Friday, December 21, 2012

Happy Holiday: Merry Christmas and happy new year to all of you May god bless you always

Kepedulian untuk jiwa yang terluka by Benny Prawira



“Ih, ngapain coba bunuh diri?”
“Kayak orang gak punya otak yah, masa putus asa sih hadapin masalah!”
“Orang bunuh diri itu gak ingat sama Tuhan!”
“Bunuh diri itu bener-bener perbuatan bodoh.”

Ini semua hanyalah segelintir pernyataan negatif yang biasa kita dengar saat sebuah berita bunuh diri dipublikasikan. Masih banyak komentar negatif lainnya terhadap bunuh diri, tapi pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana caranya untuk mencegah peristiwa buruk ini menimpa lebih banyak orang lagi?
Bunuh diri merupakan salah satu fenomena yang sama tuanya dengan umur ras manusia di bumi (Perlin, 1975). Salah satu fakta pahit mengenai bunuh diri adalah tingkat percobaan bunuh diri justru malah banyak ditemukan pada umur remaja, masa dimana seorang individu seharusnya lebih banyak menjelajahi dunia dan mendalami dirinya lebih jauh lagi. Kebanyakan kasus diawali pada umur 12 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 16 tahun meskipun kasus bunuh diri ini bisa juga ditemui di masa perkembangan yang lebih lanjut (Nicolson & Ayers, 2004). Bahkan di Amerika Serikat, bunuh diri telah menjadi penyebab kematian terbanyak nomor dua bagi orang berusia 14 sampai 25 tahun (Dasey-Morales, 2011).
Pertanyaannya adalah mengapa remaja yang masih memiliki masa depan yang panjang malah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Alasan spesifik biasanya hanya bisa ditemukan di dalam alur kehidupan korban bunuh diri itu sendiri. Secara umum, bagi kebanyakan remaja, tahun-tahun perkembangan mereka bisa menjadi dipenuhi oleh guncangan dan stress. Remaja mengalami tekanan untuk bisa beradaptasi dan mencari jati diri di masyarakat. Masa remaja sendiri masih harus berjuang dengan masalah berkaitan dengan harga diri, kebimbangan dan perasaan terasing. Semua hal yang harus dialami remaja ini akhirnya bisa mengarah kepada depresi. Depresi inilah yang memang banyak dialami oleh korban bunuh diri sebelum melakukan aksinya (Efendi, 2009).
Di Indonesia sendiri, sepanjang Januari hingga November 2012 ini, saya menemukan setidaknya 22 berita dari berbagai website mengenai aksi bunuh diri yang dilakukan remaja dengan rentang usia 12 – 23 tahun. Perlu diingat juga bahwa 22 berita ini hanya sekedar angka yang diekspos oleh media di internet, belum termasuk peristiwa bunuh diri yang dilakukan bukan oleh remaja dan tidak diketahui karena berada di luar jangkauan. Jumlah yang lebih mengejutkan bisa dilihat berdasarkan data dari World Health Organization yang dihimpun tahun 2005-2007, tercatat 50.000 orang Indonesia telah melakukan aksi bunuh diri sepanjang tahun dengan berbagai macam alasan dan metode. Dari angka ini, bisa dibayangkan berapa banyak jumlah remaja yang termasuk di dalamnya.
Bunuh diri juga bukan hanya berdampak pada kehidupan korban yang berakhir di tangannya sendiri. Dalam beberapa kasus, orang yang ditinggalkan oleh korban bunuh diri bisa saja mengalami ‘survivor’s guilt’ yaitu sebuah rasa bersalah yang sangat besar karena menganggap dirinya gagal menjaga orang yang dicintainya, tidak menemani dan mencegahnya sebelum kejadian (Lickerman, 2010). Kegagalan dalam menerima kenyataan pahit seperti ini, bisa saja menyebabkan orang yang ditinggalkan berpikir hendak menyusul orang yang bunuh diri dengan melakukan hal yang sama.
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita bersama lakukan untuk mencegah angka bunuh diri ini meningkat di generasi muda. Meski kehidupan orang lain bukanlah tanggung jawabmu, tapi kepedulianmu bisa mengubah kehidupan seseorang. Orang yang berpikir hendak bunuh diri, bisa saja mengakhiri keinginannya sebelum dilakukan, selama ada orang lain yang memberikan perhatian lebih kepada hidupnya.
Nah, mungkin sekarang kamu jadi bertanya-tanya: gimana caranya bisa tahu orang itu mau bunuh diri kalau dia sendiri belum melakukannya?
Suicidal person’ atau orang yang berkeinginan melakukan bunuh diri biasanya menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang bisa kamu amati, di antaranya adalah:
1.      Menarik diri dari pergaulan dengan teman-teman dan kegiatan yang biasa dinikmati
2.      Kesulitan untuk konsentrasi, mudah bosan dan penurunan performa dalam melaksanakan tugas
3.      Mengekspresikan perasaan ingin mati, melarikan diri, dan ingin berpisah dari orang di sekitarnya
4.      Suasana hati yang berubah drastis, cenderung merasa tidak berdaya, tidak berguna, tidak berarti dan terjebak
5.      Merencanakan untuk menyakiti diri sendiri, menjadi lebih kasar, sembrono, mudah tersakiti dan lebih memberontak
6.      Tidak tertarik oleh hadiah ataupun pujian
7.      Perubahan pola makan dan tidur
8.      Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan
Menurut U.S. Department of Health and Human Services, ada beberapa faktor resiko yang bisa meningkatkan kemungkinan remaja melakukan bunuh diri, di antaranya adalah :
   1.      Masa depresi
   2.      Pelecehan dan penganiayaan di masa kanak-kanak
   3.      Peristiwa traumatis
   4.      Kurangnya orang yang mendukung dirinya
   5.      Lingkungan yang keras di sekolah (bullying, padatnya jadwal belajar, dll) ataupun di dalam keluarga (KDRT, broken home, dll)
   6.      Pemaparan yang jelas dan mendetail terhadap kasus bunuh diri remaja lainnya

