Pada tanggal 22 Februari 2014, telah dilakukan seminar dari Himpunan Mahasiswa Psikologi dengan tema "Rekrutmen dan Seleksi di Dunia Organisasi". Pembicara dari seminar ini adalah Bapak. Ferza Rachmadianto, S. Psi., M. Psi, supervisor dari PT. ABC Indonesia. Seminar ini dihadiri oleh seluruh mahasiswa Psikologi angkatan 2010 hingga angkatan 2013. Dalam seminar ini para mahasiswa memperoleh pengetahuan mengenai ruang lingkup dari pekerjaan HRD, yang meliputi proses rekrutmen dan seleksi dan teknik wawancara dalam merekrut calon karyawan.
Membawakan berita terbaru terkait kegiatan Program Studi Psikologi UBM dan artikel-artikel menarik meliputi seluruh kajian ilmu psikologi secara ilmiah dan faktual.
Wednesday, March 5, 2014
Have you satisfied with your job?
“Thanks
God It’s Friday!!” Rasanya surga dunia kalau sudah masuk weekend. Bebas dari
bangun pagi dan bermacet-macet ria. Bekerja bagaikan beban bagi sebagian orang.
Jika sudah hari senin lagi rasanya berat untuk memulai hari pergi pagi dan
pulang malam. Namun esensi bekerja bukan hanya sekedar berapa uang yang
diperoleh dari bekerja, bukan sekedar menyelesaikan tugas dengan baik, bukan
itu. Mencapai kepuasan dalam bekerja adalah yang terpenting.
Menurut Howell
dan Dipboye (1986) “kepuasan kerja adalah
hasil keseluruhan dari derajat suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap
berbagai aspek dari pekerjaannya”
Hal ini
menunjukkan bagaimana kita bersikap terhadap pekerjaan kita. Motivasi
bekerjanya setiap individu berbeda-beda, motivasi bekerja inilah yang akan
menghasilkan kepuasan kerja. Munandar dalam bukunya Psikologi Industri dan
Organisasi menyebutkan 5 faktor penentu kepuasan kerja, yaitu:
1.
Ciri-Ciri
Intrinsik Pekerjaan
Meliputi
keragaman ketrampilan, identitas tugas (task
identity), tugas yang penting (task
significance), otonomi, dan Feedback.
2.
Gaji
Penghasilan, Imbalan yang Dirasakan
Sejauh
mana tenaga kerja merasa imbalan atau gaji yang didapat sesuai dengan pekerjaan
yang dilakukan
3.
Penyeliaan
Adanya 2
jenis hubungan antar atasan dan bawahan yaitu hubungan fungsional dan
keseluruhan. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana penyelia membantu
tenaga kerja, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga
kerja.
4.
Rekan-rekan
Sejawat yang Menunjang
Kepuasan
kerja yang ada pada pekerja timbul karena mereka bisa saling bersosialisasi
satu dengan yang lain. Jika dalam tim mereka dapat saling berkoordinasi.
1.
Kondisi
Kerja yang Menunjang
Kondisi kerja
yang memperhatikan prinsip ergonomi salah satu faktor yang akan menimbulkan
kepuasan kerja.
a)
Dampak
Terhadap Produktivitas
Jika terjadi ketidak puasan kerja
pada karyawan atau pekerja, otomatis produktivitas akan menurun tajam. Jika
sebaliknya, pekerja mengalami kepuasaan kerja maka produktivitas akan stabil
atau cenderung naik. Jika produktivitas naik, perusahaan akan semakin maju dan
berkembang
c)
Dampak
Terhadap Kesehatan
Kepuasan kerja menunjang tingkat
dari fungsi fisik dan mental, lalu kepuasaan sendiri merupakan tanda dari
kesehatan. Salah satu cara mencapai kepuasan kerja adalah dengan mencintai apa yang kita kerjakan. Jadi penting bagi kita untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan apa yang kita inginkan dan sukai. Segala sesuatu yang dikerjakan dengan cinta akan berdampak baik dan mencapai hasil maksimal dengan itu kepuasan kerja akan terwujud. Jika sekarang sudah terlanjur dalam posisi tidak puas, mungkin kita harus mengubah cara pandang kita terhadap apa yang kita kerjakan. Dengan berpikir mungkin tak semua orang bisa mendapatkan pekerjaan seperti yang kita kerjakan, lalu mencari sisi positif dari pekerjaan yang dilakukan, bertukar pikiran dengan teman sekantor, hal-hal demikian dapat dilakukan untuk membantu mencari tahu alasan mengapa kita tak bisa mencapai kepuasan kerja.
Ditulis oleh: Desi Lustiyani Wahono
Tuesday, March 4, 2014
Pica pada Anak-anak dan Remaja
Pica Pada Anak-anak Dan
Remaja
(Artikel oleh: Desi Lustiyani, Yosua Kapitan, Elsa Anggrean, Anom Wijaya, Willy Sohlehudin)
Kita
pernah mendengar beberapa orang yang memiliki hal-hal unik, diantaranya mereka
yang gemar sekali mengkonsumsi benda-benda yang sebenarnya bukan termasuk dalam
konsumsi makanan manusia. Hal ini kadang menimbulkan kerisihan bagi setiap
orang yang melihatnya, namun, bagi orang yang melakoninya, hal ini justru
merupakan kesenangannya dan sumber pemuasannya (pleasure). Hal tersebut dinamakan
Pica (Pika).
Lalu apakah Pika?
