Membawakan berita terbaru terkait kegiatan Program Studi Psikologi UBM dan artikel-artikel menarik meliputi seluruh kajian ilmu psikologi secara ilmiah dan faktual.
Friday, December 21, 2012
Kepedulian untuk jiwa yang terluka by Benny Prawira
“Ih,
ngapain coba bunuh diri?”
“Kayak
orang gak punya otak yah, masa putus asa sih hadapin masalah!”
“Orang
bunuh diri itu gak ingat sama Tuhan!”
“Bunuh
diri itu bener-bener perbuatan bodoh.”
Ini semua hanyalah
segelintir pernyataan negatif yang biasa kita dengar saat sebuah berita bunuh
diri dipublikasikan. Masih banyak komentar negatif lainnya terhadap bunuh diri,
tapi pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana caranya untuk mencegah peristiwa
buruk ini menimpa lebih banyak orang lagi?
Bunuh diri merupakan
salah satu fenomena yang sama tuanya dengan umur ras manusia di bumi (Perlin,
1975). Salah satu fakta pahit mengenai bunuh diri adalah tingkat
percobaan bunuh diri justru malah banyak ditemukan pada umur remaja, masa
dimana seorang individu seharusnya lebih banyak menjelajahi dunia dan mendalami
dirinya lebih jauh lagi. Kebanyakan kasus diawali pada umur 12 tahun dan
mencapai puncaknya pada usia 16 tahun meskipun kasus bunuh diri ini bisa juga
ditemui di masa perkembangan yang lebih lanjut (Nicolson & Ayers, 2004). Bahkan
di Amerika Serikat, bunuh diri
telah menjadi penyebab
kematian terbanyak nomor dua bagi orang berusia 14 sampai 25 tahun
(Dasey-Morales, 2011).
Pertanyaannya adalah mengapa remaja yang masih memiliki masa depan yang
panjang malah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Alasan spesifik biasanya hanya
bisa ditemukan di dalam alur kehidupan korban bunuh diri itu sendiri. Secara
umum, bagi kebanyakan remaja, tahun-tahun perkembangan mereka bisa menjadi
dipenuhi oleh guncangan dan stress. Remaja mengalami tekanan untuk bisa
beradaptasi dan mencari jati diri di masyarakat. Masa remaja sendiri masih
harus berjuang dengan masalah berkaitan dengan harga diri, kebimbangan dan
perasaan terasing. Semua hal yang harus dialami remaja ini akhirnya bisa
mengarah kepada depresi. Depresi inilah yang memang banyak dialami oleh korban
bunuh diri sebelum melakukan aksinya (Efendi, 2009).
Di Indonesia sendiri,
sepanjang Januari hingga November 2012 ini, saya menemukan setidaknya 22 berita
dari berbagai website mengenai aksi bunuh diri yang dilakukan remaja dengan
rentang usia 12 – 23 tahun. Perlu diingat juga bahwa 22 berita ini hanya
sekedar angka yang diekspos oleh media di internet, belum termasuk peristiwa
bunuh diri yang dilakukan bukan oleh remaja dan tidak diketahui karena berada
di luar jangkauan. Jumlah yang lebih mengejutkan bisa dilihat berdasarkan data
dari World Health Organization yang dihimpun tahun 2005-2007, tercatat
50.000 orang Indonesia telah melakukan aksi bunuh diri sepanjang tahun dengan
berbagai macam alasan dan metode. Dari angka ini, bisa dibayangkan berapa
banyak jumlah remaja yang termasuk di dalamnya.
Bunuh diri juga bukan
hanya berdampak pada kehidupan korban yang berakhir di tangannya sendiri. Dalam
beberapa kasus, orang yang ditinggalkan oleh korban bunuh diri bisa saja
mengalami ‘survivor’s guilt’ yaitu
sebuah rasa bersalah yang sangat besar karena menganggap dirinya gagal menjaga
orang yang dicintainya, tidak menemani dan mencegahnya sebelum kejadian
(Lickerman, 2010). Kegagalan dalam menerima kenyataan pahit seperti ini, bisa
saja menyebabkan orang yang ditinggalkan berpikir hendak menyusul orang yang
bunuh diri dengan melakukan hal yang sama.