Setelah kamu memperhatikan ciri-ciri tersebut ada di dalam perilaku orang yang bersangkutan dan mempertimbangkan faktor resiko bunuh diri pernah terjadi di dalam hidupnya, maka kamu bisa mencoba untuk mendekatinya perlahan-lahan. Dengan kehadiranmu yang mau mendengarkan si suicidal person ini, kamu akan memberikannya sebuah tempat untuk meluapkan semua perasaan negatifnya. Minimal, dia tahu bahwa dirinya tidak kesepian dan ada orang yang mau berusaha mengertinya. Hal ini bisa mengurangi kemungkinannya untuk melakukan bunuh diri. Namun, dikarenakan mereka sedang berada di dalam tahap kritis hidup mereka, kamu juga perlu memperhatikan apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan saat hendak membantu mereka agar tidak memperburuk keadaan mereka sendiri.
Saat memulai percakapan dengan ‘suicidal person’ ini, sangat disarankan untuk menggunakan empatimu dan menunjukkan perhatianmu apa adanya. Katakanlah bahwa selama ini kamu memperhatikannya dan melihatnya berubah. Tanyakanlah apakah ada sesuatu yang mengganggunya dan ada yang ia ingin ceritakan. Jika ia menolak untuk bicara, cukup katakanlah bahwa ia tidak sendirian dan kamu akan bersedia untuk mendengarkan di saat ia mau membicarakannya.
Begitu si ‘suicidal person’ ini mulai membicarakan masalahnya hingga ke titik keinginannnya untuk bunuh diri, sebisa mungkin, hindari memberikan nasihat ataupun berdebat mengenai keinginannya untuk bunuh diri (misalnya: “Hidupmu masih panjang lho”, “Lihat deh sisi positifnya) dan kurangi sikap yang menghakimi ataupun memojokkan pemikirannya tak peduli seberapa buruk pun pemikirannya untuk bunuh diri di matamu (seperti: “Bego banget sih mau bunuh diri”, “Lo mikirin keluarga lo gak sih gimana perasaan mereka kalo lo mati bunuh diri?”) karena semua hal itu tidak akan membantu sama sekali.
Pada tahun 1993, Shneidman, seorang suicidologist, menciptakan sebuah istilah bernama "psychache" yaitu luka psikologi dan emosional yang sangat mendalam hingga tidak bisa ditahan lagi dan tidak bisa mereda dengan cara apapun juga sebagai penyebab utama bunuh diri. Dengan demikian, seseorang pastinya telah memiliki psychache-nya tersendiri, sebuah luka yang cukup berat baginya, jika ia telah berpikir ingin bunuh diri. Meski bagimu masalah yang menyebabkan luka tersebut bisa kamu atasi dengan mudah, tapi cobalah untuk bersabar mendengarkan lebih lanjut mengenai apa yang berada di dalam hatinya. Dengarkan dan berikan ia kesempatan lebih banyak untuk mengungkapkan ekspresi emosi negatifnya. Tetaplah berpikir dengan tenang apapun yang hendak diucapkan olehnya nanti. Jangan sampai terlihat kaget sehingga si ‘suicidal person’ ini tidak menganggap kisahnya menjadi sebuah hal yang bisa mengejutkanmu ataupun membebanimu.
Tawarkanlah harapan kepada ‘suicidal person’ ini dengan menunjukkan bahwa dirinya penting bagimu dan kamu bersedia untuk mendengarkannya, tapi lebih baik untuk tidak memberikannya sebuah solusi atas masalah yang sedang dihadapi olehnya. Masalah sesungguhnya bukanlah hal yang dianggap masalah itu sendiri, masalah sesungguhnya yang memicu seseorang hendak bunuh diri adalah rasa sakit psychache yang disebabkan oleh masalah itu kepada dirinya. ‘Suicidal person’ tidak ingin mati, mereka hanya ingin mencari cara agar bisa lolos dari rasa sakit yang teramat sangat menjepit mereka. Jadi akan lebih baik lagi, jika kamu bisa mendorongnya secara halus untuk menemui seorang konselor, psikolog ataupun psikiater untuk bisa membantunya membimbingnya keluar dari masa-masa suramnya. Hati-hati di saat merekomendasikannya ke ahli kesehatan mental, karena bisa saja dia tersinggung mengingat stigma negatif orang gila yang masih menempel terhadap klient psikolog/pasien psikiater.
Jika kamu sudah melakukan ini semua, satu hal yang perlu kamu ingat adalah kewajibanmu sebagai sesama manusia adalah sebatas menunjukkan kepedulianmu untuk ‘suicidal person’ ini. Kamu harus mempersiapkan dirimu sebaik mungkin untuk mencegahnya bunuh diri, tapi kebahagiaan orang lain tetap berada di tangannya sendiri. YOU’VE DONE YOUR BEST, SO LET GOD TAKE CARE OF THE REST.
Penulis adalah mahasiswa semester 3 Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia (Tulisan ini pernah dimuat di : http://guetau.com/gaul/kepedulianmu-untuk-jiwa-yang-terluka.html)

