Tea for Two, sebuah novel karya Clara Ng yang rilis pada Februari 2009 menceritakan sebuah perusahaan perjodohan bernama Tea for Two milik wanita aktif, cantik dan sukses bernama Sassy. Sassy adalah seorang wanita yang berpikir bahwa ada sebagian orang yang perlu dibantu dalam bertemu pasangan jiwanya, berpikir bahwa di dunia sekitarnya yang amat sibuk, banyak orang yang tidak mampu melihat seseorang yang tepat bagi diri mereka sendiri bahkan walau sangat dekat. Sassy bersama perusahaannya berusaha mempertemukan mereka yang saling mencari untuk sama-sama saling bertemu dan saling memberi kesempatan untuk meraih kebahagiaan.
Urusan perjodohan klien yang tak kunjung berhenti, tanpa sadar membuat Sassy sendiri belum menemukan seseorang untuk dirinya. Suatu hari pada kesempatan yang tidak disengaja melalui pertemuan dengan kliennya, Sassy bertemu dengan Alan, seorang lelaki yang benar-benar akan mengubah hidupnya di masa depan. Alan sangat manis, dia lelaki yang tampan juga mapan, seluruh dari diri Alan seakan diciptakan untuk mampu menyanjung wanita hingga melayang tinggi ke angkasa. Sassy terbuai dengan segala keindahan yang diberikan Alan, Sassy mulai bermimpi untuk bahagia karena Alan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak memilih Alan sebagai pasangan hidupnya.
Setelah menikah dan pada saat bulan madunya di Bali, Sassy malah mendapat tamparan tepat di pipinya hanya karena Alan cemburu terhadap seorang bule yang berbicara dengan Sassy. Sassy merasa kecewa, kaget melihat sisi Alan yang lain, tertusuk oleh kata-kata PELACUR yang keluar dari mulut Alan. Dengan sikap Alan yang tidak mudah di tebak, Sassy berusaha untuk memaafkan lelaki sempurna itu, setidaknya sempurna dalam harapannya. Hari-hari selanjutnya adalah hari -hari penuh kejutan, kejutan yang diberikan Alan kepada Sassy. Alan adalah lelaki yang mampu berlaku semanis madu sekaligus bersikap sepahit empedu di waktu yang berdekatan. Alan bisa marah hanya karena hal-hal sepele, Alan mampu memukul, memaki Sassy, bahkan Alan juga membenci sahabat-sahabat Sassy dengan tidak mengijinkan Sassy untuk berhubungan dengan sahabat-sahabatnya itu.
Alan semakin sulit dibaca dari hari ke hari. Alan tidak menemani Sassy melahirkan, Alan menganggap Sassy gemuk dan jelek setelah melahirkan dan muak dengan bau susu dari tubuh Sassy yang memang sedang menyusui anaknya. Perlakuan yang kejam dan kasar dari Alan tidak membuat Sassy menjauh dari Alan, malah Sassy tetap berusaha mempertahankan pernikahannya. ANAK....Ya karena anaknya, Sassy tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan itu, karena Sassy berpikir bahwa anaknya masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok seorang ayah, dan Sassy tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dirinya yang kehilangan figur seorang ayah. Ketika Sassy kecil, Sassy hanya dibesarkan oleh ibunya dan ia tidak mau anaknya juga mengalami hal yang sama seperti dirinya, dibesarkan tanpa sosok ayah.
Luka fisik dan batin yang dirasakan Sassy semakin lengkap dengan perselingkuhan yang dilakukan oleh Alan. Dorongan dari sahabat-sahabat serta ibunya membawa Sassy kepada kesadaran bahwa ia layak mendapatkan yang lebih baik dari semua ini, ia layak dan mampu mendapat cinta yang lebih baik, bukan terjerat dalam cinta Alan yang membuat Sassy berpikir bahwa kekerasan dan siksaan adalah bagian dari cinta itu.