Sebenarnya ada banyak
hal yang bisa kita bersama lakukan untuk mencegah angka bunuh diri ini
meningkat di generasi muda. Meski kehidupan orang lain bukanlah tanggung jawabmu,
tapi kepedulianmu bisa mengubah kehidupan seseorang. Orang yang berpikir hendak
bunuh diri, bisa saja mengakhiri keinginannya sebelum dilakukan, selama ada
orang lain yang memberikan perhatian lebih kepada hidupnya.
Nah, mungkin sekarang
kamu jadi bertanya-tanya: gimana caranya bisa tahu orang itu mau bunuh diri
kalau dia sendiri belum melakukannya?
‘Suicidal person’ atau orang yang berkeinginan melakukan bunuh diri
biasanya menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang bisa kamu amati, di
antaranya adalah:
1.
Menarik diri dari
pergaulan dengan teman-teman dan kegiatan yang biasa dinikmati
2.
Kesulitan untuk
konsentrasi, mudah bosan dan penurunan performa dalam melaksanakan tugas
3.
Mengekspresikan
perasaan ingin mati, melarikan diri, dan ingin berpisah dari orang di
sekitarnya
4.
Suasana hati yang
berubah drastis, cenderung merasa tidak berdaya, tidak berguna, tidak berarti
dan terjebak
5.
Merencanakan untuk
menyakiti diri sendiri, menjadi lebih kasar, sembrono, mudah tersakiti dan lebih
memberontak
6.
Tidak tertarik oleh
hadiah ataupun pujian
7.
Perubahan pola makan
dan tidur
8.
Penyalahgunaan alkohol
dan obat-obatan
Menurut U.S. Department
of Health and Human Services, ada beberapa faktor resiko yang bisa meningkatkan
kemungkinan remaja melakukan bunuh diri, di antaranya adalah :
2.
Pelecehan dan penganiayaan
di masa kanak-kanak
3.
Peristiwa traumatis
4.
Kurangnya orang yang
mendukung dirinya
5.
Lingkungan yang keras
di sekolah (bullying, padatnya jadwal
belajar, dll) ataupun di dalam keluarga (KDRT, broken home, dll)
6.
Pemaparan yang jelas
dan mendetail terhadap kasus bunuh diri remaja lainnya
Setelah kamu memperhatikan ciri-ciri tersebut ada di dalam perilaku orang yang bersangkutan dan mempertimbangkan faktor resiko bunuh diri pernah terjadi di dalam hidupnya, maka kamu bisa mencoba untuk mendekatinya perlahan-lahan. Dengan kehadiranmu yang mau mendengarkan si suicidal person ini, kamu akan memberikannya sebuah tempat untuk meluapkan semua perasaan negatifnya. Minimal, dia tahu bahwa dirinya tidak kesepian dan ada orang yang mau berusaha mengertinya. Hal ini bisa mengurangi kemungkinannya untuk melakukan bunuh diri. Namun, dikarenakan mereka sedang berada di dalam tahap kritis hidup mereka, kamu juga perlu memperhatikan apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan saat hendak membantu mereka agar tidak memperburuk keadaan mereka sendiri.
Saat
memulai percakapan dengan ‘suicidal
person’ ini, sangat disarankan untuk menggunakan empatimu dan menunjukkan
perhatianmu apa adanya. Katakanlah bahwa selama ini kamu memperhatikannya dan
melihatnya berubah. Tanyakanlah apakah ada sesuatu yang mengganggunya dan ada
yang ia ingin ceritakan. Jika ia menolak untuk bicara, cukup katakanlah bahwa
ia tidak sendirian dan kamu akan bersedia untuk mendengarkan di saat ia mau
membicarakannya.
Begitu
si ‘suicidal person’ ini mulai
membicarakan masalahnya hingga ke titik keinginannnya untuk bunuh diri, sebisa
mungkin, hindari memberikan nasihat ataupun berdebat mengenai keinginannya
untuk bunuh diri (misalnya: “Hidupmu masih panjang lho”, “Lihat deh sisi
positifnya) dan kurangi sikap yang menghakimi ataupun memojokkan pemikirannya
tak peduli seberapa buruk pun pemikirannya untuk bunuh diri di matamu (seperti:
“Bego banget sih mau bunuh diri”, “Lo mikirin keluarga lo gak sih gimana
perasaan mereka kalo lo mati bunuh diri?”) karena semua hal itu tidak akan
membantu sama sekali.