Wednesday, December 12, 2012

Psikologi ulayat dalam kiprah keberpihakan pada perempuan di tataran akar rumput

Selasa, 11 Desember 2012 telah diluncurkan jurnal Psikologi Ulayat, dimana Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia turut bekerjasama sebagai kontributor tetap jurnal tersebut bersama 12 Fakultas/Prodi Psikologi Sumatera Utara dan Jakarta, dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).

Acara peluncuran perdana tersebut dibarengi dengan diskusi mengenai peran Psikologi Ulayat dan kaitannya dengan perempuan di tataran akan rumput (grass root). Sebagai nara sumber adalah Dra. Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, dan Rm. Dr. Yoseph Dedi. 

Sebenarnya apakah Psikologi ulayat? Kita sebenarnya sudah cukup sering mendengar istilah Indigenous Psychology;Psikologi asli, yaitu psikologi yang mempelajari pendekatan kultural (bukan hanya sekedar pendekatan behavioristik dan pendekatan yang lain yang kita kenal di Psikologi). Matsumoto (2004) menjelaskan pentingnya pendekatan kultural untuk membantu pengembangan masyarakat dan penciptaan lingkungan sosial yang lebih baik. Dengan pendekatan kultural kita dapat melakukan intervensi atau pendekatan yang tepat pada individu ataupun komunitas.  Psikologi ulayat sendiri adalah suatu cabang Psikologi yang mempelajari perilaku dan pikiran suatu kelompok budaya yang lahir dan berkembang dalam kelompok tersebut, merupakan hasil kesepakatan nenek moyang, sesepuh, yang diteruskan turun temurun; dari generasi ke generasi (Sarwono, 2012). Ulayat sendiri diadopsi dari ilmu hukum adat, yang menjelaskan hak ulayat atau hak adat. 


Dalam kaitannya dengan keberpihakan pada perempuan di tataran akar rumput, sebenarnya sebagai seorang akademisi khususnya di bidang psikologi kita diajak untuk berusaha memberdayakan, menjangkau para perempuan yang merupakan kaum marjinal; kelas bawah (akar rumput), agar mereka tidak menjadi korban kekerasa, diskriminasi,pelecehan dan mau berusaha melindungi diri/tubuh mereka sendiri; dengan pendekatan budaya tersebut. Pendekatan budaya sangat diperlukan karena budaya patrilineal begitu kental di Indonesia, bahkan di kebanyakan budaya di dunia, sehingga perempuan kerap menjadi korban entah dalam keluarga, pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan.

Semoga sedikit informasi ini bisa menambah wawasan keilmuaan psikologi.