Menanggapi kisah Sassy di atas, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah fenomena yang sering sekali kita temui di kehidupan sehari-hari, dimana mayoritas korbannya adalah perempuan. Sejak dahulu, baik perempuan maupun laki-laki memang dididik untuk berperilaku berdasar pada konsep gender yang dikontruksi secara sosial. Konsep gender adalah suatu konsep sosial budaya, yang digunakan untuk menggambarkan peran, fungsi, dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat (Notosusanto & Poerwandari, 1997).Melalui proses sosialisasi, yang dimulai dalam keluarga, konsep-konsep tentang perilaku perempuan (feminitas) dan perilaku laki-laki (maskulinitas) diserap sejak kecil. Perempuan biasanya diperlakukan dengan cara-cara yang lembut dan bersifat keibuan sedangkan laki-laki diperlakukan dengan cara-cara yang lebih keras dan tegas. Hal ini membuat perempuan selalu dibiasakan untuk selalu memperhatikan kebutuhan atau kepentingan orang lain, seperti merawat anak dan melayani suami. Sedangkan laki-laki diperlakukan sebagai seorang pemimpin dalam keluarga dan pengambil keputusan dimana istri harus tunduk pada suaminya. Perbedaan peran tersebut masih bisa diterima namun menjadi masalah ketika perbedaan tersebut mendatangkan ketidakadilan bagi perempuan. Situasi tidak adil yang banyak dialami oleh perempuan adalah KDRT.
Sebagian besar istri yang menjadi korban KDRT memang lebih sulit untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri karena mereka cenderung berpikir bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan anak-anaknya.Seperti yang dialami oleh Sassy, luka fisik dan batin yang dirasakannya mendorong Sassy mengambil keputusan untuk bercerai, namun keputusan tersebut tidak pernah direalisasikan karena Sassy memikirkan masa depan anaknya yang akan hidup tanpa sosok ayah bila Sassy menuruti kemauannya untuk bercerai. Korban umumnya lebih memilih untuk memendam perasaan-perasaannya (seperti, perasaan sedih, sakit hati, marah, kecewa, frustasi, tidak berdaya, kehilangan kebebasan, dsb) karena mereka merasa membuka diri mengandung terlalu banyak risiko (William, 1987).
KDRT bisa memberikan dampak fisik sekaligus dampak psikologis. Dampak fisik seperti luka-luka pada tubuh bisa diobati oleh penanganan medis, namun dampak-dampak psikologis yang justru sulit untuk diatasi karena biasanya korban tidak menunjukkannya secara langsung. Dampak-dampak tersebut, antara lain depresi, trauma, perasaan bersalah, perasaan tidak berdaya, tidak percaya diri, menarik diri dari lingkungan, dan sebagainya. Dampak-dampak yang tidak dapat diatasi oleh korban dapat mengembangkan perasaan 'learned helplesness' pada diri korban sehingga mereka terus hidup dalam 'lingkaran hitam' sehingga seperti tidak ada langkah yang tepat untuk keluar dari kondisi tersebut. Padahal sebenarnya selalu ada langkah yang tepat selama korban berani untuk mengambil langkah, meskipun itu adalah langkah yang berisiko bagi dirinya ataupun orang-orang di sekitarnya, misalnya anak.
Kasus Sassy di atas menunjukkan bahwa perempuan bukanlah mahluk yang lemah, yang harus selalu tunduk pada norma atau budaya patriarki yang memaksa perempuan/istri untuk selalu menuruti kemauan suami, atau istri wajib dihukum oleh suami bila istri melakukan kesalahan. Sassy sanggup mengambil langkah yang tepat untuk berpisah dengan suaminya, meskipun itu adalah keputusan yang berat namun bisa dilalui oleh Sassy dan tentunya juga mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya.
Bagi perempuan di luar sana baik yang sudah menikah ataupun belum menikah dan sedang berada dalam situasi kekerasan, Anda adalah manusia yang berharga yang diciptakan Tuhan dengan berbagai potensi dan layak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Jangan menyerah dan pesimis untuk menentukan langkah hidup yang tepat untuk diri Anda.
Referensi :
Notosusanto,
S. dan Poerwandari, E. K. (red.). (1997). Perempuan
dan Pemberdayaan. Jakarta :
Program
Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Unversitas Indonesia.
William,
J.H. (1987). Psychology of Women :
Behavior In A Biosocial Context. New York :
W.W. Norton
& Company, Inc.
-Stefani Virlia-
No comments:
Post a Comment