Pada
tahun 1993, Shneidman, seorang suicidologist,
menciptakan sebuah istilah bernama "psychache"
yaitu luka psikologi dan emosional yang sangat mendalam hingga tidak bisa ditahan
lagi dan tidak bisa mereda dengan cara apapun juga sebagai penyebab utama bunuh
diri. Dengan demikian, seseorang pastinya telah memiliki psychache-nya tersendiri, sebuah luka yang cukup berat baginya,
jika ia telah berpikir ingin bunuh diri. Meski bagimu masalah yang menyebabkan
luka tersebut bisa kamu atasi dengan mudah, tapi cobalah untuk bersabar
mendengarkan lebih lanjut mengenai apa yang berada di dalam hatinya. Dengarkan
dan berikan ia kesempatan lebih banyak untuk mengungkapkan ekspresi emosi
negatifnya. Tetaplah berpikir dengan tenang apapun yang hendak diucapkan
olehnya nanti. Jangan sampai terlihat kaget sehingga si ‘suicidal person’ ini tidak menganggap kisahnya menjadi sebuah hal
yang bisa mengejutkanmu ataupun membebanimu.
Tawarkanlah
harapan kepada ‘suicidal person’ ini dengan
menunjukkan bahwa dirinya penting bagimu dan kamu bersedia untuk
mendengarkannya, tapi lebih baik untuk tidak memberikannya sebuah solusi atas
masalah yang sedang dihadapi olehnya. Masalah sesungguhnya bukanlah hal yang
dianggap masalah itu sendiri, masalah sesungguhnya yang memicu seseorang hendak
bunuh diri adalah rasa sakit psychache yang
disebabkan oleh masalah itu kepada dirinya. ‘Suicidal person’ tidak ingin mati, mereka hanya ingin mencari cara
agar bisa lolos dari rasa sakit yang teramat sangat menjepit mereka. Jadi akan
lebih baik lagi, jika kamu bisa mendorongnya secara halus untuk menemui seorang
konselor, psikolog ataupun psikiater untuk bisa membantunya membimbingnya
keluar dari masa-masa suramnya. Hati-hati di saat merekomendasikannya ke ahli
kesehatan mental, karena bisa saja dia tersinggung mengingat stigma negatif
orang gila yang masih menempel terhadap klient psikolog/pasien psikiater.
Jika kamu sudah
melakukan ini semua, satu hal yang perlu kamu ingat adalah kewajibanmu sebagai
sesama manusia adalah sebatas menunjukkan kepedulianmu untuk ‘suicidal person’ ini. Kamu harus mempersiapkan
dirimu sebaik mungkin untuk mencegahnya bunuh diri, tapi kebahagiaan orang lain
tetap berada di tangannya sendiri. YOU’VE
DONE YOUR BEST,
SO LET GOD TAKE CARE OF THE REST.
Penulis adalah mahasiswa semester 3 Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia (Tulisan ini pernah dimuat di : http://guetau.com/gaul/kepedulianmu-untuk-jiwa-yang-terluka.html)
Wednesday, December 12, 2012
Psikologi ulayat dalam kiprah keberpihakan pada perempuan di tataran akar rumput
Selasa, 11 Desember 2012 telah diluncurkan jurnal Psikologi Ulayat, dimana Prodi Psikologi Universitas Bunda Mulia turut bekerjasama sebagai kontributor tetap jurnal tersebut bersama 12 Fakultas/Prodi Psikologi Sumatera Utara dan Jakarta, dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
Acara peluncuran perdana tersebut dibarengi dengan diskusi mengenai peran Psikologi Ulayat dan kaitannya dengan perempuan di tataran akan rumput (grass root). Sebagai nara sumber adalah Dra. Shinta Nuriyah Abdurahman Wahid, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, dan Rm. Dr. Yoseph Dedi.
Sebenarnya apakah Psikologi ulayat? Kita sebenarnya sudah cukup sering mendengar istilah Indigenous Psychology;Psikologi asli, yaitu psikologi yang mempelajari pendekatan kultural (bukan hanya sekedar pendekatan behavioristik dan pendekatan yang lain yang kita kenal di Psikologi). Matsumoto (2004) menjelaskan pentingnya pendekatan kultural untuk membantu pengembangan masyarakat dan penciptaan lingkungan sosial yang lebih baik. Dengan pendekatan kultural kita dapat melakukan intervensi atau pendekatan yang tepat pada individu ataupun komunitas. Psikologi ulayat sendiri adalah suatu cabang Psikologi yang mempelajari perilaku dan pikiran suatu kelompok budaya yang lahir dan berkembang dalam kelompok tersebut, merupakan hasil kesepakatan nenek moyang, sesepuh, yang diteruskan turun temurun; dari generasi ke generasi (Sarwono, 2012). Ulayat sendiri diadopsi dari ilmu hukum adat, yang menjelaskan hak ulayat atau hak adat.