PHOBIA


PHOBIA
 oleh: Steven Wijaya
            Kata phobia bukanlah lagi sebuah istilah yang asing dikalangan masyarakat perkotaan seperti Jakarta, bahkan kata phobia sudah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari. Namun seringkali seseorang dengan mudah menyebut orang lain ataupun dirinya sendiri phobia, jika orang tersebut memiliki rasa takut terhadap sesuatu sehingga kata-kata phobia menjadi populer di pergaulan kita sehari-hari. Namun apakah pengertian akan rasa takut yang dipikirkan oleh masyarakat pada umumnya itu merupakan makna sebenarnya dari phobia itu sendiri? Lalu, apakah jika seseorang takut ketika melihat ular lalu kita dapat menyebut orang itu phobia ular? Dan apakah jika seseorang yang jijik ketika melihat seekor kecoa lalu kita dapat menyebut orang itu mengalami phobia kecoa? Tapi penulis yakin semua orang takut pasti akan merasa takut jika bertemu dengan ular liar yang berbisa, ya kecuali pawang ular.
Sebelum membahas lebih dalam mengenai phobia akan dijelaskan terlebih dahulu definisi dari rasa takut. Rasa takut sediri adalah suatu bentuk respon yang secara biologis merupakan mekanisme perlindungan bagi seseorang pada saat menghadapi bahaya. Ketakutan adalah emosi yang umumnya muncul pada saat seseorang menghadapi suatu hal yang berpotensi dapat membuat seseorang merasa dalam bahaya. Namun dilain pihak, ketakutan itu sendiri merupakan sebuah tanda peringatan bagi seseorang untuk menyadari bahwa ada suatu hal yang dapat mengancam hidupnya sehingga seseorang akan cenderung untuk berhenti melihat, menyentuh, mendengar, mencium atau apapun itu terkait dengan penginderaan sehingga sumber rasa takut tersebut tidak lagi dirasakan.
Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi yang menakutkan. Sebagai contoh ada orang yang tidak takut pada anjing bahkan ketika anjing tersebut menggonggong. Tapi ada orang lain yang takut terhadap gonggongan anjing atau bahkan hanya dengan melihat seekor anjing orang tersebut dapat merasa takut. Ada orang lain yang benar-benar takut mendengar halilintar, sedang ada orang lain yang tidak. Namun adalah hal normal pada saat menghadapi bahaya tertentu seseorang merasakan takut dan tingkat ketakutan seseorang umumnya berbanding lurus dengan besar-kecilnya bahaya yang dihadapi.
Rasa takut yang sedemikian hebat namun tidak sebanding dengan penyebabnya inilah yang kita sebut dengan phobia (www.duniapsikologi.com, 2012). Sebagai contoh, hanya dengan melihat seekor kecoa seseorang lalu seseorang dapat menjerit dengan histerisnya dan berpikir bahwa kecoa tersebut akan memakannya atau berpikir mengenai apapun itu yang tentunya diluar akal sehat kita. Dalam dunia psikologi rasa takut seperti ini disebut sebagai kecemasan neurotik.
Menurut Freud, kecemasan neurotik adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak diketahui (Feist 1, 2011:38). Rollo May mendefinisikan kecemasan neurotik sebagai “reaksi yang tidak tepat atas suatu ancaman, meliputi represi dan bentuk-bentuk lain dari konflik intrapsikis, yang dikelola oleh bermacam bentuj pemblokiran aktivitas dan kesadaran (Feist 2, 2011:53).
