Benarkah Expressed Emotion Keluarga Berdampak terhadap
Proses Penyembuhan Individu dengan Skizofrenia?
Apa yang dimaksud dengan expressed emotion? Dan apakah expressed emotion memiliki dampak
terhadap proses penyembuhan individu dengan skizofrenia? Dikutip dari laman Wikipedia, expressed emotion atau EE adalah emosi
yang ditampilkan, biasanya dengan latar belakang keluarga, dan ditampilkan oleh
anggota keluarga atau orang yang merawat individu.
Ada
lima tipe EE dalam keluarga yang memainkan peran signifikan terhadap
skizofrenia, yaitu kehangatan, perkataan positif, kritik, kekerasan dan
keterlibatan berlebihan (Brown, 1985). Kehangatan dan perkataan positif
termasuk ke dalam EE positif sementara kritik, kekerasan dan keterlibatan
berlebihan termasuk ke dalam EE negatif. Keluarga yang memiliki anggota
dengan skizofrenia menampilkan EE berbeda-beda.
Beberapa keluarga merasa sedih
karena salah satu anggota keluarga mereka sedang sakit, mereka turut merasa
menderita dan ingin membantu agar anggota keluarga mereka cepat sembuh.
Sehingga mereka menunjukkan EE positif seperti kehangatan, perkataan positif,
toleransi, tidak menuntut, tidak mengkritik, dan memenuhi kebutuhan anggota
keluarga yang mengalami skizofrenia.
Sebaliknya,
beberapa keluarga justru menunjukkan EE negatif. Banyak alasan yang mendasari
perilaku ini. Bisa jadi keluarga merasa malu karena salah satu dari mereka
mengidap skizofrenia, tidak sabar dalam merawat, merasa terbebani, merasa tidak
peduli atau karena alasan-alasan yang lain. EE negatif dapat berupa kritikan, kekerasan,
keterlibatan berlebihan dalam kehidupan anggota dengan skizofrenia dan lainnya.
Menurut
Brown (1962, 1972), secara teori, level EE yang tinggi di rumah dapat memperburuk kondisi pasien dengan sakit
mental. Level EE tinggi yang dimaksud adalah level EE negatif.
Jika individu dengan skizofrenia
menerima kritik, kekerasan serta keterlibatan berlebihan dari keluarganya, maka
akan mengakibatkan individu merasa tertekan. Secara tidak langsung, hal ini
berpengaruh terhadap kesehatan individu. Masih menurut Brown (1985), pasien
skizofrenia akan kembali memunculkan simptom-simptom jika mereka kembali
tinggal bersama keluarga atau pasangan.
Namun,
penelitian yang dilakukan oleh M.A. Subandi mengatakan sebaliknya. Menurut
Subandi (2011), level EE yang tinggi tidak terlalu berdampak negatif terhadap
individu dengan skizofrenia, jika diinterpretasi secara positif.
Subandi melakukan penelitian
terhadap beberapa orang. Di mana seorang partisipan memiliki keluarga dengan
level EE tinggi dan setiap hari ia menerima EE negatif dari keluarganya. Namun,
partisipan tersebut merasa bahwa sikap keluarganya yang demikian merupakan cara
dalam menunjukkan kasih sayang kepadanya, sehingga hal itu tidak berdampak
negatif pada dirinya.
Sementara, partisipan Subandi yang
lain memiliki keluarga dengan level EE rendah. Setiap hari ia menerima kehangatan
dan perkataan positif dari keluarganya. Keluarga memberikan perhatian dan kasih
sayang yang besar, namun partisipan justru merasa keluarganya menunjukkan
keterlibatan berlebihan, sehingga hal ini berdampak buruk bagi dirinya sendiri.
Kesimpulannya,
EE keluarga memang berdampak terhadap kesembuhan individu dengan skizofrenia,
namun hal itu juga tergantung pada bagaimana individu menginterpretasikan EE
dari keluarganya. Banyak individu yang melakukan
perilaku menyimpang karena menginterpretasikan secara negatif EE dari
keluarganya. Salah satu contoh perilaku menyimpang adalah bunuh diri yang sudah
menjadi fenomena di sekitar kita.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO,
pada tahun 2005 tercatat 50 ribu penduduk Indonesia bunuh diri setiap tahunnya.
Dari kasus bunuh diri tersebut, kasus yang paling tinggi terjadi pada rentang
usia remaja hingga dewasa muda, yakni 15-24 tahun. Kasus bunuh diri tersebut
apabila dikaitkan dengan motifnya, kebanyakan untuk usia remaja, dikarenakan
dukungan sosial yang kurang didapat oleh remaja yang melakukan bunuh diri. Padahal
dalam usia remaja, mereka membutuhkan pengakuan diri dari lingkungan sekitar. Ketidakmampuan
beradaptasi dan pem-bully-an juga menjadi salah satu faktor pemicu bunuh
diri di kalangan remaja. Selain itu, tidak adanya dukungan keluarga maupun
kondisi keluarga yang tidak kondusif pada saat seorang remaja sedang mengalami
masalah mampu menurunkan perasaan dimiliki oleh seorang remaja (minder)
sehingga kemudian muncul perilaku regresif berupa salah satunya bunuh diri.
Secara
garis besar, kasus bunuh diri disebabkan karena individu merasa ditolak oleh
lingkungan, merasa tidak berharga, merasa tidak diinginkan dan merasa
sendirian. Semua faktor ini membuat individu menginterpretasikannya secara
negatif hingga kemudian memilih jalan pintas untuk bunuh diri.
Noted By: Rouwi
Mahasiswa Psikologi Angkatan 2011
Referensi:
Referensi:
Brown, G. (1985).The
discovery of expressed emotion: induction or deduction? In Expressed Emotion in Families. (eds
J. Leff & C. Vaughn), pp. 7–25. New York: Guilford Press.
Brown, G. ,
Carstairs, M. , Monck, E., Birley, J. L. T., & Wing, J. K. (1972).
Influence of family life on the course of schizophrenic disorders: a
replication. British Journal of Psychiatry, 121, 241–258.
Brown, G. ,
Carstairs, M. , Monck, E., Carstairs, M., et al (1962).
Influence of family life on the course of schizophrenic illness. British
Journal of Preventive and Social Medicine, 16, 55–68.
Subandi, M. A.
(2011). Family expressed emotion in a Javanese cultural context. Cultural Medical Psychiatry, 35 : 331 –
346. Washington DC : APA.
Wikipedia. Expressed Emotion.Diaksespada5 November 2013dariwikipedia.com/2013/11/5/expressed-emotion/