Dalam kaitannya dengan keberpihakan pada perempuan di tataran akar rumput, sebenarnya sebagai seorang akademisi khususnya di bidang psikologi kita diajak untuk berusaha memberdayakan, menjangkau para perempuan yang merupakan kaum marjinal; kelas bawah (akar rumput), agar mereka tidak menjadi korban kekerasa, diskriminasi,pelecehan dan mau berusaha melindungi diri/tubuh mereka sendiri; dengan pendekatan budaya tersebut. Pendekatan budaya sangat diperlukan karena budaya patrilineal begitu kental di Indonesia, bahkan di kebanyakan budaya di dunia, sehingga perempuan kerap menjadi korban entah dalam keluarga, pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan.
Semoga sedikit informasi ini bisa menambah wawasan keilmuaan psikologi.
PHOBIA
PHOBIA
oleh: Steven Wijaya
Kata phobia bukanlah lagi sebuah istilah yang asing dikalangan
masyarakat perkotaan seperti Jakarta, bahkan kata phobia sudah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari. Namun seringkali
seseorang dengan mudah menyebut orang lain ataupun dirinya sendiri phobia, jika orang tersebut memiliki
rasa takut terhadap sesuatu sehingga kata-kata phobia menjadi populer di pergaulan kita sehari-hari. Namun apakah
pengertian akan rasa takut yang dipikirkan oleh masyarakat pada umumnya itu
merupakan makna sebenarnya dari phobia
itu sendiri? Lalu, apakah jika seseorang takut ketika melihat ular lalu kita dapat
menyebut orang itu phobia ular? Dan apakah
jika seseorang yang jijik ketika melihat seekor kecoa lalu kita dapat menyebut
orang itu mengalami phobia kecoa?
Tapi penulis yakin semua orang takut pasti akan merasa takut jika bertemu dengan
ular liar yang berbisa, ya kecuali pawang ular.
Sebelum membahas
lebih dalam mengenai phobia akan
dijelaskan terlebih dahulu definisi dari rasa takut. Rasa takut sediri adalah
suatu bentuk respon yang secara biologis merupakan mekanisme perlindungan bagi
seseorang pada saat menghadapi bahaya. Ketakutan adalah emosi yang umumnya muncul
pada saat seseorang menghadapi suatu hal yang berpotensi dapat membuat
seseorang merasa dalam bahaya. Namun dilain pihak, ketakutan itu sendiri
merupakan sebuah tanda peringatan bagi seseorang untuk menyadari bahwa ada
suatu hal yang dapat mengancam hidupnya sehingga seseorang akan cenderung untuk
berhenti melihat, menyentuh, mendengar, mencium atau apapun itu terkait dengan
penginderaan sehingga sumber rasa takut tersebut tidak lagi dirasakan.
Setiap orang
memiliki respon yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi yang menakutkan.
Sebagai contoh ada orang yang tidak takut pada anjing bahkan ketika anjing
tersebut menggonggong. Tapi ada orang lain yang takut terhadap gonggongan
anjing atau bahkan hanya dengan melihat seekor anjing orang tersebut dapat
merasa takut. Ada orang lain yang benar-benar takut mendengar halilintar, sedang
ada orang lain yang tidak. Namun adalah hal normal pada saat menghadapi bahaya
tertentu seseorang merasakan takut dan tingkat ketakutan seseorang umumnya
berbanding lurus dengan besar-kecilnya bahaya yang dihadapi.
Rasa takut yang
sedemikian hebat namun tidak sebanding dengan penyebabnya inilah yang kita
sebut dengan phobia (www.duniapsikologi.com, 2012). Sebagai contoh, hanya dengan melihat
seekor kecoa seseorang lalu seseorang dapat menjerit dengan histerisnya dan
berpikir bahwa kecoa tersebut akan memakannya atau berpikir mengenai apapun itu
yang tentunya diluar akal sehat kita. Dalam dunia psikologi rasa takut seperti
ini disebut sebagai kecemasan neurotik.