Secara harafiah, kata phobia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni phobos yang berarti lari, takut dan panik, takut hebat. Istilah ini memang sudah dipakai sejak zaman Hippocrates. Phobia juga didefinisikan sebagai kecemasan neurotik yang tidak rasional terhadap sesuatu atau situasi yang sebenarnya tidak menakutkan namun menyebabkan seseorang untuk menghindarinya karena dianggap sesuatu atau situasi tersebut dapat mengancam hidupnya. Phobia juga menyebabkan tekanan secara fisik dan psikologis dan dapat berdampak pada kemampuan seseorang untuk dapat beraktifitas secara normal.
Ada berbagai macam-macam phobia, mulai dari phobia terhadap kecoa; ular; laba-laba; tempat gelap; tempat sempit; maupun tempat ramai, namun demikian berdasarkan buku DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV) phobia dikelompokan kedalam 3 kategori, yakni:
·         Phobia sederhana atau spesifik: phobia terhadap suatu obyek atau keadaan tertentu seperti pada  binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.
·         Phobia sosial: phobia terhadap pemaparan situasi sosial  seperti takut jadi pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
·         Phobia kompleks: phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka misalnya di kendaraan umum atau mall, dan orang seperti ini bisa saja takut keluar rumah.
            Berikut adalah beberapa gejala yang terjadi pada seorang penderita phobia:
·         Rasa gelisah yang tidak terkontrol ketika mengalami rasa takut.
·         Melakukan segala cara untuk menghindari apa yang ditakuti.
·         Tidak mampu beraktifitas normal.
·         Seringkali rasa takut tidak masuk akal dan berlebihan.
·         Berkeringat
·         Detak jantung cepat
·         Sulit bernapas.
·         Dada terasa sakit
·         Wajah memerah
·         Merasa sakit
·         Gemetar
·         Pusing
·         Mulut terasa kerin
·         Merasa perlu pergi ke toilet
·         Merasa lemas dan akhirnya pingsan
Penyebab phobia itu sendiri pada umumnya dikarenakan pengalaman traumatis terhadap sumber phobia yang ditekan ke dalam alam bawah sadar, seperti orang yang phobia terhadap anjing kemungkinan waktu dulu pernah dikejar-kejar anjing atau pernah mendapat pengalaman digigit oleh anjing. Untuk phobia sosial biasanya terjadi pada usia remaja. Tetapi phobia terhadap terowongan, elevator, tempat tinggi, terbang, menyetir dan phobia situasional lainnya biasanya terjadi pada usia 20 ke atas.
Meskipun phobia dapat terjadi baik pada laki-laki atau wanita, tapi biasanya wanita memiliki kecenderungan yang lebih untuk mengalami phobia sosial. Wanita juga lebih rentan terhadap agoraphobia, tetapi hal ini mungkin karena laki-laki lebih cenderung menyembunyikannya. Laki-laki juga lebih sering mencari pertolongan untuk masalah emosionalnya daripada wanita.
Beberapa teknik penyembuhan bagi penderita phobia diantaranya sebagai berikut:
·         Hypnotheraphy: Penderita phobia diberi sugesti-sugesti untuk menghilangkan phobia.
·         Flooding: Si penderita phobia yang takut kepada anjing (cynophobia), dimasukkan ke dalam ruangan dengan beberapa ekor anjing jinak, sampai ia tidak ketakutan lagi.
