Thursday, October 31, 2013

Bias Penampilan Fisik (Physical Attractiveness) dalam Rekrutmen dan Seleksi Tenaga Kerja

Jika konsumen menginginkan untuk dilayani oleh orang-orang yang menarik secara fisik dan orang-orang lebih senang bekerja dengan orang yang berpenampilan cantik/ ganteng, menarik dari segi fisik, maka adalah hal yang benar bagi perusahaan untuk merekrut dan menerima kandidat berdasarkan penampilan/ wajah individu. Kemudian menurut perusahaan, semakin menarik karyawan-karyawan mereka maka akan semakin menarik konsumen yang lebih banyak. Sehingga, apabila penampilan lebih penting dari kualitas keterampilan karyawan, maka pihak perusahaan memiliki hak untuk menolak kandidat yang tidak menarik secara fisik. Seberapa berpengaruhnya penampilan fisik dalam perekrutan dan seleksi tenaga kerja??


Bias-bias dalam merekrut karyawan yang meliputi physical attractiveness (fisik yang menarik) kadangkala pasti dapat terjadi. Bias-bias dalam penampilan fisik terjadi dalam menilai seseorang, misalnya penilaian guru terhadap siswanya, penilaian juri dalam hukum, politisi yang cantik dan murah senyum akan lebih difavoritkan oleh masyarakat, dan sebagainya. Karena, manusia pada dasarnya menyukai segala sesuatu yang indah dan hal ini telah terpatri dalam persepsi masyarakat “what is beautiful is good” dan “what is ugly is bad”. Kassin, Fein, & Markus (2008) dalam masyarakat, kita cenderung untuk menyukai orang-orang yang memiliki penampilan yang cantik/ tampan. Hal ini tidak terkecuali terjadi dalam merekrut karyawan dan interview calon karyawan. Penelitian menyebutkan bahwa adanya bukti empiris dimana ketertarikan fisik mempengaruhi pengambilan keputusan dalam mempekerjakan seseorang, semakin menarik seseorang makan akan semakin besar kemungkinan orang tersebut dipekerjakan (Watkins & Johnston dalam Shahani-Denning, 2003).


Dalam konteks pekerjaan kita dapat menjumpai pada lowongan-lowongan pekerjaan yang menyebutkan dengan jelas penampilan fisik yang diinginkan seperti tinggi min 160 cm, berpenampilan menarik. Bahkan untuk beberapa perusahaan walaupun tidak disebutkan di lowongan pekerjaan mereka lebih memilih karyawan yang cantik, menarik, dan bentuk tubuh yang bagus. Beberapa bidang pekerjaan seperti pramugari yang cantik, sekretaris, resepsionis hotel, karyawan spa, Sales Promotion Girl (SPG) hampir mengedepankan penampilan fisik. Halo effect adalah sebuah istilah yang merujuk pada pada fenomena dimana bias kognitif terjadi saat menilai karakter seseorang yang dipengaruhi oleh impresi keseluruhan terhadap orang tersebut. Sebagai contoh, Moore, Filippou dan Perret (2011) dalam studinya pada inteligensi dan kepribadian yang tampak pada wajah pria dan wanita. Wajah-wajah yang dianggap terlihat intelek (perceived intelligence) mendapat rating yang lebih tinggi dan atraktif secara signifikan pada pria, sedangkan pada wanita tidak ada perbedaan. Penelitian juga menemukan bahwa orang-orang yang menarik menerima permulaan gaji awal yang lebih tinggi ketimbang orang-orang yang kurang menarik (Shahani-Denning, 2003).

Secara realita, bias-bias pada penampilan fisik maupun gender, agama, ras adalah sesuatu yang pasti terjadi. Namun, perlu kita perhatikan pula banyak faktor-faktor lain yang menentukan dan diinginkan oleh perusahaan dalam merekrut karyawan selain penampilan fisik. Kriteria apa yang dicari dalam perekrutan berbeda antara suatu pekerjaaan dengan pekerjaan lainnya, bergantung pada spesifikasi pekerjaan (job specification), sector dan bagian (Bunt et al., dalam Hasluck, 2011).



Beberapa komponen penting dalam merekrut calon karyawan meliputi:
a.      Memiliki kemampuan pada keterampilan khusus
b.      Memiliki kualifikasi atau lisensi yang releven
c.       Pengalaman terdahulu pada pekerjaan yang sama
d.      Keadaan pribadi
e.      Kualitas pribadi
Pada survey yang dilakukan di Inggris tahun 2010 (Shury et al,. dalam Hasluck, 2011) diantara faktor-faktor penting seperti kualifikasi yang relevan, kualifikasi akademik , pengalaman, kinerja saat interview, kepribadian dan sikap yang baik, faktor yang paling kritis “critical importance” bagi perusahaan adalah kepribadian dan sikap yang baik.
Sehingga, walaupun kecantikan atau penampilan fisik berkorelasi positif dengan keputusan penerimaan kerja namun penampilan bukanlah satu-satunya penentu dalam keseluruhan penilaian. Pihak manager perusahaan hendaknya lebih objektif dalam merekrut tenaga kerja dan untuk itu perlu adanya training perekerutan karyawan untuk mengantisipasi bias tersebut. Kemudian bagi para pelamar pekerjaan hendaknya memfokuskan dan menunjukkan potensi-potensi dan kelebihan yang dimiliki. Selain itu, perubahan penampilan fisik bukanlah solusi utama, akan tetapi pelamar sebaiknya memperhatikan aspek pendukung seperti kerapihan dan kebersihan penampilan, cara berpakaian yang sesuai dan pantas dalam melamar pekerjaan, cara berbicara dan kemampuan-kemampuan sosial lainnya.

Referensi:

Hasluck, C. (2011). Employers and the recruitment of unemployed people: An evidence review. UK                   Commision for Employment and Skills.
Kassin, S., Fein, S., & Markus, H. Z. (2008). Social psychology (8th edition). Cengage Learning
Moore, F. R., Filippou., D. D., & Perrett, D. I. (2011). Intelligence and attractiveness in the face: Beyond the attractiveness halo effect. Journal Of Evolutionary Psychology, 9(3), 205- 217.
Shahani-Denning, C. (2003). Physical attractiveness bias in hiring: What is beautiful is
             good. Hofstra Horizons. Spring 2003, 15-8.


By: Devi Jatmika

No comments:

Post a Comment

Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis: Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?

Edisi Oktober 2024  Melepaskan Beban Emosional dengan Katarsis:  Mengapa Penting untuk Kesehatan Mental?  Penulis: Gabriella Jocelyn & V...