Menurut Freud,
kecemasan neurotik adalah rasa cemas
akibat bahaya yang tidak diketahui (Feist 1, 2011:38). Rollo May mendefinisikan
kecemasan neurotik sebagai “reaksi
yang tidak tepat atas suatu ancaman, meliputi represi dan bentuk-bentuk lain
dari konflik intrapsikis, yang dikelola oleh bermacam bentuj pemblokiran
aktivitas dan kesadaran (Feist 2, 2011:53).
Secara harafiah, kata phobia sendiri berasal dari bahasa
Yunani, yakni phobos yang
berarti lari, takut dan panik, takut hebat. Istilah ini memang sudah dipakai
sejak zaman Hippocrates. Phobia
juga
didefinisikan sebagai kecemasan neurotik yang
tidak rasional terhadap sesuatu atau situasi yang sebenarnya tidak menakutkan namun
menyebabkan seseorang untuk menghindarinya karena dianggap sesuatu atau situasi
tersebut dapat mengancam hidupnya. Phobia
juga menyebabkan tekanan secara fisik dan psikologis dan dapat berdampak pada
kemampuan seseorang untuk dapat beraktifitas secara normal.
Ada berbagai macam-macam phobia, mulai dari phobia terhadap kecoa; ular; laba-laba; tempat gelap; tempat
sempit; maupun tempat ramai, namun demikian berdasarkan buku DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder IV) phobia dikelompokan kedalam 3
kategori, yakni:
·
Phobia sederhana atau spesifik: phobia terhadap suatu obyek atau keadaan
tertentu seperti pada binatang, tempat
tertutup, ketinggian, dan lain lain.
·
Phobia sosial: phobia terhadap pemaparan situasi sosial seperti takut jadi pusat perhatian, orang
seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
·
Phobia kompleks: phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan
terbuka misalnya di kendaraan umum atau mall, dan orang seperti ini bisa saja
takut keluar rumah.
Berikut adalah beberapa gejala yang terjadi pada seorang penderita
phobia:
·
Rasa gelisah yang tidak terkontrol ketika mengalami rasa
takut.
·
Melakukan segala cara untuk menghindari apa yang ditakuti.
·
Tidak mampu beraktifitas normal.
·
Seringkali rasa takut tidak masuk akal dan berlebihan.
·
Berkeringat
·
Detak jantung cepat
·
Sulit bernapas.
·
Dada terasa sakit
·
Wajah memerah
·
Merasa sakit
·
Gemetar
·
Pusing
·
Mulut terasa kerin
·
Merasa perlu pergi ke toilet
·
Merasa lemas dan akhirnya pingsan
Penyebab phobia itu sendiri pada umumnya
dikarenakan pengalaman traumatis terhadap sumber phobia yang ditekan ke dalam alam bawah sadar, seperti orang yang phobia terhadap anjing kemungkinan waktu
dulu pernah dikejar-kejar anjing atau pernah mendapat pengalaman digigit oleh
anjing. Untuk phobia sosial biasanya
terjadi pada usia remaja. Tetapi phobia
terhadap terowongan, elevator, tempat tinggi, terbang, menyetir dan phobia
situasional lainnya biasanya terjadi pada usia 20 ke atas.
Meskipun phobia
dapat terjadi baik pada laki-laki atau wanita, tapi biasanya wanita memiliki
kecenderungan yang lebih untuk mengalami phobia
sosial. Wanita juga lebih rentan terhadap agoraphobia, tetapi hal ini mungkin
karena laki-laki lebih cenderung menyembunyikannya. Laki-laki juga lebih sering
mencari pertolongan untuk masalah emosionalnya daripada wanita.
Beberapa teknik penyembuhan bagi penderita phobia diantaranya sebagai berikut:
·
Hypnotheraphy: Penderita phobia diberi
sugesti-sugesti untuk menghilangkan phobia.
·
Flooding: Si penderita phobia yang
takut kepada anjing (cynophobia), dimasukkan ke dalam ruangan dengan beberapa
ekor anjing jinak, sampai ia tidak ketakutan lagi.
·
Desensitisasi Sistematis: Si penderita phobia yang takut pada anjing dibiasakan
terlebih dahulu untuk melihat gambar atau film tentang anjing, bila sudah dapat
tenang baru kemudian dilanjutkan dengan melihat objek yang sesungguhnya dari
jauh dan semakin dekat perlahan-lahan. Bila tidak ada halangan maka dapat
dilanjutkan dengan memegang anjing hingga phobia-nya hilang mereka akan dapat
bermain-main dengan anjing.