·         Desensitisasi Sistematis: Si penderita phobia yang takut pada anjing dibiasakan terlebih dahulu untuk melihat gambar atau film tentang anjing, bila sudah dapat tenang baru kemudian dilanjutkan dengan melihat objek yang sesungguhnya dari jauh dan semakin dekat perlahan-lahan. Bila tidak ada halangan maka dapat dilanjutkan dengan memegang anjing hingga phobia-nya hilang mereka akan dapat bermain-main dengan anjing.
·         Abreaksi: Penderita phobia dibuat untuk terus-menerus melakukan interaksi dengan anjing sungguhan, hingga akhirnya si penderita merasa perlahan-lahan pemahamannya mengenai anjing mulai berubah. Intinya dalam teknik ini adalah membuat si penderita merasa jenuh melihat sumber ketakutannya.
·         Reframing: Penderita phobia disuruh membayangkan kembali masa lampaunya saat permulaan si penderita mengalami phobia, ditempat itu dibentuk suatu manusia baru yang tidak takut lagi pada phobia-nya.
·         Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy-CBT). Dalam CBT digunakan tiga teknik ini untuk mencapai tujuan:
Ø  Didactic component: Pada tahap ini terapis berperan dalam membantu  penderita/klien untuk menyusun pemikiran-pemikiran dan harapan positif untuk tujuan akhir terapi.
Ø  Cognitive component: Membantu mengidentifikasi pikiran dan asumsi yang mempengaruhi perilaku penderita phobia, khususnya yang dapat mempengaruhi mereka hingga menjadi phobia.
Ø  Behavioral component: Memodifikasi perilaku penderita phobia agar dapat menunjukkan perilaku yang lebih sesuai ketika harus menghadapi sumber phobia.
Berikut adalah daftar 10 jenis phobia yang paling banyak ditemui:
1.      Takut ular
Ini merupakan jenis phobia yang paling sering dijumpai. Ketakutan secara berlebihan pada ular. Ular sejak dulu dianggap hewan berbisa, menjijikkan, dari masa ke masa. Bahkan juga diidentikkan dengan setan oleh keyakinan tertentu. Ternyata phobia akan ular ini bersifat evolusioner, diturunkan oleh nenek moyang manusia sejak zaman dulu sampai sekarang.
2.      Takut laba-laba
Ditemukan bahwa kaum perempuan empat kali lipat lebih banyak jumlahnya yang takut atau jijik pada laba-laba daripada kaum lelaki. Pada studi yang dipublikasikan di jurnal Evolution and Human Behavior, David Rakison dari Carnegie Mellon University di Pittsburgh mengatakan bahwa bayi perempuan usia 11 bulan mampu mengekspresikan ketakutan begitu melihat gambar laba-laba dan ular, sedangkan bayi lelaki tidak.
Teori evolusi mengatakan bahwa hal itu wajar, sebab kaum perempuan sering bersua laba-laba di rumah, atau saat mereka menyiapkan makanan di dapur. Sedangkan kaum lelaki cenderung diajarkan untuk berani pada hewan tersebut ketika berada di alam liar.
3.      Takut ruangan tertutup
Dikenal juga dengan nama agoraphobia, ketakutan ini diderita oleh 1,8 juta orang Amerika berusia dewasa, demikian menurut laporan National Institute of Mental Health pada tahun 2008. Tempat tertutup yang dianggap sulit untuk mereka melarikan diri atau keluar merupakan obyek yang paling ditakuti. Biasanya mereka takut pada elevator/lift, ruang olah raga tertutup, jembatan, kendaraan transportasi umum, mobil, mall, bahkan juga pesawat. Penderita biasanya malas bepergian atau berada di dalam mobil terlalu lama.
4.      Takut pada orang lain
Pernah bertemu orang yang mukanya memerah saat bicara di depan orang banyak? Berkeringat, susah bicara atau gagap atau bahkan sampai sakit perut? Itulah ciri-ciri orang yang takut pada orang lain atau dikenal dengan nama sosialphobia.
