagal
mencapai yang diinginkan, dan konflik yang berlarut-larut maka akan berkembang
menjadi gangguan skizofrenia (Fatmawati, 2016). Selain itu, menurut Luana (dalam Fatmawati,
2016), menjelaskan penyebab dari gangguan skizofrenia meliputi beberapa
faktor-faktor, yaitu: 1. Faktor Biologis ·
Komplikasi kelahiran
Kelahiran pada bayi laki-laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami skizofrenia dan hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seorang individu terhadap skizofrenia. · Infeksi Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat yang
diakibatkan oleh infeksi virus pernah dilaporkan pada orang dengan skizofrenia
yang dimana disebutkan bahwa terpaparnya infeksi virus pada trisemester kedua
kehamilan akan meningkatkan seseorang mengalami skizofrenia. ·
Hipotesis dopamine Dopamine adalah neurotransmitter pertama yang memiliki
kontribusi terhadap gejala skizofrenia dan hampir semua obat antipsikotik baik
yang tipikal maupun antipikal terdiri dari dopamine D2. Dengan adanya transmisi
sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan. ·
Hipotesis serotonin Gaddum, Wooley, dan Show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic
acid diethlamide atau LSD yaitu suatu zat yang bersifat campuran
agonis/antagonis reseptor 5-HT yang ternyata zat tersebut menyebabkan keadaan
psikosis berat pada orang yang normal. ·
Struktur otak Pada penderita skizofrenia, terlihat adanya perbedaan otak
pada orang normal seperti ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu
dan di beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktivitas metabolik. 2.
Faktor Genetik Skizofrenia adalah
gangguan yang dapat diturunkan oleh anggota keluarga maupun keluarga lainnya
seperti paman, bibi, kakek atau nenek. Besar kemungkinan peluang yang terjadi
adalah 1% populasi umum tetapi 10% pada individu yang memiliki hubungan pertama
seperti orang tua, kakak laki-laki maupun perempuan dengan skizofrenia. Peluang
lainnya sebesar 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia terhadap anak
yang kembar identik. Bagi para pasien yang didiagnosa menderita
gangguan skizofrenia sebagian besar tidak memiliki pemikiran yang luas sehingga
ketika dihadapkan dengan masalah, penderita skizofrenia cenderung hanya
menjadikannya sebagai stres dan kemudian sifat pasien yang pendiam juga dapat
menambah beban stres karena beban yang dimiliki hanya disimpan sendiri dan akan
semakin menekan para penderitanya (Fatmawati, 2016). Pengobatan bagi para penderita skizofrenia dapat
dilakukan dengan beberapa cara penyembuhan, yaitu: 1.
Cognitive behavioral therapy (CBT) Pada
psikoterapi ini, keterampilan yang dikembangkan adalah fokus pada manajemen
gejala bukan hanya penyembuhan dan mencoba untuk menargetkan pemikiran, emosi,
dan perilaku. Perubahan perilaku bisa sangat berguna untuk mengubah sikap dan
respon penderita dalam menghadapi gejala yang dialami. 2.
Assertive community
treatment
(ACT) ACT adalah model yang berbasis komunitas yang dapat memungkinkan
penderita skizofrenia mendapatkan bantuan secara penuh yang diperlukan. Pada
pusat ACT, penderita skizofrenia biasanya akan menemui psikiater, praktisi
perawat, pekerja sosial, dan terapis hampir setiap minggu dengan tujuan untuk
membantu pasien berintegrasi dalam masyarakat dengan bantuan ekstra dalam
mencari pekerjaan, mengelola pengobatan agar lebih efisien, dan memiliki
jaringan dukungan yang stabil di luar perawatan di rumah sakit. 3.
Illness management and
recovery Terapi psikoedukasi bagi
para penderita skizofrenia yang ingin mempelajari lebih lanjut terkait dengan
sakitnya. Hal ini mampu mengubah perspektif penderita tentang sakitnya dan
membantu untuk menerima dan mengintegrasikannya ke dalam kehidupannya. 4.
Family psychoeducation Dukungan sosial
merupakan hal yang penting dalam proses pemulihan penderita skizofrenia,
termasuk peran keluarga dalam mendukung kesembuhan penderita. Pada terapi ini,
anggota keluarga diminta untuk berkontribusi dalam mendukung dan memperbaiki
kehidupan secara umum. 5.
Internal family systems
therapy and mindfulness-based strategies Pada
terapi ini, para penderita skizofrenia diminta untuk menjadi kontributor bagi
kehidupan mereka sendiri dan terapi-terapi ini tidak secara spesifik
dikategorikan ke dalam kategori skizofrenia, tetapi dapat membantu para
penderita untuk mengelola gejala dan menyadari kondisinya. Dengan demikian, skizofrenia dapat dilihat melalui timbulnya gejala seperti delusi, halusinasi, sikap apatis, menarik diri, penurunan kemampuan seperti daya pikir dan pemecahan masalah, serta masalah pada ingatan. Skizofrenia sendiri dapat diartikan sebagai gangguan dimana penderitanya sulit untuk menghubungkan pemikirannya secara koheren, memperlihatkan emosi yang tidak sesuai dan menarik diri dari lingkungannya. Gangguan skizofrenia sendiri adalah gangguan yang sifatnya kronis dan dapat mengalami relaps dalam periode yang panjang. Penyebab terjadinya skizofrenia lebih umum ditemukan karena faktor psikologis dan diikuti oleh faktor biologis serta genetik. Pengobatan yang serius dilakukan bagi para penderita skizofrenia juga menjadi salah satu pendukung kesembuhan para penderitanya dan membutuhkan dukungan sosial juga bagi para penderita skizofrenia untuk bangkit dari situasinya.
DAFTAR PUSTAKA Fatmawati, I.N.A.
(2016). Faktor-faktor penyebab skizofrenia (studi kasus di rumah sakit jiwa
daerah Surakarta). Skripsi. Hendarsyah, F. (2016).
Diagnosis of the paranoid schizophrenia with positive and negative symptoms. Jurnal
Medula Unila, 4(3), 57-62. Hermiati, D., &
Harahap, R. M. (2018). Faktor yang berhubungan dengan kasus skizofrenia. Jurnal
Keperawatan Silampari, 1(2), 78-92. https://doi.org/10.31539/jks.v1i2.6 Myers, S.A. (2022).
Treatments Beyond Medication For Schizophrenia. Retrieved February 01, 2024. Zahnia, S., & Sumekar,
D. W. (2016). Kajian epidemiologis skizofrenia. MAJORITY, 5(5), 160-166. |
Membawakan berita terbaru terkait kegiatan Program Studi Psikologi UBM dan artikel-artikel menarik meliputi seluruh kajian ilmu psikologi secara ilmiah dan faktual.
Wednesday, February 7, 2024
Mengenal Gambaran Gangguan Skizofrenia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?
Edisi Oktober 2024 Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental? Penulis: Gabriella Jocelyn & V...
-
American Psychological Association atau yang biasa sering kita dengar dengan sebutan APA tentunya tidak asing lagi terutama bagi mereka y...
-
Ketika mewawancarai calon karyawan untuk suatu posisi tertentu, teknis suatu pekerjaan kadang menjadi masalah. Kita ambil contoh ketika kit...
-
Saat ini, kita hidup dalam era global ekonomi persaingan dengan negara-negara lain sangat ketat. Setiap negara di dunia, sekarang ini mempu...
No comments:
Post a Comment