·
Abreaksi: Penderita phobia
dibuat untuk terus-menerus melakukan interaksi dengan anjing sungguhan,
hingga akhirnya si penderita merasa perlahan-lahan pemahamannya mengenai anjing
mulai berubah. Intinya dalam teknik ini adalah membuat si penderita merasa
jenuh melihat sumber ketakutannya.
·
Reframing: Penderita phobia disuruh
membayangkan kembali masa lampaunya saat permulaan si penderita mengalami phobia, ditempat itu dibentuk suatu
manusia baru yang tidak takut lagi pada phobia-nya.
·
Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy-CBT). Dalam CBT digunakan tiga teknik
ini untuk mencapai tujuan:
Ø Didactic component:
Pada tahap ini terapis berperan dalam membantu penderita/klien untuk menyusun pemikiran-pemikiran
dan harapan positif untuk tujuan akhir terapi.
Ø Cognitive
component: Membantu mengidentifikasi pikiran dan asumsi yang mempengaruhi
perilaku penderita phobia, khususnya
yang dapat mempengaruhi mereka hingga menjadi phobia.
Ø Behavioral
component: Memodifikasi perilaku penderita phobia agar dapat menunjukkan
perilaku yang lebih sesuai ketika harus menghadapi sumber phobia.
Berikut adalah
daftar 10 jenis phobia yang paling
banyak ditemui:
1. Takut
ular
Ini merupakan jenis phobia
yang paling sering dijumpai. Ketakutan secara berlebihan pada ular. Ular sejak
dulu dianggap hewan berbisa, menjijikkan, dari masa ke masa. Bahkan juga
diidentikkan dengan setan oleh keyakinan tertentu. Ternyata phobia akan ular ini bersifat
evolusioner, diturunkan oleh nenek moyang manusia sejak zaman dulu sampai
sekarang.
2. Takut
laba-laba
Ditemukan bahwa kaum
perempuan empat kali lipat lebih banyak jumlahnya yang takut atau jijik pada
laba-laba daripada kaum lelaki. Pada studi yang dipublikasikan di jurnal Evolution and Human Behavior, David
Rakison dari Carnegie Mellon University
di Pittsburgh mengatakan bahwa bayi perempuan usia 11 bulan mampu
mengekspresikan ketakutan begitu melihat gambar laba-laba dan ular, sedangkan
bayi lelaki tidak.
Teori evolusi mengatakan bahwa hal itu wajar, sebab kaum perempuan sering bersua laba-laba di rumah, atau saat mereka menyiapkan makanan di dapur. Sedangkan kaum lelaki cenderung diajarkan untuk berani pada hewan tersebut ketika berada di alam liar.
Teori evolusi mengatakan bahwa hal itu wajar, sebab kaum perempuan sering bersua laba-laba di rumah, atau saat mereka menyiapkan makanan di dapur. Sedangkan kaum lelaki cenderung diajarkan untuk berani pada hewan tersebut ketika berada di alam liar.
3. Takut
ruangan tertutup
Dikenal juga dengan nama
agoraphobia, ketakutan ini diderita oleh 1,8 juta orang Amerika berusia dewasa,
demikian menurut laporan National
Institute of Mental Health pada tahun 2008. Tempat tertutup yang dianggap
sulit untuk mereka melarikan diri atau keluar merupakan obyek yang paling
ditakuti. Biasanya mereka takut pada elevator/lift, ruang olah raga tertutup,
jembatan, kendaraan transportasi umum, mobil, mall, bahkan juga pesawat.
Penderita biasanya malas bepergian atau berada di dalam mobil terlalu lama.
4. Takut
pada orang lain
Pernah bertemu orang yang
mukanya memerah saat bicara di depan orang banyak? Berkeringat, susah bicara
atau gagap atau bahkan sampai sakit perut? Itulah ciri-ciri orang yang takut
pada orang lain atau dikenal dengan nama sosialphobia.
Sebanyak 15 juta orang Amerika dewasa menderitanya, demikian menurut National Institute of Mental Health. Yang parah, kadang bukan saat melakukan pembicaraan di depan umum saja. Penderita sosialphobia juga kerap kesulitan makan atau minum di depan orang banyak. Gejalanya baru terlihat setelah memasuki usia puber.