Sebanyak 15 juta orang Amerika dewasa menderitanya, demikian menurut National Institute of Mental Health. Yang parah, kadang bukan saat melakukan pembicaraan di depan umum saja. Penderita sosialphobia juga kerap kesulitan makan atau minum di depan orang banyak. Gejalanya baru terlihat setelah memasuki usia puber.
5.      Takut ketinggian
Ini adalah jenis phobia yang juga lumayan banyak penderitanya. Diperkirakan sebagnyak 3-5% dari seluruh populasi dunia menderita akrophobia, takut berada di tempat tinggi. Pada riset yang pernah dilakukan, penderita akrophobia merasa semua tempat tinggi berjarak lebih tinggi dari yang sesungguhnya.
Misalnya tinggi sebenarnya hanya 3 meter, maka di mata penderita akrophobia, mereka seperti melihat obyek yang tingginya 6 meter.
6.      Takut kegelapan
Takut pada kegelapan yang diderita anak-anak ternyata adalah phobia paling umum juga. “Anak-anak mempercayai imajinasinya bahwa di kegelapan bisa mendadak muncul hanti, penculik, atau perampok,” jelas Thomas Ollendick, profesor psikologi dan direktur Child Study Center di Virginia Tech. Secara normal, ketakutan ini akan hilang seiring dengan bertambahnya usia. Namun jika hingga usia dewasa kita masih menderita ketakutan pada gelap, maka artinya kita menderita nyctophobia.
7.      Takut kilat dan halilintar
Bagi para penderita phobia ini, suara halilintar dan kilat akan terasa seperti menghentak jantung, bahkan membuat mereka berkeringat. Penderita yang parah bahkan sampai memutuskan pindah ke daerah yang aman dari petir dan kilat, demikian kata John Westefeld, ilmuwan dari University of Iowa. Westefeld melaporkan, dari surveinya terhadap mahasiswa di tahun 2006, sebanyak 73% menderita ketakutan ringan pada cuaca. Namun kebanyakan mereka malu untuk mengakuinya. Bagi mereka yang phobia pada kilat dan halilintar, ada baiknya mulai melatih rasa panik dan kecemasan.
8.      Takut terbang
Jangan dikira mereka ini orang udik yang belum pernah naik pesawat, sebab faktanya sebanyak 25 juta warga Amerika juga menderita phobia ini. Nama penyakitnya adalah aviophobia, dimana seseorang sangat takut naik pesawat. Bisa jadi memang sudah sejak lahir begitu, atau ada yang pernah mengalami kecelakaan pesawat sehingga merasa trauma naik pesawat lagi, sebab peristiwa mengerikan itu terus terbayang.
9.      Takut Anjing
Tidak usah harus anjing besar jenis doberman, anjing yang imut macam pudel pun ditakuti. Penderita cynophobia ini mengalami rasa takut digigit anjing, bisa jadi memang pernah digigit atau melihat orang lain digigit anjing, demikian menurut profesor psikologi Brad Schmidt dari Ohio State University.
10.  Takut Dokter Gigi
Sebanyak 9-20 oersen orang Amerika ternyata menghindari memeriksakan giginya ke dokter walau sudah dalam kondisi parah sekalipun. Rasa takut ini lebih disebabkan oleh rasa nyeri yang timbul ketika plak gigi dibersihkan, dan memang tidak semua orang bisa menahannya.




References
Feist, Jess dan Gregory J. feist. 2010. Theories of Personality Book 2 (7th edition). Jakarta:Salemba Humanika.
Feist, Jess dan Gregory J. feist. 2011. Theories of Personality Book 1 (7th edition). Jakarta:Salemba Humanika.

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...