Dalam istilah medis, Pika merupakan kondisi kelainan pola makan dimana
penderita memakan makanan yang tidak lazim untuk dimakan. Pika pada umumnya
dijumpai saat anak berusia satu tahun ke atas. Masa itu disebut periode oral,
anak suka sekali memasukkan dan menggigit benda apa saja yang berada di
dekatnya. Biasanya pica bisa sembuh dalam waktu tiga bulan. Namun pada beberapa
kasus, pika dapat diderita oleh anak hingga dewasa. Pika merupakan gangguan
makan yang serius karena dapat menyebabkan berbagai macam efek samping dan luka
serius pada lambung bagi pengkonsumsinya, seperti; memakan obat nyamuk bakar,
meminum bensin, memakan sabun, kapur tulis, gypsum, dsb.
Jika kita kembali pada teori Psikoanalisis Freud,
Perkembangan seksualitas individu terbagi dalam lima tahapan dan tahap Oral
terjadi pada anak-anak usia 1-3 tahun. Pada masa-masa itu, anak mulai
menggigit-gigit barang yang ada di sekitarnya. Dorongan untuk menggigit dan
memakan benda ini adalah sumber pemuasan anak selain juga untuk menstimulasi
pertumbuhan giginya. Pika umumnya dapat terjadi pada anak
dengan hambatan perkembangan, termasuk autisme dan keterbelakangan mental,
biasanya mulai nampak pada rentang usia dua dan tiha tahun. Pika juga dapat muncul
pada anak-anak yang pernah mengalami cedera otak sehingga mempengaruhi
perkembangan mereka.
Lalu mengapa para penderita Pika gemar sekali mengkonsumsi benda-benda yang
tergolong sebagai non-makanan? Binder dan Goodman (1988) mengemukakan beberapa
penyebab seseorang menjadi Pika, yaitu;
·
Defisiensi Nutrisi seperti; zat besi,
zinc, dapat memicu ketagihan akan beberapa benda. Kendati ketagihan benda
non-makanan tak menyuplai bahan yang dibutuhkan tubuh.
· Diet. Orang yang melakukan pembatasan pola
makan dapat terdorong memakan barang non-makanan untuk mengatasi rasa lapar.
·
Malnutrisi. Khususnya di negara terbelakang, orang
dengan Pika cenderung memakan tanah liat atau tanah.
·
Faktor Budaya. Seperti pada keluarga, kelompok atau
kepercayaan yang memiliki beberapa kebiasaan memakan barang non-makanan.
·
Pengabaian Orangtua. Kurang pengawasan dan
kekurangan makanan yang kerap tejadi pada keluarga miskin, dapat memicu
anak mengalami pika.
·
Masalah Perkembangan. Seperti;
keterbelakangan mental, autisme dan masalah kecacatan perkembangan maupun abnormalitas
otak.
·
Kondisi Kesehatan Mental. Misalnya; penderita
OCD (obsessive-compulsive dissorder) dan schizofrenia.
·
Kehamilan. Biasanya pika dapat muncul pada wanita
hamil yang melihat praktik serupa, menderita Pika saat masa kecil, atau
memiliki riwayat Pica dalam keluarga.
Seseorang Anak yang terus menerus mengonsumsi benda non-makanan dapat
berisiko mengalami masalah kesehatan, diantaranya; Memakan serpihan cat maupun
bahan bangunan dan bahan kimia lain dapat menyebabkan keracunan, memakan benda
yang tak dapat dicerna dapat menyebabkan gangguan pencernaan, memakan benda
yang padat dapat menyebabkan obstruksi (penyumbatan) atau perforasi pada
pencernaan, memakan benda yang tajam dan keras dapat merusak gigi, memakan
benda yang kotor dan kotoran itu sendiri dapat menyebabkan infeksi parasit
(kuman), Pika dapat menimbulkan bahaya dan berujung kematian terutama jika anak
memakan benda beracun, terkontaminasi, benda padat yang menyumbat saluran
pencernaan, atau mengandung merkuri.
Oleh karena itu, kelainan ini perlu mendapat perhatian serius, bagi dari
pihak orangtua maupun pihak-pihak lain yang terkait (sekolah, rumah sakit,
psikolog). Berbagai macam elemen perlu diperhatikan demi keamanan dan
keselamatan pengidap Pika, contohnya; orangtua dapat melakukan pengawasan yang
ketat terhadap kecenderungan anak mengkonsumsi benda-benda aneh dengan cara
mengunci ketat setiap lemari atau memberikan pengamanan khusus untuk
menghindarkan godaan-godaan bagi si pengidap Pika. Tenaga profesional seperti Psikolog dan Psikiater dapat memberikan berbagai macam terapi
bermain bagi anak-anak yang mengalami Pika. Sampai saat ini, kelainan Pika masih menjadi misteri bagi para tenaga profesional. Oleh karena itu, dibutuhkan
ketekunan dan kesabaran dalam memberikan penanganan penyembuhan bagi pengidap
Pika.
Binder BJ, Goodman SL, Henderson P. Pica:
A Critical Review of Diagnosis and Treatment In The Eating Disorders.
1988: Philadelphia Press 331-44ps.
Feist
Jess, Feist Gregory J. 2008. Theories of
Personality – Edisi keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?
Edisi Oktober 2024 Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental? Penulis: Gabriella Jocelyn & V...
-
American Psychological Association atau yang biasa sering kita dengar dengan sebutan APA tentunya tidak asing lagi terutama bagi mereka y...
-
Ketika mewawancarai calon karyawan untuk suatu posisi tertentu, teknis suatu pekerjaan kadang menjadi masalah. Kita ambil contoh ketika kit...
-
Saat ini, kita hidup dalam era global ekonomi persaingan dengan negara-negara lain sangat ketat. Setiap negara di dunia, sekarang ini mempu...