Sebanyak 15 juta orang Amerika dewasa menderitanya, demikian menurut National Institute of Mental Health. Yang parah, kadang bukan saat melakukan pembicaraan di depan umum saja. Penderita sosialphobia juga kerap kesulitan makan atau minum di depan orang banyak. Gejalanya baru terlihat setelah memasuki usia puber.
5. Takut
ketinggian
Ini adalah jenis phobia yang juga lumayan banyak
penderitanya. Diperkirakan sebagnyak 3-5% dari seluruh populasi dunia menderita
akrophobia, takut berada di tempat tinggi. Pada riset yang pernah dilakukan,
penderita akrophobia merasa semua tempat tinggi berjarak lebih tinggi dari yang
sesungguhnya.
Misalnya tinggi sebenarnya hanya 3 meter, maka di mata penderita akrophobia, mereka seperti melihat obyek yang tingginya 6 meter.
Misalnya tinggi sebenarnya hanya 3 meter, maka di mata penderita akrophobia, mereka seperti melihat obyek yang tingginya 6 meter.
6. Takut
kegelapan
Takut pada kegelapan yang
diderita anak-anak ternyata adalah phobia paling umum juga. “Anak-anak
mempercayai imajinasinya bahwa di kegelapan bisa mendadak muncul hanti,
penculik, atau perampok,” jelas Thomas Ollendick, profesor psikologi dan
direktur Child Study Center di
Virginia Tech. Secara normal, ketakutan ini akan hilang seiring dengan
bertambahnya usia. Namun jika hingga usia dewasa kita masih menderita ketakutan
pada gelap, maka artinya kita menderita nyctophobia.
7. Takut
kilat dan halilintar
Bagi para penderita phobia ini, suara halilintar dan kilat
akan terasa seperti menghentak jantung, bahkan membuat mereka berkeringat.
Penderita yang parah bahkan sampai memutuskan pindah ke daerah yang aman dari
petir dan kilat, demikian kata John Westefeld, ilmuwan dari University of Iowa. Westefeld
melaporkan, dari surveinya terhadap mahasiswa di tahun 2006, sebanyak 73%
menderita ketakutan ringan pada cuaca. Namun kebanyakan mereka malu untuk
mengakuinya. Bagi mereka yang phobia pada kilat dan halilintar, ada baiknya
mulai melatih rasa panik dan kecemasan.
8. Takut
terbang
Jangan dikira mereka ini
orang udik yang belum pernah naik pesawat, sebab faktanya sebanyak 25 juta
warga Amerika juga menderita phobia
ini. Nama penyakitnya adalah aviophobia, dimana seseorang sangat takut naik
pesawat. Bisa jadi memang sudah sejak lahir begitu, atau ada yang pernah
mengalami kecelakaan pesawat sehingga merasa trauma naik pesawat lagi, sebab
peristiwa mengerikan itu terus terbayang.
9. Takut
Anjing
Tidak usah harus anjing
besar jenis doberman, anjing yang imut macam pudel pun ditakuti. Penderita
cynophobia ini mengalami rasa takut digigit anjing, bisa jadi memang pernah
digigit atau melihat orang lain digigit anjing, demikian menurut profesor psikologi
Brad Schmidt dari Ohio State University.
10. Takut
Dokter Gigi
Sebanyak 9-20 oersen orang
Amerika ternyata menghindari memeriksakan giginya ke dokter walau sudah dalam
kondisi parah sekalipun. Rasa takut ini lebih disebabkan oleh rasa nyeri yang
timbul ketika plak gigi dibersihkan, dan memang tidak semua orang bisa
menahannya.
References
Feist, Jess dan Gregory J. feist. 2010. Theories of Personality Book 2 (7th
edition). Jakarta:Salemba Humanika.
Feist, Jess dan Gregory J. feist. 2011. Theories of Personality Book 1 (7th
edition). Jakarta:Salemba Humanika.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?
Edisi Oktober 2024 Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental? Penulis: Gabriella Jocelyn & V...
-
American Psychological Association atau yang biasa sering kita dengar dengan sebutan APA tentunya tidak asing lagi terutama bagi mereka y...
-
Ketika mewawancarai calon karyawan untuk suatu posisi tertentu, teknis suatu pekerjaan kadang menjadi masalah. Kita ambil contoh ketika kit...
-
Saat ini, kita hidup dalam era global ekonomi persaingan dengan negara-negara lain sangat ketat. Setiap negara di dunia, sekarang ini mempu...